***
Sebagai introver, saya memang kadang kesulitan beramah-tamah dengan orang lain di acara-acara sosial yang penuh basa-basi. Tapi saya bisa berbicara di depan forum yang dihadiri ratusan orang, dan saya bisa berbicara berjam-jam, tanpa membuat audiens bosan. Buktinya, setiap kali sesi tanya-jawab dibuka, audiens nyaris tak pernah berhenti mengajukan pertanyaan, dan dialog itu bisa berlangsung lagi sampai berjam-jam, seolah kami semua tak ingin pulang.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Waktu itu, saya punya kebiasaan khas—menjelaskan topik-topik berat dengan cara yang mudah dipahami, dengan bahasa sederhana, bahkan dengan gaya nakal yang kadang mengundang tawa spontan. Dan mereka tak pernah bosan mendengarkan saya berbicara.
Bagaimana itu bisa terjadi? Karena saya berbicara tanpa teks. Ketika berbicara di hadapan audiens, saya benar-benar tidak membawa apa pun—selain rokok dan korek api. Semua materi yang akan saya sampaikan sudah terkumpul di kepala, dan saya tinggal memuncratkannya. Lalu semuanya mengalir tanpa basa-basi, dan saya “memuntahkan” apa pun yang ada di kepala dengan segenap ekspresi, penuh penghayatan, seperti aktor di atas panggung. Hasilnya, audiens terpukau—bukan hanya karena materi yang saya sampaikan, tetapi juga karena cara saya menyampaikannya.
Sampai kemudian, suatu hari, saya frustrasi melihat majalah kampus yang saya anggap mengecewakan. Kampus saya punya majalah yang diurusi para mahasiswa UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Pers, sebagaimana umumnya kampus-kampus lain. Saya tidak puas dengan majalah itu. Tapi saya tidak bisa apa-apa, karena saya bukan anggota UKM Pers, dan saya juga malas mengirim tulisan ke majalah itu, selama isinya masih mengecewakan.
Majalah itu terbit setengah tahun sekali, dan para mahasiswa diwajibkan membeli dengan harga Rp. 5.000,- Majalah itu berisi tulisan-tulisan membosankan ala mahasiswa (sok) idealis, yang sangat tidak menarik dibaca. Bahkan saya yang suka membaca pun tak punya minat membaca majalah itu. Judul-judul artikelnya bertipe, “Ketika Mahasiswa Kehilangan Idealisme dan Bla-bla-bla”.
Tetapi majalah itu harus dibeli semua mahasiswa, tidak bisa tidak. Setiap semester, pada waktu mahasiswa melakukan pembayaran semesteran, biaya majalah itu secara otomatis ikut dibebankan.
Jadi, ada dua hal yang mengusik perasaan saya waktu itu. Satu, majalah itu buruk, tidak menarik. Dua, semua mahasiswa dipaksa membeli majalah itu, tidak bisa tidak. Semula, pemaksaan pembelian majalah itu sudah didemo mahasiswa yang dipimpin bocah ini (dia teman sekampus saya dulu). Tetapi, demo itu tidak terlalu memberi efek yang besar—majalah itu tetap terbit, tetap saja buruk, dan mahasiswa tetap dipaksa membeli.
Akhirnya, saya menemukan ide—yang mungkin—cemerlang, sekaligus elegan. Saya membuat majalah tandingan. Majalah itu saya buat sendiri, semua materinya saya tulis sendiri, dan dalam proses pembuatan majalah itulah—tanpa saya sadari—saya mulai menemukan gaya menulis yang khas, yang kemudian membentuk karakter tulisan saya di masa-masa selanjutnya.
Pada waktu mulai merumuskan materi yang akan ditulis dalam majalah itu, saya berpikir lama, mencari-cari bentuk tulisan yang sekiranya bisa disukai para pembaca. Karena majalah tandingan yang dibuat sendiri, saya jelas menghadapi tantangan yang tidak ringan. Majalah itu kelak akan saya cetak dengan biaya sendiri, dan akan saya jual sendiri. Jika majalah itu tidak laku, maka saya akan rugi, capek, sekaligus tambah frustrasi.
Akhirnya, setelah berpikir dan mencari-cari formula yang tepat, saya menemukan ide yang saya anggap menarik. Saya akan menulis seperti gaya saya berbicara.
Waktu itu, saya pikir, jika orang-orang menyukai gaya berbicara saya, tentunya mereka juga akan suka jika membaca tulisan yang sama dengan gaya saya berbicara. Itu seperti memindahkan “atraksi” di podium ke lembar-lembar kertas. Mereka akan tetap terpukau, jika saya benar-benar bisa melakukannya—menulis dengan penuh ekspresi dan penghayatan, seperti ketika saya berbicara.
