Angin menyerbuki bunga tanpa membuatnya layu.
Kupu-kupu menari di antara bunga tanpa membuat
mereka terluka. Itulah cinta.
—@noffret
Kupu-kupu menari di antara bunga tanpa membuat
mereka terluka. Itulah cinta.
—@noffret
Bisakah orang mencintai tanpa keinginan memiliki? Saya bisa. Entah dengan orang lain.
Benar, saya bisa mencintai seseorang, jatuh cinta kepadanya, tapi tidak ingin memilikinya. Sebenarnya, “tidak ingin memilikinya” bukan frase yang tepat. Mungkin lebih tepat jika disebut “tidak ingin mengubahnya”.
Kedengarannya mungkin rumit. Jadi, mari saya uraikan.
Andaikan saya jatuh cinta pada seorang wanita. Namanya jatuh cinta, tentu timbul rasa ingin memiliki—itu manusiawi. Namun, ketika perasaan semacam itu muncul, saya bertanya pada diri sendiri, “Kalau pun dia menerimaku, bisakah aku menjadi pasangan yang tepat untuknya?”
Ketika dua orang menjalin hubungan, saya pikir dua orang itu harus memiliki kecocokan atau kesamaan, meski tidak harus dalam semua hal. Terkait gaya hidup, misalnya. Itu bagian penting yang perlu kita—khususnya saya—pikirkan, sebelum memutuskan untuk mendekati orang yang membuat jatuh cinta. Karena gaya hidup adalah sesuatu yang sulit diubah.
Saya sering menilai diri sendiri sebagai orang sederhana, yang menyenangi kehidupan sederhana. Selain itu, saya juga senang berdiam di rumah, dan tidak suka keluyuran—kecuali kalau terpaksa, semisal harus mengurus pekerjaan atau hal-hal penting semacamnya. Dalam kehidupan sehari-hari, saya juga senang menjalani hidup sebagaimana orang-orang biasa.
Itu gaya hidup yang saya jalani. Karena saya menjalani gaya hidup semacam itu, tentu saya pun akan lebih nyaman jika menemukan pasangan yang juga memiliki gaya hidup serupa. Yaitu wanita sederhana, yang menikmati kehidupan sederhana, dan damai tinggal di rumah. Ketika kami memutuskan untuk menjalin hubungan hingga akhirnya menikah, kami bisa mudah menyesuaikan diri, karena memiliki gaya hidup yang sama.
Sekarang, umpamakan saja, saya jatuh cinta pada seorang wanita, tapi dia memiliki gaya hidup yang seratus delapan puluh derajat berbeda. Cinta kadang salah alamat, kan? Bisa jadi, suatu hari saya mengenal seseorang yang membuat saya terpesona, lalu jatuh cinta, dan ingin memilikinya. Namun, ketika mengenalinya lebih lanjut, saya kemudian tahu dia memiliki gaya hidup yang jauh berbeda dengan saya.
Saya damai tinggal di rumah, dia senang jalan-jalan. Saya menikmati kehidupan bersahaja, dia menjalani kehidupan mewah. Saya senang menjadi orang biasa, dia menikmati gaya hidup selebritas. Dan begitu seterusnya. Intinya, gaya hidup kami jauh berbeda.
Ketika mendapati kenyataan semacam itu, saya bertanya pada diri sendiri, “Kalau pun dia mau menerimaku, mungkinkah aku bisa menjadi pasangan yang tepat untuknya?”
Karena, jujur saja, saya tidak akan mau jika diminta mengikuti gaya hidupnya. Artinya, jika kami benar-benar menjalin hubungan, dia yang harus mengubah gaya hidupnya. Dan jika itu yang terjadi, saya juga tidak mau, karena artinya saya telah mengubahnya menjadi pribadi yang berbeda. Mungkin saya akan senang, tapi bisa jadi dia akan tertekan karena terpaksa berubah demi saya.
Karena itulah, saya lebih memilih untuk tidak memilikinya, meski jatuh cinta kepadanya, agar dia tetap menjadi dirinya. Dalam hal itu, saya berharap dia menemukan orang yang tepat, agar bisa menjalin hubungan dan memiliki pasangan tanpa harus berubah menjadi pribadi yang lain.
Dalam bayangan saya, hal semacam itu tak jauh beda dengan keterpesonaan pada kuntum bunga. Bisa jadi, kita menemukan bunga yang tumbuh indah, yang membuat kita “jatuh cinta” kepadanya. Kita pun ingin memiliki bunga itu, agar bisa membawanya ke rumah.
