Jumat, 11 Januari 2019

Agama yang Sederhana

Agama itu letaknya di dapur, tidak perlu dipamerkan di warungnya.
Tidak masalah kamu masak di dapur pakai gas, kompor biasa, atau apa pun.
Yang penting, yang kamu sajikan di ruang tamu adalah masakan yang
menyenangkan semua orang. Begitu juga dengan agama.
Tidak masalah agama apa pun yang dianut, yang penting output
di masyarakat itu baik—jadi orang yang mengamankan (memberi
rasa aman), menenteramkan, menolong saat dibutuhkan.
Cak Nun

Peran agama sesungguhnya adalah membuat orang sadar akan fakta
bahwa dirinya bagian dari umat manusia dan alam semesta.
Gus Dur


“Sebenarnya... Hoeda itu agamanya apa?”

Pertanyaan itu diajukan seorang dosen kepada mahasiswa yang sering runtang-runtung dengan saya, di zaman kuliah dulu.

Salah satu orang yang pernah dekat dengan saya di masa kuliah adalah Hadi. Sebenarnya, dia yunior saya—kami selisih empat semester. Tapi karena cocok, kami sering jalan bareng. Karena Hadi berambut gondrong, waktu itu, dia pun dipanggil “Gondrong” atau biasa disebut “Hadi Gondrong”, khususnya oleh teman-teman sekampus.

Hadi Gondrong termasuk preman kampus, dalam arti biasa menjalani kehidupan kuliah secara bebas—bukan tipe anak manis yang harus di rumah sepulang kuliah. Dia jarang pulang. Sepulang kuliah, kadang dia kelayapan bersama teman, lalu malam hari tidur di kosan siapa pun, atau di base-camp mahasiswa yang kebetulan ramai. Ketika dekat dengan saya, Hadi kerap tidur di rumah saya. Karena itu pula, kami pun sering terlihat runtang-runtung berdua.

Suatu hari, Puket 3 (dosen yang mengurus kemahasiswaan) memanggil Hadi ke kantornya, dan dosen itu bertanya pada Hadi, “Sebenarnya, Hoeda itu agamanya apa?”

Saya tahu kenyataan itu, karena Hadi menceritakan percakapan tersebut kepada saya. Dalam percakapan itu pula, dosen saya menjelaskan latar belakang kenapa dia sampai bertanya seperti itu—tentang apa agama saya—karena membaca tulisan-tulisan saya di majalah.

Seperti yang pernah diceritakan di sini, dulu saya membuat majalah di kampus. Dalam tulisan-tulisan di majalah itu, saya biasa menyitir Al-Qur’an, Injil, atau kitab-kitab suci agama lain. Saya juga kadang mengutip ucapan Nabi Muhammad, Yesus, Buddha, atau pun lainnya. Rupanya, hal itu membuat dosen saya tergelitik, hingga mempertanyakan, apa sebenarnya agama saya.

Kalau ingat kisah itu, saya senyum-senyum sendiri, dan heran, lalu miris. Sebenarnya, kisah itu lucu, khususnya karena melibatkan seorang dosen, yang tentu orang berpendidikan. Lebih spesifik, berpendidikan tinggi. Tetapi bahkan seorang berpendidikan tinggi pun rupanya masih perlu memastikan apa agama seseorang, dibanding apa yang dilakukan seseorang.

Maksud saya begini. Kalau kita melihat seseorang berbuat baik, semisal menyingkirkan paku-paku di jalan, apakah kita masih perlu mempertanyakan apa agama orang itu? Saya pikir tidak! Karena yang penting bukan apa agama orang itu, melainkan perbuatannya. Bahwa dia telah berbuat baik—dalam hal ini menyingkirkan paku di jalan—itu sudah cukup membuktikan bahwa dia manusia yang baik.

Begitu pula kalau kita melihat hal sebaliknya. Saat melihat orang berbuat jahat, entah yang ringan sampai yang berat, kita pun tidak peduli apa agamanya. Karena beragama apa pun, penjahat tetap penjahat. Apakah seorang koruptor akan menjadi baik jika dia beragama X, misalnya? Tentu saja tidak! Koruptor tetap koruptor, dan tetap bangsat, terlepas apa pun agamanya!

Kenyataan semacam itulah yang tampaknya belum terlalu dipahami sebagian orang, hingga lebih mementingkan apa agama seseorang, daripada apa yang dilakukan. Seperti dosen saya di kampus dulu. Dia mungkin heran mendapati saya bisa menyebutkan ayat-ayat Injil sefasih saat membaca Al-Qur’an. Dia mungkin pula penasaran kenapa saya tidak hanya mengutip hadist Nabi, tapi juga menyitir Buddha, Kong Hu Cu, dan Zarathustra.

Saya pikir, bukan masalah mengambil kebaikan dari mana pun, selama itu kebaikan. Karena kebaikan seperti air bersih. Yang dapat diambil dan digunakan untuk hal-hal baik, tak peduli di mana pun tempatnya. Yang penting airnya, bukan di mana air itu berada. Selama air itu bersih—tak peduli di ember, di baskom, atau di dalam kendi—kita bisa menggunakan untuk hal-hal baik dan bermanfaat. Dalam analogi ini, agama adalah tempat, sementara air adalah kebaikan yang bermukim di dalamnya.

Jadi, apa agama saya?

Kalau saja dosen saya dulu bertanya langsung, tentu dengan senang hati saya akan menjawab dan menjelaskan.

Tapi mungkin dia segan jika harus bertanya langsung kepada saya, jadi terpaksa mengundang Hadi Gondrong ke kantornya, demi bertanya apa agama saya.