Jadi itulah yang kemudian saya lakukan. Setelah menentukan topik-topik yang ingin saya masukkan ke dalam majalah, saya pun mulai menulisnya, dan saya berusaha agar tulisan itu mengalir tepat seperti gaya saya berbicara—diksi yang digunakan, intonasinya, istilah-istilah yang biasa muncul ketika saya “ngoceh”, sampai gaya nakal yang kadang mengundang tawa. Tidak ada basa-basi atau gaya bertele-tele yang membosankan.
Setelah memuntahkan semua yang ada di kepala dalam bentuk tulisan, saya memformatnya menjadi majalah dengan tebal 20-an halaman. Majalah itu saya beri nama SHI. (Sori, saya tidak bisa menyebutkan kepanjangan nama majalah itu, karena di dalamnya ada nama kampus saya).
Semua materi majalah itu saya tulis sendiri di komputer, dan di-print di kertas HVS ukuran biasa. Lalu saya fotokopi, dan dibuat seperti buku tulis yang distaples di bagian tengah. Sampulnya menggunakan kertas cokelat agak tebal. Tampilannya sangat sederhana. Ongkos produksinya waktu itu hanya Rp. 2.000. Saya jual seharga Rp. 3.000. Di bagian belakang majalah itu saya beri tagline, “Jika kamu tidak puas dengan isi majalah ini, garansi pengembalian uang 100%.”
Ketika terbit, majalah itu segera laku keras, dan menjadi bahan pembicaraan semua orang—dari para mahasiswa sampai para dosen dan pegawai akademik. Melihat antusiasme pembaca, saya pun membuat majalah itu terbit sebulan sekali. Selama berbulan-bulan kemudian, ribuan orang membeli edisi demi edisi majalah yang saya buat, ribuan eksemplar terus terjual, dan distribusinya sampai mengalir ke kampus-kampus lain.
Setiap kali terbit, majalah itu bikin geger karena topik-topik yang saya bahas, dan mereka terus menunggu-nunggu edisi selanjutnya. Nailal Fahmi, bocah Bekasi yang sekarang juga menjadi penulis, adalah salah satu saksi hidup yang menyaksikan kegemparan yang ditimbulkan majalah SHI. Dia sekampus dengan saya waktu itu.
(Oh, well, kalian mungkin penasaran dan bertanya-tanya topik apa saya bahas dalam majalah, hingga efeknya bisa seperti itu. Kelak akan saya ceritakan di catatan lain, agar posting ini tidak keluar dari konteks pembahasan).
Sekarang, jika mengingat kembali saat-saat itu, saya menyadari bahwa majalah SHI tampil sangat sederhana, dan semua orang tahu itu majalah fotokopian. Tapi mengapa mereka mau mengeluarkan uang untuk membelinya, dan tak pernah bosan membacanya? Tentu saja bukan karena tampilan majalahnya, tapi karena isinya! Mereka menyukai tulisan-tulisan di dalamnya—tulisan-tulisan yang saya buat persis seperti gaya saya berbicara!
Ketika menyadari kenyataan itu, saya pun mulai melihat bahwa salah satu daya tarik tulisan saya adalah gaya yang saya gunakan. Materi yang hebat bisa membosankan jika gaya tulisannya buruk. Sebaliknya, materi yang sederhana bisa asyik dinikmati jika gaya tulisannya menarik. Dari situlah kemudian saya terus mengembangkan, memperbaiki, menyempurnakan, dan terus mengeksplorasi gaya menulis saya, hingga seperti yang kalian kenal sekarang.
Gaya tulisan yang sedang kalian baca ini, adalah hasil proses bertahun-tahun—pembelajaran tanpa henti, perbaikan tanpa henti, penyempurnaan tanpa henti. Jika kalian menilai tulisan saya enak dibaca dan asyik, setidaknya salah satu tujuan saya menulis telah tercapai. Mungkin gaya menulis saya belum sempurna—dan memang tak akan pernah sempurna—karena menulis adalah perjalanan proses, suatu proses yang tak pernah berhenti.
Sebagai penutup catatan panjang ini, mari kita simpulkan.
Untuk bisa memiliki gaya menulis yang khas, unik, dan berkarakter, kita membutuhkan tiga hal. Pertama, wawasan dan pengetahuan yang luas. Kedua, keterampilan menulis yang terus terasah. Ketiga, kemampuan memasukkan kepribadian kita ke dalam tulisan, atau menjadi diri sendiri. Poin terakhir itulah yang paling penting—menjadi diri sendiri. Menulis adalah proses untuk menjadi.
Dan proses itu tak pernah selesai.