***
Darwin tidak percaya jawaban itu, karena sangat tak masuk akal. Ia tahu, dan yakin, bahwa motivasi orang itu menfitnahnya karena iri. Kedengkian dan iri hati telah membutakan mata dan menggelapkan hatinya, hingga tega melakukan perbuatan keji semacam itu.
Kisah ini berakhir sampai di situ. Darwin bukan tipe orang yang suka ribut-ribut, jadi dia pun menganggap masalahnya telah selesai, dan tak ingin memperpanjang. Yang jelas, dia telah mengetahui bahwa orang yang dikenalnya ternyata tak sebaik yang ia bayangkan sebelumnya, bahwa kesuksesan yang diraihnya telah membuahkan iri hati sesama blogger yang mungkin tidak seberuntung dia.
Kisah itu memberi pelajaran pada saya, bahwa iri hati dan kedengkian adalah penyakit yang bisa menimpa siapa saja, dan kita bisa menjadi penyebabnya. Orang yang kita kenal, yang tampaknya baik, bisa jadi menyimpan iri hati kepada kita, karena mungkin kita dianggap memiliki prestasi atau sesuatu yang tak dimilikinya. Sebaliknya, kita sendiri pun bisa menyimpan kedengkian yang sama terhadap orang lain—yang kita kenal atau pun tidak—dengan alasan tak jauh beda.
Prestasi atau kelebihan seseorang tidak jarang menimbulkan iri hati dan dengki bagi orang lainnya. Itu penyakit umum manusia—yang kita kenal, maupun yang tidak. Padahal, jika dipikir dengan akal sehat dan nurani yang bening, apa untungnya menyimpan iri hati dan kedengkian? Kita sakit hati atas kelebihan orang lain, dan berharap orang lain merasakan sakit yang sama. Itu seperti menyalakan api di tubuh kita sendiri, dan berharap orang lain yang terbakar. Konyol, dan tak masuk akal.
Orang yang memfitnah Darwin mungkin iri pada kesuksesan Darwin karena bisa mendapatkan penghasilan dari Adsense. Karena dorongan iri hati pula, dia sampai tega melakukan perbuatan jahat pada Darwin. Kenyataannya memang upayanya berhasil—Darwin dipecat dari Google Adsense. Tapi apa yang kemudian diperoleh orang itu? Dia tak mendapatkan apa-apa, selain mungkin kepuasan sesaat yang kemudian berbuntut perasaan bersalah sepanjang hayat.
Iri dan dengki adalah perasaan manusia yang tersembunyi. Ia seperti kanker—bersemayam di tubuh kita, dan diam-diam menggerogoti nurani kita perlahan-lahan. Apa pun bentuknya, kanker adalah penyakit berbahaya. Begitu pun iri hati.
Sebagai manusia biasa, saya juga kadang menyimpan perasaan semacam itu—iri atau dengki melihat kelebihan orang lain. Tetapi, demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, saya berani bersumpah tidak ada setitik keuntungan pun yang bisa saya peroleh dari perasaan itu. Saya tidak menjadi manusia yang lebih baik karena perasaan iri. Saya pun tidak menjadi lebih hebat karena menyimpan dengki. Sebaliknya, saya merasa sakit. Atau tersakiti.
Bertahun-tahun lalu, ketika saya masih bocah miskin dan dekil, saya sering merasa iri ketika melihat bocah-bocah lain yang bisa hidup enak, mengendarai motor mahal, dan keluyuran saban malam, lalu pulang ke rumah dan tidur di kasur empuk dengan nyaman. Saya tidak bisa seperti mereka, dan saya dengki. Oh, well, saya dengki pada mereka, karena saya tidak bisa seperti mereka!
Dan apa yang kemudian saya peroleh dari perasaan itu? Tidak ada! Sebaliknya, saya merasa sakit. Semakin besar rasa dengki di hati, saya semakin merasa tersakiti.
Ketika menyadari kenyataan itu, saya pun sampai pada kesimpulan bahwa menyimpan iri hati sama saja menyimpan penyakit. Itu konyol. Sejak itu pula, saya berusaha menjauhkan perasaan itu, dan menggantinya dengan perasaan positif. Alih-alih iri dan dengki melihat kelebihan orang lain, saya mulai menjadikan hal itu sebagai bara yang membakar motivasi saya untuk memperbaiki diri. Hasilnya, hidup saya berubah, nasib saya berubah, diri saya berubah.
Iri hati dan dengki atas kelebihan orang lain tak mengubah apa pun—ia hanya menjadi penyakit. Tapi motivasi positif karena melihat kelebihan orang lain bisa mengubah kita—itu semacam jamu yang kita minum, pahit tapi menyembuhkan. Sejak itu, setiap kali melihat orang berprestasi, saya tidak berpikir untuk dengki kepadanya, tapi justru menjadikannya penyemangat bahwa saya pun bisa seperti dirinya.
Ehmm....
Belum lama, seorang teman mengenalkan buku barunya di Facebook. Sebut saja namanya Farhan. Ia mengunggah sampul bukunya, menuliskan sinopsisnya, dan mengabarkan pada teman-teman di Facebook bahwa buku barunya telah terbit. Tidak lama setelah itu, beberapa orang telah membeli dan membaca buku tersebut, dan menuliskan komentar mereka.
