Pertanyaan yang paling sulit dijawab penulis, setidaknya bagi saya, adalah, “Bagaimana menemukan gaya menulis?” Kenyataannya, bagi saya pribadi, pelajaran paling sulit dalam menulis adalah menemukan gaya menulis. Karena itu pula, buku-buku kepenulisan dan sekolah-sekolah menulis jarang sekali—untuk tidak menyebut tidak pernah—mengajarkan cara menemukan gaya menulis.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Para penulis profesional mungkin bisa mengajarkan cara mencari dan mendapatkan ide menulis, cara menyusun kerangka karangan, cara menulis yang baik dan benar, dan lain-lain. Tapi jarang sekali saya menemukan pelajaran khusus tentang gaya menulis. Selama bertahun-tahun, saya membaca lebih dari seratus buku tentang teori menulis, dan nyaris tidak ada satu pun yang mengajarkan topik itu.
Kenyataannya hal ini memang sulit, dan mungkin memang sulit pula diuraikan dalam bentuk teori. Gaya menulis, sepertinya, adalah rahasia yang hanya ditemukan dan dimiliki orang-orang yang tidak pernah berhenti menulis, tidak berhenti mengeksplorasi dan memperbaiki diri, tidak pernah berhenti mencari gaya yang paling khas dalam menulis. Faktanya, hanya sedikit penulis yang memiliki gaya menulis dengan karakter sangat kuat.
Bagi saya sendiri, gaya menulis yang khas dan berkarakter adalah pencapaian puncak yang dapat dicapai seorang penulis. Karena sepertinya memang itulah hal paling sulit yang bisa diperoleh penulis. Bagi setiap penulis—yang benar-benar penulis—melahirkan buku bestseller mungkin bukan hal sulit, popularitas mudah didapat, dan produktivitas pun bisa dipacu. Tetapi gaya menulis… tidak setiap penulis mampu memilikinya.
Faktanya, sekali lagi, sangat sedikit penulis yang memiliki gaya menulis khas, sehingga pelajaran tentang gaya menulis pun sulit diajarkan—khususnya oleh mereka yang memang belum menemukan gaya menulisnya sendiri. Penulis yang tidak memiliki gaya menulis khas, tapi mengajarkan gaya menulis, tak jauh beda dengan orang yang tak bisa berenang tapi mengajarkan teknik gaya kupu-kupu. Hasilnya, si murid bisa mati tenggelam.
Karenanya, saya sering kebingungan setiap kali mendapat pertanyaan itu. Bagaimana cara menemukan gaya menulis? Bagaimana agar bisa memiliki gaya menulis yang khas? Bagaimana agar tulisan kita memiliki ciri dan karakter yang mudah dikenali? Pertanyaan-pertanyaan itu terdengar mudah, tapi jawabannya sungguh susah, karena saya sendiri pun belum yakin telah memiliki gaya menulis yang khas.
Di Indonesia, hanya sedikit penulis yang memiliki gaya menulis khas dan berkarakter—setidaknya bagi saya. Dari yang sedikit itu, tiga orang yang sangat saya sukai gaya menulisnya adalah Goenawan Mohamad, A.S. Laksana, dan Emha Ainun Nadjib. Tiga orang itu memiliki gaya menulis sangat khas, dengan ciri dan karakter masing-masing yang unik, sekaligus sulit ditiru. Jika ingin tahu seperti apa yang disebut “gaya menulis yang berkarakter”, bacalah tulisan-tulisan ketiga orang itu.
Ketika menulis sesuatu, Goenawan Mohamad seperti koki yang sangat cerdik mencampurkan aneka bumbu rahasia, hingga hasil masakannya (tulisannya) benar-benar lezat saat dinikmati pembaca. Ia mencampurkan detail-detail fakta yang digali dari lapangan, direfleksikan dengan sejarah, dihiasi quote para tokoh, diperciki kata-kata sastrawi, dan ditulis dengan sentuhan seorang maestro. Hasilnya, saya dan ribuan orang lain benar-benar kecanduan tulisannya!
Emha Ainun Nadjib menggunakan cara tak jauh beda, dengan ciri khasnya yang unik. Dalam menulis, ia sering mengambil topik sosial budaya, merefleksikannya dengan ajaran agama tanpa menjadi dogmatis, kemudian menyampaikan pemikiran dan sudut pandangnya sendiri yang unik dan moderat, hingga pembaca—tanpa sadar—mengangguk-anggukkan kepala. Saya bersyukur Penerbit Kompas membukukan tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib yang terserak di mana-mana, hingga lebih mudah dinikmati.
A.S. Laksana juga memiliki cara yang khas dalam menyajikan tulisan—sebuah ramuan padat antara fakta, refleksi pikiran, kalimat bernas, sekaligus humor yang satir. Tulisannya pun selalu enak dibaca, karena mengalir lancar, seruwet apa pun topik yang dibahasnya. Saya tidak tahu apakah dia sengaja melucu atau tidak, tapi saya selalu cekikikan setiap kali membaca tulisannya. Itu sesuatu yang sulit ditiru—humor tersembunyi dalam tulisan yang serius.
Setiap Minggu, saya selalu membeli banyak koran, termasuk Jawa Pos, hanya untuk membaca tulisan A.S. Laksana yang muncul seminggu sekali. Jika suatu Minggu saya membuka koran Jawa Pos dan tidak menemukan tulisannya, saya pasti misuh-misuh!
Lanjut ke sini.