Rabu, 05 Desember 2018

Risalah Hati

Tantang keheningan
Dengan hunjaman lantang meradang
Dan kuasai kegundahgelisahan
Sembari minum di atas makam kepedihan
—Garcia Lorca


Ada suatu masa ketika aku percaya tak akan pernah jatuh cinta lagi. Suatu masa yang gelap, yang kutahu lebih baik kujalani sendiri. Bertahun-tahun aku menjalani hidup dengan keyakinan pada satu hal—tak akan pernah ada cinta lagi—dan aku pun menjauh dari keramaian, menjalani hidup yang sunyi, sendiri.

Tahun-tahun panjang kulewati dalam hening, dengan kesendirian seorang asing yang tak lagi percaya pada apa pun, karena terlalu banyak luka yang harus ditanggung. Hari-hari yang berjalan hanyalah waktu untuk bergegas, dan malam-malam sepi adalah kesempatan meringkuk dalam sarang penuh damai.

Tak ada apa pun, tak ada siapa pun.


....
....

Jika definisi “lelaki baik” adalah lelaki yang memberikan kepastian untuk menikahi pacarnya, maka saya mungkin tidak tergolong lelaki yang baik. Dan karena itu pula, saya terus-menerus menahan diri untuk tidak punya pacar, untuk tidak menjalin hubungan spesial dengan siapa pun, karena menyadari saya bukan lelaki yang baik. Karena saya tidak bisa menjanjikan akan menikahi wanita yang saya pacari.

Jika definisi “lelaki normal” adalah jatuh cinta pada wanita sebagaimana yang diimpikan, maka saya termasuk lelaki normal. Karena saya masih bisa jatuh cinta, khususnya pada wanita yang benar-benar tepat seperti yang ada dalam bayangan. Tetapi kesadaran bahwa saya bukan “lelaki yang baik” menjadikan saya menahan diri. Bahkan meskipun wanita itu menunjukkan isyarat positif.

Itu keadaan yang sangat menyiksa, kau tahu. Suatu waktu, kau bertemu seseorang yang membuatmu jatuh cinta, dan bisa jadi dia juga jatuh cinta kepadamu. Tetapi kau tidak bisa menindaklanjuti, karena kau tahu hubungan yang terjadi hanya akan menjadi hubungan tidak jelas, yang bisa jadi akan menyakiti pacarmu, atau meninggalkan luka di hatimu.

Seperti itulah yang saya rasakan. Di lubuk hati, saya kadang mengangankan kehadiran seorang pacar, agar memiliki tambatan hati untuk berlabuh di kala sedih, atau meringkuk dalam pelukannya di saat letih. Tetapi saya tidak berani—tak pernah berani—melakukannya, karena hubungan yang kami jalin akan menjadi ikatan tanpa kepastian. Saya tidak bisa menjanjikan pernikahan.

Hingga hari ini, saya belum yakin apakah saya akan menikah. Saya masih punya banyak hal yang harus saya kerjakan, yang mungkin masih butuh waktu bertahun-tahun untuk selesai. Dan selama menyelesaikan yang harus diselesaikan, saya tidak akan menikah, apa pun alasannya.

Karenanya, jika sekarang saya punya pacar, atau menjalin hubungan dengan seseorang, saya hanya bisa menjadi pacar—sebatas pacar. Saya tidak bisa menjanjikan akan menikahi, apalagi memberikan kepastian akan menikahi. Padahal, rata-rata wanita—apalagi yang sudah dewasa—tentu menginginkan kejelasan dan kepastian hubungan. Ketika pasangan tidak mampu memberikan kejelasan, mereka bisa memilih pergi. Dan ketika itu terjadi, artinya kami sedang saling menyakiti.

Karena itulah, saya lebih memilih untuk tidak punya pacar, dan tidak menjalin hubungan spesial dengan siapa pun, agar saya tidak menyakiti atau tersakiti. Lebih baik saya jatuh cinta pada seseorang dan menyadari tidak bisa memilikinya, daripada kami telanjur menjalin hubungan dan kemudian saya mengecewakannya.

....
....

Dalam hidup, ada suatu masa ketika saya percaya tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Karena itulah, di masa-masa itu, saya percaya akan hidup melajang, menjalani hidup sunyi sendiri, sampai kapan pun. Karena kesendirian yang nyaman jauh lebih baik daripada kebersamaan yang menyakiti. Tetapi hidup, kau tahu, sering kali menjungkirbalikkan bayangan kita. Manusia punya rencana, dan alam semesta tertawa.

Hati yang pernah saya pikir membeku ternyata bisa mencair kembali, lalu menghangat, dan memanas... saat seseorang tiba-tiba hadir dan membuat jatuh cinta. Lagi. Tetapi, kali ini, jalan hidup sudah berubah. Saya tidak bisa lagi mudah menuruti kata hati, karena ada hal lain dalam hidup yang harus saya jalani. Secinta apa pun, saya hanya dapat memendamnya. Serindu apa pun, saya hanya bisa menyimpannya. Sendiri.

Mungkin wanita yang membuat saya jatuh cinta, juga jatuh cinta kepada saya. Tapi tetap saja, saya tidak bisa melakukan apa pun, selain mencintainya dalam diam, dan membiarkan perasaan itu bergejolak dalam batin. Sekali lagi, itu kondisi yang menyiksa... sangat menyiksa. Kenyataannya, tidak ada yang lebih menyiksa selain memendam perasaan cinta kepada seseorang dalam diam.

Dalam hidup, saya telah banyak merasakan luka dan kepedihan. Karenanya, saya tidak ingin melukai orang yang saya cintai. Jika seseorang menjalin hubungan dengan saya untuk harapan mendapat ikatan pasti, maka saya hanya akan menyakitinya. Karena saya tidak akan pernah bisa memberikan kepastian—sebelum misi hidup saya selesai... entah kapan.

....
....

Ada suatu masa ketika aku percaya tak akan pernah jatuh cinta lagi. Suatu masa yang gelap, yang kutahu lebih baik kujalani sendiri. Bertahun-tahun aku menjalani hidup dengan keyakinan pada satu hal—tak akan pernah ada cinta lagi—dan aku pun menjauh dari keramaian, menjalani hidup yang sunyi, sendiri.

Tahun-tahun panjang kulewati dalam hening, dengan kesendirian seorang asing yang tak lagi percaya pada apa pun, karena terlalu banyak luka yang harus ditanggung. Hari-hari yang berjalan hanyalah waktu untuk bergegas, dan malam-malam sepi adalah kesempatan meringkuk dalam sarang penuh damai.

Tak ada apa pun, tak ada siapa pun.


 
;