Namanya manusia, tentu memiliki selera berbeda. Dalam kolom komentar, ada yang memberi komentar positif, ada pula yang negatif. Farhan tidak mempermasalahkan hal itu, karena baginya itu feedback yang akan membuatnya terus belajar agar bisa menghasilkan karya yang lebih baik. Rata-rata penulis—setidaknya yang saya kenal—tidak mempersoalkan kritik dari pembaca, karena itu hal biasa.
Sampai kemudian, ada seseorang yang bikin masalah. Akun Facebook Farhan dibuka secara umum. Artinya, siapa pun bisa menulis komentar di dindingnya, meski tidak masuk dalam lingkaran pertemanannya. Nah, orang itu menulis komentar yang isinya menjelek-jelekkan buku Farhan, tapi keluar dari konteks isi bukunya. Komentarnya ada di antara tumpukan komentar orang lain.
Farhan menanggapi, dan menyatakan pada orang itu agar kritiknya diarahkan pada konteks atau isi bukunya saja, agar dia tahu dimana kelemahannya. Tapi orang itu dengan jumawa menjawab bahwa dia tidak suka buku semacam itu, dan dia belum membaca buku Farhan. Pengakuan itu pun memunculkan kejengkelan bagi Farhan dan bagi orang-orang lainnya.
Kalau kita membaca sebuah buku, dan merasa kecewa, lalu menyampaikan kritik yang santun, maka iblis di neraka pun akan memaklumi. Setiap pembaca berhak menyampaikan feedback kepada penulis buku yang ia baca. Tetapi, jika kita tidak membaca suatu buku, kemudian merasa sok tahu dan melemparkan kritik busuk yang menyakitkan, maka orang-orang suci pun akan kecewa. Hanya keparat tolol sok pintar yang mengkritik sesuatu yang tidak diketahuinya.
Itulah yang terjadi pada buku Farhan. Begitu mengetahui orang itu hanya mengkritik sok tahu, orang-orang pun marah dan mencercanya habis-habisan. Mungkin, karena malu akibat di-bully tanpa henti, orang itu pun kemudian menjawab dengan dalih yang sangat klise, “Ah, komentar saya kemarin itu cuma untuk bercanda dan ngerjain Farhan saja, kok. Tidak usah dimasukin ke hati.”
Farhan tidak percaya pernyataan itu. Orang-orang lain juga tidak percaya. Membaca kritikan dan cercaannya yang serius (dan tidak ada tanda bercanda sedikit pun), orang itu sama sekali tidak bermaksud ngerjain atau sekadar bercanda—ia memang ingin mencerca dan menjelek-jelekkan. Tak perlu jadi cenayang yang bisa membaca pikiran orang, semua orang tahu bahwa kritikan dan cercaan itu muncul karena dorongan iri hati.
Berkaca pada hal itu, sekali lagi saya bertanya-tanya, apa yang didapatkan orang itu dari kritikan dan cercaannya yang lahir akibat iri hati? Tidak ada! Kedengkian karena melihat prestasi orang lain telah menjadikannya seorang pecundang. Iri hati karena menyaksikan kesuksesan orang lain telah menjadikannya pesakitan. Api yang semula ia harapkan dapat membakar orang lain justru menghanguskan dirinya sendiri.
Sekali lagi, iri hati dan kedengkian adalah kanker yang bersemayam di dalam diri kita. Jika kita memanjakannya, kanker itu akan membesar dan menggerogoti tubuh kita, perlahan-lahan, hingga kita sekarat dan mati. Satu-satunya cara sehat dan bijak menghadapi kanker adalah menghilangkannya. Semakin cepat kanker itu terdeteksi, semakin kita mampu menjinakkannya. Memelihara kanker adalah cara tolol untuk mati—begitu pula memelihara iri hati.
Iri hati dan kedengkian adalah energi negatif. Menggunakan hukum fisika, ajaran agama, atau pun teori psikologi, sesuatu yang negatif akan menarik hal lain yang sama negatif. Isaac Newton percaya hal itu. Mahatma Gandhi percaya hal itu. Saya pun percaya hal itu. Kita dengki pada orang lain, kita sedang menarik hal negatif pada diri sendiri. Apa manfaatnya?
Iri hati pada orang hebat tidak menjadikan kita hebat. Dengki pada orang berprestasi tidak menjadikan kita berprestasi. Energi negatif akan menarik hal lain yang sama negatif.
Daripada menjadi pribadi negatif yang iri pada orang lain, saya pikir lebih baik menjadi pribadi positif yang termotivasi orang lain. Daripada dengki melihat prestasi atau kesuksesan orang lain, sepertinya jauh lebih baik jika kita terinspirasi olehnya, dan berusaha untuk bisa sebaik mereka. Daripada berusaha menyerang orang lain karena perasaan negatif kita, saya lebih memilih untuk belajar kepada mereka.
Orang-orang hebat bukan ancaman yang harus dikalahkan, mereka adalah tantangan yang seharusnya melecut semangat kita agar bisa sehebat mereka. Orang-orang berprestasi bukan saingan apalagi musuh yang harus dihancurkan, mereka adalah pelajaran yang seharusnya membuka mata bahwa kita pun bisa seperti mereka. Dan untuk hal itu, kita tidak memerlukan iri hati dan dengki, melainkan kesadaran untuk mau belajar, sekaligus upaya menghidupkan nurani.