Orang tak dapat melihat bayangan dirinya di dalam air yang mengalir,
tapi ia dapat melihatnya pada air yang diam.
—Konfusius
tapi ia dapat melihatnya pada air yang diam.
—Konfusius
Mahatma Gandhi—siapa yang tidak kenal nama ini? Dalam catatan sejarah, Mahatma Gandhi bukan hanya negarawan India serta salah satu orang besar dunia, tetapi juga satu di antara sedikit manusia yang mampu menyadap rahasia alam semesta. Melalui dirinyalah kekuatan besar yang tak kasatmata mengalir… dan menciptakan perubahan besar yang kemudian tidak saja mengubah India, tetapi juga dunia.
Jika ada orang yang bisa melakukan perubahan besar dengan tidak melakukan apa-apa, Mahatma Gandhi-lah orangnya. Seperti yang kita tahu, Gandhi adalah pencipta gerakan Ahimsa. Ahimsa adalah diam—tenang, tidak melakukan atau meneriakkan apa pun. “Tanpa kekerasan,” kata orang-orang.
Melalui Ahimsa itulah Gandhi mengubah negaranya, membebaskan India dari penjajahan Inggris. Berbeda dengan bentuk demonstrasi lain yang biasanya penuh gerakan dan hiruk-pikuk serta teriakan-teriakan, Gandhi menggerakkan jutaan orang untuk diam, dalam rangka menuntut perubahan. Perhatikan—diam, untuk perubahan.
Dan jutaan orang patuh pada perintah Gandhi. Jutaan orang percaya kepada orang ini, dan mereka pun melakukan tepat seperti yang diminta Gandhi—demonstrasi dalam diam. Jutaan orang itu tidak meneriakkan apa-apa, tidak melakukan apa-apa, hanya diam.
Jadi begitulah. Ketika jutaan warga India melakukan ahimsa, dan diam tanpa suara serta gerakan apa-apa, sebuah perubahan besar terjadi. Sebagaimana matahari bersinar tanpa suara, angin bergerak tanpa berisik, bunga-bunga mekar tanpa berteriak, alam semesta mengubah banyak hal melalui diam. Gandhi tahu rahasia ini, dan dia menyadapnya, dan mengubah dunia.
Ketika jutaan orang hanya diam dan tidak melakukan apa-apa, pemerintahan Inggris yang waktu itu bercokol di India pun guncang. Sekuat apa pun sebuah rezim, ia tak ada apa-apanya di hadapan alam semesta yang diam, di hadapan rakyat yang tidak melakukan apa-apa.
Karena jutaan orang diam, maka roda ekonomi berhenti, sebab tidak ada aktivitas apa-apa. Karena jutaan orang diam, politik tak lagi berarti karena diam tak butuh politik apa pun. Dan polisi atau pun tentara tak bisa menangkap orang yang diam dan tenang—karena diam dan tenang bukanlah kejahatan. Di hadapan diam dan keheningan, raksasa sebesar dan sekuat apa pun akan tumbang.
Dalam diam, perubahan besar terjadi.
Karena kemampuannya menyadap rahasia-rahasia alam semesta, Gandhi tidak hanya mampu mengajak orang lain untuk diam dan tenang, dia bahkan mampu meminta binatang untuk juga diam. Dalam salah satu biografinya diceritakan, suatu hari Gandhi berjalan-jalan di sebuah padang bersama beberapa pengikutnya. Di tengah jalan, seekor ular merayap dan bersiap menyerang mereka, dan para pengikut Gandhi pun segera siaga untuk membunuhnya.
Tetapi Gandhi mencegah. Dia berdiri di hadapan ular itu, menggelengkan kepala dengan lembut, dan ular yang mengerikan itu pun diam tak bergerak dan tidak mengganggu.
Karena dikenal sebagai orang besar serta memiliki banyak keistimewaan, nama Gandhi pun dikenal sebagai pahlawan sekaligus orang besar, dan banyak orang yang mengagumi serta menghormatinya. Nah, yang mungkin masih jarang diketahui kebanyakan orang adalah, ternyata Gandhi suka makan gulali.
Bagaimana ceritanya, kok bisa-bisanya Mahatma Gandhi suka gulali?
Ceritanya begini. Ada seorang anak lelaki berusia lima tahun di India, yang sangat suka makan gulali. Karena seringnya makan gulali setiap hari, gigi anak lelaki ini pun rusak. Ibunya sudah berupaya menasihatinya dengan susah-payah agar dia tidak lagi makan gulali, atau menguranginya, tapi si anak lelaki tetap saja bandel dan terus makan gulali setiap hari. Gurunya di sekolah juga sudah berusaha memberikan pengertian yang macam-macam, tapi si anak lelaki tetap cinta gulali.
