Jumat, 01 November 2013

Menemukan Gaya Menulis (4)

Topik yang dibahas dalam posting ini sangat berkaitan dengan post sebelum dan sesudahnya. Karenanya, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, bacalah rangkaian posting ini secara berurutan dari awal. Mulailah membaca rangkaian posting ini dari sini.

***

Kenyataan itu tak jauh beda dengan yang terjadi di dunia musik. Kalau kita tergila-gila pada gaya musik Dream Theatre, misalnya, maka mau tidak mau—tidak bisa tidak—gaya Dream Theatre akan ikut masuk ke dalam musik yang kita ciptakan. Karya seorang seniman akan dipengaruhi oleh seniman lainnya. Itu sunnatullah, hukum alam, yang terjadi di semua bidang. Semakin luas wawasan musik kita, semakin kaya pula gaya bermusik yang bisa kita ciptakan.

Baca: Media Online Paling Memuakkan

Apa artinya itu? Dalam konteks menulis, sekali lagi, penulis dibentuk oleh buku-buku yang dibacanya. Buku-buku yang kita baca tidak hanya memberi wawasan dan pengetahuan yang luas, tetapi juga ikut mempengaruhi gaya menulis kita. Semakin banyak buku yang kita baca, tidak hanya semakin luas wawasan yang kita dapatkan, tetapi semakin kaya pula teknik penulisan yang kita kenal. Pada akhirnya, jika kita tak berhenti belajar dan terus mengeksplorasi diri, semua itu akan membentuk karakter tulisan kita sendiri.

Jadi, sekali lagi, inilah syarat pertama untuk bisa memiliki gaya menulis yang khas dan berkarakter—wawasan yang luas dan dalam, yang ditunjang banyaknya buku yang kita baca. Itu pula, sebenarnya, syarat utama untuk bisa menulis dengan baik. Sebelum belajar teknik menulis dan lainnya, seseorang harus banyak membaca terlebih dulu jika ingin menjadi penulis.

Syarat kedua, adalah keterampilan menulis. Keterampilan menulis dibutuhkan, agar kita tahu bagaimana merangkai kalimat yang baik, bagaimana memilih diksi yang tepat, bagaimana menghindari istilah atau kata-kata klise, bagaimana menjauhi gaya yang sudah usang, sehingga tulisan kita tidak membosankan. Untuk hal ini, kita bisa belajar dari buku-buku kepenulisan yang banyak beredar di toko-toko buku, atau ikut pelatihan menulis, atau semacamnya.

Dalam hal ini, kalau boleh memberi saran, bacalah buku-buku teori menulis yang ditulis orang yang benar-benar bisa menulis. Begitu pula jika ikut pelatihan atau sekolah menulis, ikutilah pelatihan yang diajar orang yang benar-benar bisa menulis. Kalau kita ingin belajar berenang dengan baik, kita harus memastikan guru renang kita benar-benar bisa berenang dengan baik. Karena, jika tidak, teori yang diberikannya bisa berbahaya. Alih-alih pintar berenang, kita justru bisa mati tenggelam. Begitu pun dengan belajar menulis.

Jika kita telah mengumpulkan banyak wawasan dari ratusan hingga ribuan buku yang kita baca, juga rajin belajar untuk terus mengasah keterampilan menulis kita, maka syarat ketiga untuk bisa memiliki gaya menulis yang khas adalah membungkus semua itu dengan karakter kita sendiri.

Nah, untuk bagian inilah saya kesulitan mengajarkannya, karena ini sangat berkaitan dengan pribadi masing-masing, orang per orang. Bahkan, pada akhirnya, gaya menulis seseorang akan sangat berkaitan dengan kepribadian orang bersangkutan, dan dari situlah karakter yang sangat khas dan unik mulai muncul dalam tulisan. Sebuah karakter yang sangat menonjol, unik, sulit ditiru, bahkan sulit ditandingi.

Dalam hal ini, mungkin saya hanya bisa menceritakan kisah saya sendiri, perjalanan yang saya tempuh hingga bisa memiliki gaya menulis seperti yang sekarang kalian kenali. Kisah saya mungkin berbeda dengan kisah kalian—dan tentu saja begitu. Karenanya, dengan kisah berikut ini, kalian mungkin bisa bercermin dan mulai mencari jalan kalian sendiri untuk menemukan gaya menulis yang benar-benar mencerminkan diri sendiri.

Kisah ini dimulai ketika saya masih kuliah, dan dari sanalah gaya menulis saya mulai terbentuk, perlahan-lahan, bahkan nyaris tanpa saya sadari.

Sebelum aktif menulis seperti sekarang, saya lebih banyak berbicara di hadapan publik, karena sering diundang di acara-acara kemahasiswaan—di kampus sendiri, atau di kampus-kampus lain. Saya belajar public speaking secara otodidak dari buku-buku Dale Carnagie yang mengajarkan topik itu, dan tampaknya saya benar-benar bisa menjiwainya. Setiap kali saya berbicara di hadapan para mahasiswa, mereka… well, seperti terhipnotis.

Pada waktu-waktu itu, saya memperhatikan diam-diam, setiap kali saya mulai berbicara, mereka yang semula bisik-bisik semrawut mulai diam. Menyimak. Mendengarkan. Khusyuk. Semakin “memukau” saya berbicara, mereka semakin terpaku di tempat duduknya. Dan itu bisa berlangsung berjam-jam.

Lanjut ke sini.

 
;