Doktrin: Menikah akan membuatmu bahagia.
Fakta: Tingkat perceraian meningkat dari tahun ke tahun.
Doktrin: Punya anak akan melancarkan rezeki.
Fakta: Jutaan anak menjadi korban kekerasan orangtuanya sendiri, gara-gara stres mencari rezeki.
....
Merasa hidup tak punya tujuan, lalu menikah dijadikan tujuan. Setelah menikah merasa ada yang kurang, lalu memiliki anak agar punya kegiatan dan kesibukan.
Sungguh ngeri membayangkan orang-orang semacam itu. Tapi lebih ngeri lagi adalah nasib anak-anak yang mereka lahirkan.
....
Jika setiap anak diberi hak untuk menuntut orang tua atas tindak kekerasan yang dialami, kapan pun waktunya, dunia pasti akan langsung sepi karena para orangtua akan masuk penjara.
Tapi kita hidup di dunia gila, yang menempatkan orangtua pasti benar, dan anak pasti salah.
....
Orangtua berdalih bahwa mereka yang melahirkan dan membesarkan anaknya, tapi tidak pernah menanyakan pada si anak, "Apakah kau minta dilahirkan, Nak?"
Sebelum membanggakan diri sebagai "pihak yang melahirkan", coba tanya diri sendiri, "Apakah anakku memang ingin dilahirkan?"
....
Menggunakan dalih sebagai pihak "yang telah melahirkan" sama artinya membebankan tanggung jawab kelahiran pada si anak. Padahal, si anak lahir karena kehendak si orangtua. Itu benar-benar cara pandang hidup yang sesat sekaligus mengerikan, dan anak-anak yang lalu menjadi korban.
....
Setidaknya ada 2 alasan besar kenapa orangtua punya anak. Pertama, karena termakan doktrin yang mengatakan punya anak akan melancarkan rezeki. Kedua, karena berharap si anak akan merawatnya di hari tua. Dua alasan itu saja sudah menunjukkan bahwa anak hanya dinilai sebagai objek.
....
Orangtua punya anak karena termakan doktrin "punya anak akan melancarkan rezeki". Setelah anak lahir, si anak didoktrin, "Kami yang telah melahirkanmu, jadi kau harus begini dan begitu."
Biasanya, semakin keblangsak hidup si orang tua, semakin keblangsak pula hidup si anak.
....
Dunia akan lebih baik, kalau saja setiap manusia menyadari bahwa menikah dan punya anak adalah soal pilihan, dan bukan kewajiban. Karena bersifat pilihan, maka setiap orang harus bertanggung jawab pada apa pun yang mereka lakukan, termasuk ketika memilih menikah dan punya anak.
....
Yang menjadikan dunia kacau dan kehidupan rusak, karena pilihan diubah menjadi kewajiban. Orang buru-buru menikah, karena merasa diwajibkan. Orang punya anak-anak, karena merasa diwajibkan. Akibatnya, mereka tidak merasa punya tanggung jawab, wong cuma menjalankan kewajiban.
....
Bahkan saat beribadah pun, orang tidak akan bisa beribadah dengan baik, jika yang ada dalam pikirannya cuma menjalankan kewajiban. Orang baru bisa beribadah dengan baik dan penuh kekhusyukan, jika dia benar-benar merasa butuh melakukannya, lalu melakukannya dengan tanggung jawab.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 September 2018.