Selasa, 01 Januari 2019

Tuhan, Manusia, dan Hal-Hal Tak Selesai

"Oh, Tuhan, selamatkanlah jiwaku yang malang."
Edgar Allan Poe membisikkan kata-kata itu di akhir hidupnya.
Dia telah tahu arti hidup.
@noffret


Di zaman Mesir Kuno, ada sebuah buku terkenal yang disebut Egyptian Book of the Dead atau Kitab Kematian Orang Mesir. Yang disebut buku atau kitab sebenarnya lembaran-lembaran papirus berisi gambar-gambar yang dilengkapi berbagai tulisan.

Karl Richard Lepsius, seorang pakar Mesir Kuno dari Jerman, menyeleksi dan menerbitkan sebagian papirus itu pada 1842, dan diberi judul Book of the Dead.

Papirus Mesir Kuno, yang disebut Book of the Dead, berisi tata cara penguburan, serta petunjuk bagi si orang mati mengenai perjalanannya menuju akhirat. Karenanya, di zaman Mesir Kuno, gulungan papirus itu akan dimasukkan ke dalam peti mati atau sarkofagus, dan dimakamkan bersama si mati.

Karena di masa lalu—khususnya di zaman Mesir Kuno—belum ada teknologi cetak, papirus-papirus yang berisi aneka petunjuk penting itu pun ditulis/digambar menggunakan tangan. Meski begitu, isinya rata-rata sama—mengenai perjalanan yang akan dilalui oleh setiap orang mati, dari sejak penguburan sampai perjumpaan dengan para dewa Mesir Kuno di alam akhirat.

Orang-orang Mesir Kuno merasa perlu mengikutsertakan Book of the Dead ke dalam setiap pemakaman orang mati, dengan harapan si mati tidak “tersesat” saat melakukan perjalanan ke alam akhirat. Jadi, gulungan papirus itu semacam “buku petunjuk menuju alam akhirat”. Karenanya, buku itu juga dikenal dengan nama The Book of Coming or Going Forth By Day.

Dalam kepercayaan Mesir Kuno, setiap orang yang mati akan berpindah alam, dari dunia kasar ke alam halus atau akhirat. Untuk bisa sampai ke alam akhirat, setiap orang mati harus melalui tahapan-tahapan tertentu, dan di situlah fungsi buku petunjuk yang disebut Book of the Dead.

Setelah orang Mesir Kuno mati, ia akan dihadapkan pada Anubis, sang dewa kematian. Anubis akan menimbang hati orang tersebut, yang akan ditimbang (dibandingkan) dengan sehelai bulu yang diambil dari Ma’at atau dewi kebenaran. Jika bulu yang lebih ringan, maka orang itu dinyatakan “tidak dibebani dosa”, sehingga diizinkan melanjutkan perjalanan. Proses penimbangan hati itu disaksikan oleh Osiris, sang dewa akhirat.

Dalam proses penimbangan hati tersebut, Thoth—dewa penulisan dan kebijaksanaan—menjadi saksi yang akan mencatat nama orang per orang, beserta berat hatinya. Di samping Thot ada Ammit, sang monster mengerikan, yang akan memakan hati siapa pun yang dianggap penuh dosa.

Jadi, kalau seseorang mati, dan hatinya ditimbang lalu dinyatakan penuh dosa, hati itu akan dilemparkan kepada Ammit untuk dimakan. Sementara orang yang memiliki hati tersebut tidak diizinkan melanjutkan perjalanan ke akhirat.

Sebaliknya, jika hati seseorang ditimbang, dan dinyatakan bahwa hati itu bersih, Anubis akan berkata kepada Osiris, “Hatinya adalah saksi yang akurat.” Dan Osiris akan menjawab, “Berikan kepadanya mata dan mulutnya, karena hatinya adalah saksi yang akurat.”

Lalu orang bersangkutan akan pergi ke alam akhirat.

Sejak kapan orang-orang Mesir mempercayai hal semacam itu? Berdasarkan penelitian terhadap teks-teks Book of the Dead, versi teks paling awal diketahui berasal dari abad ke-16 SM, atau saat pemerintahan Dinasti ke-18 (1580 SM-1350 SM). Beribu-ribu tahun yang lalu, jauh sebelum Masehi, orang-orang Mesir Kuno telah mengenal alam akhirat, bahkan bisa menjelaskannya dengan detail, bahkan bisa menciptakan buku panduan terkait alam tersebut.

Apakah ini aneh? Mungkin tidak. Namun, mendapati kenyataan itu, saya berpikir, sejak kapan sebenarnya manusia mengenal konsep akhirat?

Masing-masing agama, dan masing-masing kepercayaan, sama-sama memiliki konsep akhirat, atau alam setelah kematian. Umat Muslim mengenal Padang Mahsyar, tempat umat manusia—dari zaman Adam sampai akhir zaman—akan dikumpulkan untuk diadili. Umat Kristiani mengenal Purgatorium dan Limbo. Sementara umat Hindu dan Buddha mengenal Reinkarnasi... dan Nirwana.