Namun, jika kita memetik bunga itu, kita justru akan mematikannya, karena mencabutnya dari akar. Jadi, langkah terbaik adalah membiarkan bunga itu tetap tumbuh dan mekar di tempatnya, dan kita cukup memandanginya.
Itulah yang saya lakukan.
Dalam kehidupan sebagai lajang, kadang-kadang saya menemukan wanita yang membuat tertarik, bahkan jatuh cinta. Tapi saya yang sekarang tentu bukan saya yang naif seperti sekian tahun lalu, ketika masih remaja.
Dulu, ketika masih remaja, saya belum bisa berpikir matang. Ketika jatuh cinta pada seseorang, yang ada dalam pikiran saya hanya ingin memiliki, dan tidak ada pertimbangan apa pun. Itu pikiran yang egois. Saya hanya memikirkan diri sendiri (keinginan untuk memiliki), namun tidak memikirkan orang yang ingin saya miliki.
Kini, saya bisa berpikir lebih baik, dan menimbang secara bijak, apakah cinta yang saya rasakan akan membawa kebaikan bagi orang yang membuat saya jatuh cinta atau tidak. Saya tentu akan bahagia jika bisa memiliki wanita yang membuat saya jatuh cinta. Tetapi, apakah wanita itu juga akan sama bahagia jika menjalin hubungan dengan saya?
Dulu, waktu menjalin hubungan dengan mantan pacar, saya merasa nyaman, karena kami sama-sama memiliki gaya hidup serupa. Kami memiliki latar belakang yang sama, dan memiliki gaya hidup yang sama. Ketika menjalin hubungan, kami tetap menjadi pribadi yang sama—tidak ada yang berubah demi menyenangkan yang lain. Saya tetap menjadi diri saya apa adanya, dan dia juga tetap menjadi dirinya apa adanya.
Well, itu pertimbangan dasar atau yang pertama, mengapa saya bisa mencintai tanpa berharap memiliki. Karena saya tidak ingin pasangan saya terpaksa mengubah diri dan gaya hidupnya demi saya, sebagaimana saya juga tidak ingin terpaksa mengubah gaya hidup demi dirinya.
Jika pertimbangan pertama terkait gaya hidup, pertimbangan kedua terkait pandangan hidup. Bagaimana pun, saya ingin pasangan yang memiliki pandangan hidup sama, sehingga kami kelak bisa menjalani kehidupan dengan tenteram.
Dalam contoh mudah, misalnya, saya tidak ingin punya anak. Jika pasangan saya ternyata ingin punya anak, kami tentu akan sama-sama tertekan. Karenanya, tak peduli secinta apa pun saya pada seorang wanita, saya akan memilih untuk tidak memilikinya, jika ternyata pandangan hidup kami berbeda.
Dua pertimbangan itu adalah contoh ekstrem, dalam arti terkait hal-hal besar, yaitu gaya hidup dan pandangan hidup. Di luar itu, tentu masih ada pertimbangan lain yang menjadikan saya bisa mencintai tanpa keinginan memiliki, khususnya terkait diri saya sendiri.
Sampai saat ini, saya tidak/belum punya keinginan menikah. Boro-boro menikah, bahkan pacaran pun saya tidak minat.
Kesadaran itulah yang menjadikan saya tidak “grusa-grusu” dalam hal pasangan. Karena, jika saya memiliki pasangan saat ini, bisa jadi hanya akan mengecewakannya, sebab tidak bisa memberi kepastian apa pun untuknya. Jadi, daripada menjalin hubungan dengan seseorang yang pada akhirnya hanya akan mengecewakan, saya lebih memilih untuk tidak punya pasangan sama sekali.
Tentu bohong kalau saya mengatakan tidak pernah jatuh cinta pada siapa pun selama bertahun-tahun. Selama menikmati kesendirian bertahun-tahun, saya tentu pernah jatuh cinta pada seseorang. Tetapi, seperti yang disebut tadi, saya belajar untuk mencintai tanpa keinginan memiliki. Karena jika saya memaksa diri untuk menjalin hubungan, saya khawatir hanya akan saling mengecewakan.
Mungkin, suatu hari nanti, saat akhirnya siap menjalin hubungan dengan seseorang, saya akan menemukan seseorang yang tepat—memiliki gaya hidup serupa, memiliki pandangan hidup yang sama—hingga saya mantap untuk saling jatuh cinta. Namun, saat ini, saya memilih untuk membiarkan bunga indah tetap mekar di tempatnya... tanpa saya harus memetiknya.