Kalau hidup kita tidak bahagia, ada dua
kemungkinan. Kita tidak tahu arti bahagia,
atau kita berpikir hidup kita tidak bahagia.
—@noffret
kemungkinan. Kita tidak tahu arti bahagia,
atau kita berpikir hidup kita tidak bahagia.
—@noffret
—Salam untuk Naula
Saya baru selesai cuci muka pagi itu, ketika ponsel berdering. Waktu saya lihat, nama Thoriq tertera di layar. Dia teman sejak masa SMA. Saya pun segera menerimanya.
“Aku baca blogmu tadi malam,” ujar Thoriq di telepon. “Kayaknya kamu lagi sakit?”
“Yeah, lumayan,” saya menjawab, “tapi sekarang udah mendingan.”
“Kamu di rumah?”
“Ya.”
“Bagus. Siang nanti aku ke tempatmu. Kamu ingin dibawain sesuatu?”
“Nggak. Aku senang kalau kamu datang. Ada teman ngobrol.”
Siangnya, sekitar pukul 11, Thoriq benar-benar datang. Saya kira dia akan datang sendirian, tapi rupanya bersama seorang cewek. Semula, saya pikir itu pacar Thoriq yang baru—dulu saya kenal pacarnya, dan seingat saya bukan cewek ini. Tapi, ketika memperkenalkan kami, Thoriq menyebut cewek itu temannya.
“Namanya Naula,” ujar Thoriq saat memperkenalkan kami. Lalu menambahkan, “Dia penggemar berat blogmu.”
Saya tersenyum malu-malu, sebagaimana mestinya seorang anak manis. (Yeah!)
Naula mungkin berumur 24 atau sekitar itu—tampak anggun dan dewasa, juga sangat cantik. Tapi di atas semua itu, ia ramah dan teman ngobrol yang menyenangkan. Jadi, meski kami baru kenal, dia bisa ikut nimbrung percakapan saya bersama Thoriq dengan asyik.
Selepas dhuhur, Thoriq menawari kami keluar untuk mencari makan, karena dia sudah kelaparan. Tapi saya tak berselera keluar rumah. Selain badan agak lemas, waktu itu siang sangat panas. Jadi, Thoriq pun mengusulkan, “Gimana kalau aku keluar sebentar buat nyari makan? Yeah, biar kita nggak ikut-ikutan sakit kayak kamu.”
Naula setuju, dan saya nitip pesan, “Carikan nasi yang keras, Riq.”
“Sip!” Lalu dia pun pergi.
Sepeninggal Thoriq, saya melanjutkan percakapan dengan Naula di ruang tamu. Bagaimana pun, kami baru kenal. Jadi, selancar apa pun percakapan kami, akhirnya muncul jeda cukup panjang, karena kehabisan bahan percakapan. Mengisi jeda itu, saya mengambil rokok dan menyulutnya. Dan menyadari Naula memperhatikan saya dengan ekspresi serius.
Dengan suara seringan mungkin, saya berkata, “Kenapa kamu mandangin aku begitu?”
Dia tersenyum. “Rasanya aku masih belum percaya, saat ini sedang menjenguk seseorang yang selama ini hanya aku kenal lewat tulisan-tulisannya.”
“Kamu pasti kecewa,” saya menyahut. Setelah mengisap asap rokok, saya melanjutkan, “Kamu pasti kecewa melihatku sekarang, karena mungkin selama ini membayangkan aku terlalu tinggi.”
Senyumnya tidak hilang. “Sebaliknya,” dia berujar, “aku sangat senang bisa melihatmu sekarang—melihatmu dalam wujud asli—karena ternyata kamu sangat manusiawi.”
Waktu itu saya memakai t-shirt dan celana boxer—pakaian yang biasa saya kenakan sehari-hari. Karena semula saya mengira Thoriq akan datang sendirian, saya pun tidak berganti pakaian yang “lebih pantas”. Jadi begitulah sekarang saya tampak di hadapan Naula—seorang bocah lelaki dengan kaus dan celana boxer, dan sebatang rokok di tangan, dengan sikap yang mungkin agak kikuk karena berduaan dengan cewek cantik.
Tiba-tiba saya tertawa.
“Kenapa kamu malah ketawa?” tanya Naula dengan heran.