Sampai kemudian, karena frustrasi, ibu si anak itu berunding dengan guru si anak di sekolah, mencari cara agar si anak lelaki tidak lagi memakan gulali. Si guru mengajukan pertimbangannya. “Apakah anak Anda punya tokoh idola?” tanyanya pada si ibu anak lelaki tadi.
“Ya,” jawab si ibu, “anak saya sangat mengidolakan Mahatma Gandhi.”
“Kalau begitu, cobalah temui Tuan Gandhi, dan mintalah beliau agar menasihati anak Anda untuk tidak lagi makan gulali. Mungkin, kalau Tuan Gandhi yang menasihati, anak Anda akan patuh, karena nasihat itu disampaikan oleh tokoh idolanya.”
Si ibu pun menuruti pertimbangan itu, dan dia kemudian menemui Mahatma Gandhi. Si ibu menceritakan masalah anaknya, dan berharap Gandhi mau memberikan nasihatnya agar si anak tidak lagi makan gulali.
Mendengar cerita itu, Gandhi mengangguk, kemudian menjawab, “Tolong beri saya waktu tiga bulan, nanti saya akan menasihati anakmu.”
Si ibu pun pulang. Tiga bulan kemudian, Gandhi datang ke rumah si ibu, dan menemui si anak lelaki. Kepada anak laki-laki itu, Gandhi berkata, “Nak, berhentilah makan gulali.”
Hanya itu nasihat yang diberikan Gandhi. Dan si anak lelaki pun patuh, dia tidak pernah makan gulali lagi semenjak itu.
Tetapi si ibu jadi bingung. Dia tidak habis pikir, kenapa hanya untuk memberikan nasihat yang mudah seperti itu saja, Mahatma Gandhi sampai minta waktu tiga bulan. Didorong rasa penasarannya, si ibu ini kembali menemui Gandhi dan bertanya, “Tuan Gandhi, maafkan saya, kenapa Anda harus membutuhkan waktu sampai tiga bulan hanya untuk memberikan nasihat yang mudah seperti itu?”
Dengan jujur, Mahatma Gandhi menjawab, “Karena saya sendiri juga suka makan gulali. Itulah kenapa, saya meminta waktu tiga bulan, agar saya bisa belajar lebih dulu untuk berhenti makan gulali, sebelum menasihati anak Anda untuk melakukan hal yang sama.”
Pastinya kita sepakat, bahwa makan gulali adalah perkara yang remeh. Dan kalau umpama Mahatma Gandhi menasihati anak lelaki tadi agar berhenti makan gulali, meski dirinya sendiri juga ternyata makan gulali, dunia tidak akan menyalahkannya. Wong hanya makan gulali ini, apa salahnya? Tetapi Gandhi terlalu besar untuk melakukan ‘kejahatan’ semacam itu. Apa yang dinasihatkannya, sekecil apa pun, adalah apa yang juga dilakukannya.
Memberikan nasihat itu mudah, bahkan sekarang nasihat sudah menjadi barang obral—ia bisa didapatkan di radio, televisi, bahkan layanan SMS. Nasihat itu mudah, sekaligus murah. Terlalu banyak orang yang sangat pintar memberikan, bahkan meneriakkan, aneka macam nasihat. Tetapi yang sulit adalah melaksanakan apa yang dinasihatkannya itu. Lebih sulit lagi adalah melaksanakan nasihat yang keluar dari mulut kita sendiri.
Jika ada orang yang berani menasihati bahwa orang miskin adalah kekasih Tuhan, maka seharusnya dia tidak hidup dalam kekayaan, apalagi kemewahan. Jika ada orang yang menasihati bahwa kemiskinan adalah ujian Tuhan dalam kehidupan, maka seharusnya si pemberi nasihat menjadi orang pertama yang menjalani ujian itu. Sungguh mudah bicara kemiskinan jika hidup dalam kekayaan. Sungguh mudah menasihati orang miskin, jika tidak menjalani hidup sebagai orang miskin.
Gulali itu enak, dan menyenangkan—sama seperti kekayaan dan kemewahan. Karenanya, siapa pun yang suka makan gulali, tidak boleh menasihati orang lain agar tidak makan gulali. Sebagaimana Mahatma Gandhi, berhentilah makan gulali kalau ingin menasihati orang lain untuk tidak makan gulali.