Sebenarnya, saya memahami dan mempraktikkan agama secara sederhana. Sebegitu sederhana, hingga orang-orang yang tidak beragama pun bisa melakukannya. Yaitu, “Jalanilah hidup dengan baik, dan lakukanlah hal-hal baik—meski kecil dan sederhana—yang kita bisa.”

Saat melihat batu atau paku di jalan, dan bisa membahayakan orang lain, ambillah, dan singkirkan ke tepi. Dalam hal ini, kita berbuat kebaikan demi sesama manusia, dan tidak peduli siapa manusia yang mungkin telah kita “selamatkan”. Itu perbuatan sepele, sederhana, namun mengandung kebaikan. Dan kita bisa melakukannya dalam kesunyian, tanpa harus koar-koar, atau membawa spanduk dan berteriak melalui TOA.

Saat ada tetangga yang kesusahan atau sedang ditimpa kemalangan, kita bisa membantu memberi penghiburan. Bahkan umpama tetangga kita beda agama. Karena di hadapan kemalangan dan kesedihan, agama semua orang sama. Menemaninya saat susah, membantu apa yang bisa dibantu, memberi penghiburan untuk meredakan tangisnya, itu pun kebaikan. Lakukan, jika kita bisa melakukannya.

Saat ada teman yang sakit, kita bisa menjenguknya, dan membantu mendoakan semoga dia cepat sembuh. Bahkan umpama kita tidak membawakan apa pun untuknya, dia sudah senang. Karena teman yang datang saat kita sakit dan kesusahan akan lebih sulit dilupakan, daripada teman yang datang saat kita sehat dan gembira.

Menghadiri undangan dari orang lain—entah teman, famili, saudara—itu pun kebaikan. Undangan perkawinan yang kita hadiri akan menambah kebahagiaan mempelai yang menikah, undangan duka yang kita hadiri akan membantu mengurangi kedukaan si pengundang, undangan syukuran yang kita hadiri akan menambah rasa syukur orang. Itu pun kebaikan.

Contoh-contoh itu bisa diteruskan dan bisa diteruskan, karena di sekeliling kita selalu ada tempat dan kesempatan untuk melakukan kebaikan. Bahkan untuk hal-hal remeh sekali pun, selalu ada kesempatan bagi kita—setiap manusia—untuk berbuat hal-hal baik. Bekerja dengan benar, misalnya, itu pun kebaikan. Berdagang secara jujur, tidak merugikan orang lain, itu pun kebaikan. Dan lain-lain, dan sebagainya, yang daftarnya bisa sepanjang hayat manusia.

Saya pikir, itulah tugas manusia. Entah yang beragama atau pun tidak beragama. Yaitu melakukan hal-hal baik yang kita bisa, dengan ketulusan dan kesadaran, tanpa pamrih, karena menyadari itu kebaikan. Jika kita, masing-masing orang, mau fokus pada hal sederhana itu saja, seumur hidup tidak akan selesai. Dan itu jauh lebih baik daripada meributkan sistem khilafah, atau mengurusi tetek bengek tidak penting yang hanya memecah-belah manusia dengan sesamanya.

Karenanya, terus terang, saya tidak tertarik dengan sistem khilafah, pemerintahan syariah, atau apa pun namanya. Karena saya menyadari, yang penting bukan sistemnya, melainkan akhlak manusianya. Yang penting bukan seperti apa bentuk pemerintahannya, melainkan moral manusia di dalamnya. Tak peduli diletakkan di tempat mana pun, emas tetap emas, dan tinja tetap tinja.

Daripada meributkan sistem khilafah, pemerintahan syariah, atau hal-hal yang terdengar hebat tapi sebenarnya tidak kita pahami, saya lebih suka belajar tekun, bekerja dengan baik, memastikan keberadaan saya tidak membawa mudarat bagi orang lain, dan—kalau bisa—berbuat baik dan mulia, meski sederhana. Seperti menyingkirkan paku dan batu di jalan, memberi penghiburan bagi tetangga yang ditimpa kemalangan, menjenguk teman yang sakit, atau setidaknya membantu orang asing yang tersesat saat mencari suatu alamat.

Omong-omong soal tersesat ketika mencari alamat, saya termasuk sering mengalami. Ketika mencari alamat seseorang—apalagi di kawasan yang masih asing—saya sering kebingungan. Untung, selalu ada orang-orang baik yang saya temui. Jadi, saya bisa bertanya pada mereka, dan orang-orang itu tampak senang membantu saya.

Selama ini, saya pernah bertanya pada lelaki tua, pada pria muda, pada ibu-ibu, pada mbak-mbak, bahkan pada anak kecil, dan—selama ini pula—orang-orang itu selalu tampak senang membantu saya, ketika sedang berusaha menemukan suatu alamat.

Saya bertanya dengan sopan pada mereka, tentang alamat yang saya cari. Kalau kebetulan mereka tahu, mereka pun menjawab dengan baik, juga dengan sopan, bahkan sering kali membantu mengantarkan ke alamat yang dituju.

Ketika saya bertanya pada mereka—yang artinya meminta bantuan mereka—orang-orang itu tidak pernah mempertanyakan atau bertanya lebih dulu apa agama saya, atau apa keyakinan politik saya, atau apakah saya setuju sistem khilafah atau tidak.

Dalam pandangan mereka, saya manusia yang sedang butuh bantuan, dan mereka pun membantu. Tanpa peduli apa agama atau keyakinan saya. Di sisi lain, saat mendapat bantuan semacam itu, saya juga tidak peduli apa agama orang yang membantu saya. Di mata saya, mereka orang baik, yang rela meluangkan waktu demi membantu orang lain, yang bahkan tidak mereka kenal.

Membantu orang lain yang tidak kita kenal, dan tidak kenal kita... apa yang lebih baik dan mulia dari itu? Saya pikir, Tuhan pun akan setuju.

 
;