“Yeah, aku sama sekali nggak ngira akan mendengar komentar seperti itu,” saya menjawab jujur. “Menurutmu, aku sangat manusiawi, ya?”
“Ya, maksudku, jauh lebih manusiawi dari yang kubayangin selama ini.”
Saya pun penasaran. “Jadi, apa yang kamu bayangin selama ini?”
Dia menatap saya, dan tersenyum. “Mau jawaban jujur?”
“Ya.” Saya berdebar-debar.
“Hampir tiap hari aku masukin namamu di Google, untuk mengunjungi blogmu. Selama membaca tulisan-tulisanmu, aku tuh sering bayangin kamu nggak seperti manusia lainnya.”
Setelah terdiam sesaat, Naula melanjutkan, “Mungkin, banyak orang lain yang membaca tulisan-tulisanmu di blog juga berpikir gitu. Dulu, waktu Thoriq bilang kenal kamu—karena kalian berteman sejak SMA—aku langsung kaget dan nggak percaya, karena selama ini kupikir kamu udah... yah, udah dewasa banget, gitu.”
Saya tersenyum. “Itu cara lain untuk menyatakan ‘udah tua’.”
“Ya gitu, deh.” Dia tertawa. “Makanya, aku masih ngerasa belum percaya kalau sekarang sedang berhadapan dengan kamu—dalam wujud asli—dan mendapati kamu sangat manusiawi. Yah, maksudku, kamu nggak beda dengan Thoriq atau cowok-cowok lainnya.”
“Aku senang mendengarnya, Naula.”
Dan saya benar-benar senang mendengar komentar itu. Saya bersyukur mendengar seseorang dengan jujur menyatakan bahwa dia senang mendapati saya tak jauh beda dengan cowok-cowok lain—dengan bocah-bocah lain—meski dia mungkin telah membayangkan saya jauh lebih hebat dari kenyataannya.
Kalau kau membayangkan seseorang terlalu tinggi, kemudian mendapati ternyata dia tak setinggi yang kaubayangkan, atau dia terlihat biasa-biasa saja, selalu ada kemungkinan kau akan kecewa. Itu fitrah manusia—ketika kenyataan tak sesuai dengan bayangan, atau tak lebih hebat dari yang dibayangkan, maka yang biasa muncul adalah kekecewaan.
Tetapi, ketika kau membayangkan seseorang terlalu tinggi, kemudian mendapati ternyata dia tak setinggi yang kaubayangkan, atau dia terlihat biasa-biasa saja, dan kau justru bersyukur karenanya, maka kau pasti manusia bijaksana. Hanya orang bijaksana yang bisa bahagia ketika mendapati sesuatu yang “biasa-biasa saja”. Hanya orang bijaksana yang justru akan bersyukur ketika mendapati kenyataan yang ternyata tak setinggi bayangannya.
Itu pula yang secara jujur saya katakan pada Naula, “Kamu pasti wanita yang bijaksana.”
Dia tersenyum malu-malu.
Sesaat, keheningan mengambang di ruang tamu.
Kemudian, dengan suara perlahan dia berkata, “Sekarang aku tahu, kenapa kamu mengagumi Batman dan Spiderman. Karena kamu juga merahasiakan identitas seperti mereka—demi tangan kirimu tak mengetahui yang dilakukan tangan kanan—agar orang-orang hanya mengetahui kebaikanmu tanpa mengenalmu.”
Tiba-tiba saya merasa telah mengenalnya bertahun-tahun. Meski baru dua jam kami berkenalan, tapi dia bisa merangkum sesuatu yang telah saya pikirkan selama bertahun-tahun. Itu pula yang saya katakan kepadanya, “Kamu memang bijaksana, Mary Jane Watson.”
“Hahahaaa... bukan Rachel Dawes?”
Saya tersenyum. “Apa pun yang kamu inginkan.”
....
....
Thoriq datang membawakan nasi bungkus dengan lauk istimewa—ikan bakar dengan sambal yang luar biasa nikmat. Siang itu, di ruang tamu, kami bertiga menikmati makan siang sambil bercakap dan bercanda, seperti orang-orang lainnya, seperti bocah-bocah lainnya, dan... entah mengapa, saya merasa bahagia.
Mengetahui orang lain senang karena kau “biasa-biasa saja”, adalah satu alasan untuk bahagia.