Sabtu, 26 Januari 2019

Mimpi Punya Lamborghini

Yang paling terkena dampak kenaikan BBM bukan kita
yang punya mobil atau motor. Tapi justru mereka yang tidak
pernah punya mobil atau motor.
@noffret


Mungkin banyak di antara kita yang bermimpi punya Lamborghini, mobil sport mewah berpenampilan gahar, manis, dan elegan. Lamborghini bukan hanya asoy saat dipacu di jalanan, tapi juga membuat pemiliknya tampak lebih cakep 78,8 persen—atau anggap saja begitu. Orang-orang pasti akan memperhatikanmu kalau kau turun dari Lamborghini.

Siapa pun tentu sepakat bahwa memiliki Lamborghini adalah hal menyenangkan. Fakta bahwa seseorang mampu memiliki Lamborghini, dengan jelas menunjukkan bahwa dia menjalani kehidupan mewah dan banyak uang. Tetapi, sebenarnya, ada “penderitaan” diam-diam yang dialami para pemilik Lamborghini, yang tidak pernah dikatakan kepada orang lain.

Harga Lamborghini sangat mahal, siapa pun tahu. Sebagai ilustrasi, mari kita ambil contoh Lamborghini yang harganya paling murah, yakni Lamborghini Gallardo. Di antara yang lain, tipe Gallardo termasuk yang murah. Dan berapakah yang “murah” itu? Saat ini, harga Lamborghini Gallardo sekitar Rp5,5–9,8 miliar.

Jadi, kalau kita punya duit sebesar itu, kita bisa membeli Lamborghini, kan? Ntar dulu!

Membeli dan memiliki Lamborghini tidak semudah itu. Setelah menganggarkan biaya untuk pembelian yang jumlahnya huahaha itu, kita juga harus menyediakan biaya lain untuk pajak pembelian, yang biasa disebut BBN KB (Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor), yang dipatok 10 persen dari harga off the road. Itu pun masih ditambah biaya lain-lain, seperti biaya PKB dan SWSKLLJ, yang totalnya mencapai Rp630 jutaan.

Selesai? Belum!

Setelah urusan pembelian dan pengurusan biaya pajak selesai, ada hal lain yang perlu kita....

((((KITA?))))

Oke, saya ulangi. Setelah urusan pembelian dan pengurusan biaya pajak selesai, ada hal lain yang perlu dipikirkan para pemilik Lamborghini. Yaitu pajak tahunan yang mencapai ratusan juta. Pajak terendah Lamborghini mencapai Rp150 jutaan, sementara pajak tertinggi mencapai Rp500 jutaan (itu pun belum memperhitungkan pajak progresif, alias sekadar perkiraan kasar).

Andaikan saja kita punya Lamborghini paling murah, yang pajaknya Rp150 jutaan per tahun. Karena pajak sebesar itu harus dibayar setiap tahun, artinya pemilik Lamborghini harus menganggarkan biaya sekitar Rp12,5 juta per bulan. Jadi, petantang-petenteng naik Lamborghini sama artinya harus bayar “pajak petentengan” sebesar Rp12,5 juta per bulan, atau Rp150 jutaan per tahun. Modyar.

Itu baru biaya pembelian dan pajak tahunan. Kita belum membicarakan biaya servis, biaya suku cadang, dan lain-lain. Sekadar FYI, biaya satu kali servis Lamborghini mencapai Rp15 jutaan. Jika setahun diservis tiga kali saja, biayanya sudah mencapai Rp45 jutaan. Belum lagi kalau ada suku cadang yang perlu diganti, atau bagian mobil yang perlu direparasi.

Sekali lagi, sekadar FYI, harga spion Lamborghini sekitar Rp40 jutaan. Itu baru spion! Jadi, kalau pemilik Lamborghini tanpa sengaja menyenggol tembok, dan spion retak, dia harus keluar duit Rp40 juta untuk mengganti spion! Yang paling parah kalau kebetulan terjadi baret pada bodi mobil. Pemiliknya pasti akan sakit kepala campur mimisan, karena harus menguras isi rekening.

Hal-hal itulah yang saya sebut “penderitaan” yang dialami para pemilik Lamborghini, yang tidak pernah mereka katakan. Memang benar, punya Lamborghini adalah kebanggaan dan prestise, tapi itu bukan kebanggaan yang gratis. Untuk mendapatkan kebanggaan itu, mereka harus membayar sangat mahal. Karenanya, kalau kita tidak benar-benar mampu, memiliki Lamborghini justru akan menjadi beban.

Sekarang, mari kita realistis, dengan melihat diri sendiri.