Konsepnya bisa dibilang sama, meski “alur” di dalamnya bisa berbeda. Berdasarkan kenyataan itu, mungkin sebagian kita berpikir bahwa konsep akhirat dikenalkan oleh agama. Faktanya, jauh-jauh hari, ketika peradaban manusia belum mengenal agama, konsep akhirat sudah ada.

Jika konsep akhirat—yang identik dengan agama—ternyata sudah ada jauh sebelum keberadaan agama... lalu bagaimana manusia bisa mengenal konsep akhirat?

Jawabannya mungkin Tuhan—atau haruskah saya menulisnya dengan “tuhan”? Bangsa Mesir Kuno tidak mengenal agama, tapi mengenal konsep tuhan—yang mereka sebut dewa—yakni sosok-sosok penguasa alam manusia. Mereka mengenal Osiris, sang penguasa alam akhirat. Mereka mengenal Thoth, penguasa pikiran dan kebijaksanaan. Mereka mengenal Ma’at, sang penguasa kebenaran. Mereka pun mengenal Anubis, sang penguasa kematian. Dan lain-lain, dan lain-lain.

Melalui sosok-sosok itulah, bangsa Mesir Kuno mengenal alam akhirat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mereka bisa mengenal sosok-sosok tersebut? Siapakah yang mengenalkannya? Bagaimana mereka bisa menyepakati keyakinan itu?

Sampai di sini, saya teringat Feuerbach—iya, Feuerbach yang itu.

Nama lengkapnya Ludwig Andreas Feuerbach. Bagi yang mungkin belum tahu, Feuerbach adalah “bocah mbeling” yang hidup pada masa 1804-1872. Di kalangan para bocah, Feuerbach adalah sosok menonjol pada abad ke-19, bahkan pemikiran-pemikirannya banyak mempengaruhi tokoh-tokoh generasi selanjutnya, di antaranya Sigmund Freud dan Karl Marx, hingga Richard Dawkins.

Feuerbach pernah ngoceh, “Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi manusialah yang menciptakan Tuhan.”

Dalam konsep Feuerbach, Tuhan adalah sebentuk kebutuhan psikologis dari dalam diri manusia, sehingga manusia terpaksa "menciptakan" sosok Tuhan untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya, menjaga, serta memberikan jaminan di masa depan yang penuh misteri dan tidak pasti.

Dengan kata lain, Feuerbach ingin mengatakan bahwa Tuhan hanyalah ilusi yang menopang kebutuhan psikologis manusia. Belakangan, konsep itu diteriakkan secara frontal oleh Richard Dawkins dalam The God Delusion.

Jika Tuhan hanya ilusi—atau delusi, menurut Dawkins—lalu bagaimana dengan agama? Sigmund Freud punya jawabannya. “Agama,” kata Freud, “adalah gangguan neurosis.” Dalam ocehan yang lebih panjang, Freud menyatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan—yakni konsep agama—adalah sebentuk penyakit kejiwaan. Atau candu, kata Karl Marx.

Feuerbach begitu meyakini tesisnya, bahwa Tuhan sebenarnya hanya “akal-akalan” manusia, yang didorong kebutuhan untuk memiliki tempat sandaran atau penyembahan, sekaligus sosok yang bisa memastikan banyak hal di dalam ketidakpastian. Dari sisi ini, tesis Feuerbach terdengar logis.

Tetapi... dari mana manusia bisa mengenal konsep ketuhanan, hingga bisa “menciptakan” sosok Tuhan? Siapa—kalau boleh disebut begitu—yang memberi ide pada manusia untuk mengenal konsep ketuhanan?

Feuerbach tidak bisa menjawab. Setidaknya, dia tidak pernah menjelaskannya.

Feuerbach tidak pernah mempertanyakan dari mana asal ide tentang Tuhan bisa muncul dalam benak manusia. Kenyataannya, meski secara terang-terangan menyangkal sosok Tuhan, Feuerbach juga tidak mau menyebut dirinya ateis.

Agustinus, filsuf yang hidup pada abad ke-4, mungkin bisa memberi jawaban. “Tuhan,” kata Agustinus, “telah menciptakan kita sedemikian rupa, sehingga kita tidak dapat tenang sebelum berpaling kepada-Nya."

Dalam konsep Agustinus, ada ruang kosong dalam hidup manusia yang hanya dapat diisi oleh—sesuai istilahnya—Oknum Ilahi. Konsep itulah yang, menurutnya, menjadi kerangka dasar antropologi modern tentang manusia sebagai makhluk religius.

Antropologi telah mengonfirmasi kenyataan itu dalam bentuk temuan beragam ritus penyembahan umat manusia, dari kebudayaan-kebudayaan kuno hingga modern. Manusia adalah makhluk rohani atau penyembah—sebentuk kesadaran bahwa ia lemah—hingga menyadari untuk menyandarkan pengharapan, terhadap eksistensi-lebih-tinggi di luar manusia.

 
;