Umpamakan saja kita punya penghasilan Rp3 juta per bulan (ini angka petengahan di antara UMP tertinggi dan terendah di Indonesia). Dengan gaji atau penghasilan Rp3 juta per bulan, kita harus membaginya untuk membayar biaya kos atau kontrak (bagi yang masih ngekos atau masih ngontrak). Sementara yang sudah punya rumah sendiri, tentu harus membayar listrik, biaya air, dan lain-lain, termasuk pajak bumi dan bangunan setiap tahun.

Selain itu, kita juga harus menganggarkan biaya untuk makan sehari-hari, biaya transportasi harian, sampai biaya hiburan semisal masuk kafe atau bioskop sesekali, dan lain-lain. Jika dirata-rata, penghasilan Rp3 juta per bulan bisa dibilang kelar dalam sebulan. Syukur-syukur kalau masih bisa menyisihkan sebagian untuk ditabung, dan tidak sampai berutang.

Sekarang, umpamakan saja. Suatu hari, seseorang menawari kita untuk memiliki Lamborghini secara gratis. Kita tidak perlu membayar harganya yang miliaran. Kita hanya perlu membayar biaya BBN dan pajak tahunannya. Tetapi, begitu kita menerima pemberian itu, kita tidak boleh menjual atau menyewakan Lamborghini tersebut, dan hanya boleh digunakan sendiri. Apakah kita akan menerima tawaran itu?

Jika saya berpenghasilan Rp3 juta per bulan, tawaran untuk memiliki Lamborghini akan saya tolak! Kenapa? Karena saya sadar, saya tidak akan mampu merawatnya, dan kepemilikan Lamborghini akan menjadi beban bagi saya. Ingat kembali biaya-biaya perawatan Lamborghini yang telah dijelaskan di atas! Gaji Rp3 juta per bulan jelas tidak akan cukup! Bahkan untuk sekadar membayar pajak tahunannya saja tidak akan mampu.

Mungkin orang bisa mengatakan, “Memiliki Lamborghini akan membuatmu bahagia dan tenteram.”

Mungkin, iya. Persetan, siapa yang tidak bahagia, kalau bisa petantang-petenteng naik Lamborghini? Tapi jangan lupa, petantang-petenteng naik Lamborghini butuh biaya, bahkan sangat mahal. Daripada petantang-petenteng tampak hebat tapi diam-diam menderita (karena harus pusing mikir pajak dan biaya perawatan), saya lebih suka tampil apa adanya.

Atau, mungkin pula ada yang mengatakan, “Memiliki Lamborghini akan melancarkan rezeki, tak perlu khawatir.”

Huahahahahahaaa... yo karep-karepmu kalau punya keyakinan semacam itu. Kalau saya sih realistis saja. Kalau memang tidak/belum mampu punya Lamborghini, ya naik gojek juga tidak apa-apa.

Well, omong-omong soal gojek. Pas Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional) kemarin, ada seorang laki-laki yang berhasil membeli mobil Mini Cooper hanya dengan harga Rp12.000. Padahal, harga asli Mini Cooper mencapai Rp720 juta. Laki-laki yang beruntung itu bernama Dedi Heryadi, yang saban hari bekerja sebagai driver ojek online. Dia mendapatkan Mini Cooper dengan harga sangat murah itu di Bukalapak.

Mendapatkan Mini Cooper seharga Rp12.000 tentu sangat menyenangkan—siapa pun setuju. Kenyataannya, Dedi Heryadi juga sangat senang dengan “pencapaian” itu. Tetapi ada masalah yang mungkin tak terbayangkan olehnya. Begitu dia telah sah menjadi pembeli Mini Cooper tersebut, dia harus membayar pajak pembelian, dan harus menanggung pajak tahunan.

Rata-rata, pajak pembelian mobil dipatok 10 persen. Karena Mini Cooper seharga Rp720 juta, maka pajak pembeliannya mencapai Rp72 juta. Sementara pajak tahunan yang harus dibayar sekitar Rp11 jutaan. Jadi, Dedi Heryadi bisa mendapatkan Mini Cooper seharga Rp12 ribu yang ia bayarkan ke Bukalapak, tetapi harus membayar pajak sekitar Rp80 juta kepada negara.

Sampai di situ, Dedi Heryadi bingung. Bukan hanya bingung membayar pajak pembelian yang menurutnya sangat besar, tapi juga bingung membayar pajak kepemilikan mobil yang harus ia bayar setiap tahun. Karena kebingungan itu pula, dia lalu bermaksud menjual Mini Cooper tersebut kepada orang lain, dan Bukalapak pun membantu penjualannya. Entah sekarang sudah terjual atau belum, saya tidak tahu.

Mestinya ada orang yang mengingatkan Dedi Heryadi, bahwa punya Mini Cooper akan membuatnya bahagia, tenteram, dan melancarkan rezeki, jadi tidak perlu khawatir punya Mini Cooper. Tapi kalau pun ada yang mengatakan seperti itu, saya pikir Dedi Heryadi—atau siapa pun—belum tentu percaya.

 
;