Sabtu, 15 Desember 2018

Orang Gila yang Doyan Ceramah

Bahkan hal-hal baik akan menjadi sampah
ketika ia diobral secara murah. Contohnya nasihat yang diakhiri
"Maaf, sekadar mengingatkan." Sebenarnya, nasihatnya baik.
Tapi terlalu diobral, karena dasarnya ingin pamer kebaikan.
Akibatnya? Memuakkan.

Maaf, sekadar mengingatkan.
@noffret


Seorang pria, dengan tas di punggungnya, masuk Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus di Jalan Dahor, Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 2 Desember lalu, pukul 8 pagi waktu setempat. Namun, berbeda dengan para jemaat lain yang mencelupkan jemari ke bejana air suci dan membuat tanda salib, pria itu tidak melakukan ritual serupa.

Pria itu masih muda, belakangan diketahui usianya 19 tahun. Saat memasuki gereja di Balikpapan, dia mengenakan celana cingkrang, dan berjanggut tipis. Wajahnya asing di gereja itu, dan penampilan serta gerak-geriknya mencurigakan. Jadi, beberapa jemaat memperhatikannya, sembari waspada jika pria asing itu berulah.

Yang mengisi khotbah hari itu adalah Pastor Paulinus Mariyanto. Saat khotbah akan dimulai, laki-laki tadi—belakangan disebut dengan inisial MR—duduk di barisan depan, tepat berhadapan dengan barisan penyanyi gereja, yang bersebelahan dengan mimbar pastor. Itu juga hal aneh, karena rata-rata jemaat gereja biasanya lebih suka duduk di belakang.

Baru saja Pastor Paulinus menyelesaikan khotbahnya, MR tiba-tiba bangkit dari duduk, dan melangkah menuju mimbar sambil menenteng tas ranselnya. Seketika, beberapa jemaat pria di sana menghentikannya, karena khawatir MR akan melakukan penyerangan atau hal semacamnya.

MR melawan dan memberontak, dan berusaha melepaskan diri. Karena itu pula, petugas keamanan di sana lalu mengikat tangan dan kakinya, agar berhenti meronta. Selama adegan itu, MR tidak mengatakan apa-apa, selain hanya berteriak “Allahuakbar” dua kali.

Atas insiden tersebut, aparat Polres Balikpapan dan Gegana Brimob Polda Kaltim datang, dan segera menyisir seluruh ruang gereja. Petugas Detasemen Khusus Antiteror 88 bahkan sempat memeriksa MR. Di dalam tas MR didapati ada senjata tajam, dan buku pelajaran tentang agama.

Jadi, apa yang sekiranya akan dilakukan MR di gereja itu? Untuk melakukan penyerangan? Untuk meledakkan gereja dengan bom? Tidak! Dia hanya ingin berceramah!

Sebulan sebelumnya, pada November 2018, MR diketahui juga telah memasuki Gereja IPEKA di komplek perumahan Balikpapan Baru. Di sana, dia juga ditangkap polisi karena memaksa ingin ceramah di gereja! Alasannya, waktu itu, “ingin berdakwah memperkenalkan agama Islam di gereja.”

Namun, pada penangkapan pertama tersebut MR dilepaskan, karena disinyalir tidak waras alias gila. Baru sebulan dilepaskan, dia melakukan tindakan serupa—ingin ceramah di gereja.

Tampaknya, MR punya obsesi terhadap urusan ceramah. Sebelum nekad masuk gereja dan bermaksud berceramah di sana, MR telah melakukan hal serupa di masjid di Balikpapan. Di kalangan umat muslim, dia juga sudah dianggap tukang bikin onar, karena pernah berceramah di masjid sendirian, setengah hari penuh, dari subuh sampai tengah hari, hingga akhirnya dipaksa keluar.

MR bisa ditangkap, dan mungkin akan diserahkan ke Dinas Sosial untuk mendapat rehabilitasi, karena yang ia lakukan tergolong ekstrem—masuk ke gereja untuk berceramah, dan sebelumnya berceramah sendirian pakai TOA masjid sampai setengah hari. Tapi bagaimana dengan orang-orang lain di sekeliling kita, yang sebenarnya sebelas/dua-belas dengan MR?

Esensi perbuatan MR adalah berceramah. Karena kebetulan dia melakukan “hobinya” di tempat yang keliru, dia ditangkap. Tetapi, sekali lagi, bagaimana dengan orang-orang lain seperti dia, yang sama-sama doyan ceramah di mana pun?

Ada banyak orang seperti MR, yang tampaknya doyan berceramah, tak peduli di mana saja, tak peduli kepada siapa saja. Di dunia nyata maupun di dunia maya, kita selalu bisa menemukan orang-orang semacam itu. Ada peristiwa apa pun, mereka akan berceramah. Ada kabar gembira, mereka ceramah. Ada berita duka, mereka ceramah. Saat tidak ada kabar apa-apa, mereka tetap ceramah.

Tidak ada yang salah dengan ceramah. Tapi ceramah yang diumbar seenaknya bisa mengganggu ketenteraman orang lain. Apalagi ceramah yang dikoar-koarkan tanpa dasar ilmu, dan hanya bermodal pengetahuan dangkal, lalu pelakunya merasa paling alim dan paling benar. Dikit-dikit azab, dikit-dikit neraka, seolah neraka dibuat simbahnya.

Ciri-ciri semacam itu biasanya melekat pada orang-orang yang baru kenal agama, tapi merasa sudah paling pintar dalam hal agama. Padahal yang benar-benar paham agama justru santai dan tidak doyan ceramah, karena menyadari etika untuk menjaga lisan mereka.

Dari situlah muncul istilah “mabuk agama”, yaitu orang-orang yang semula tidak kenal agama, lalu mulai kenal agama, dan menganggap dirinya orang paling beragama, sembari menilai orang-orang lain tidak beragama. Ini tak jauh beda dengan orang yang sama sekali belum pernah minum alkohol, lalu mencoba minum sedikit, dan langsung mabuk.

Akibatnya ya gitu, doyan ceramah. Di mana pun, kepada siapa pun, tentang apa pun—semuanya diceramahi. Ada gempa bumi, bukannya menolong korban, malah berceramah dan menuduh mereka berbuat dosa. Ada bencana banjir, bukannya introspeksi agar tidak membuang sampah sembarangan, malah berceramah dan menuduh orang lain tidak beribadah. Ada peringatan tsunami, bukannya bersiap dan berhati-hati, malah berkoar itu azab Tuhan.

Well, tempo hari saya menemukan video di internet, yang isinya sangat tragis sekaligus konyol. Video itu merekam adegan seorang anak laki-laki (mungkin usia SMP atau awal SMA) yang kedapatan mencuri di sebuah toko. Anak laki-laki itu memakai celana dan baju lengan panjang, serta berpeci. Ketika ditangkap karena mencuri, dia bukan mengakui perbuatannya dan menyadari kesalahannya, tapi malah berceramah!

Dengan jumawa—tanpa menunjukkan sikap gentar sedikit pun—dia tidak mengakui kejahatannya, tapi justru berceramah pada orang-orang yang menangkapnya, “Menurut ajaran agama saya, kita boleh mencuri di toko milik orang Yahudi!” (Yang dia sebut “Yahudi” adalah warga negara Indonesia, yang kebetulan beda agama).

Apa yang lebih tragis sekaligus konyol dari itu? Dia tidak mengatakan bahwa dia mencuri karena lapar atau karena tak punya uang. Yang dia katakan, “Menurut ajaran agama saya, kita boleh mencuri di toko milik orang Yahudi!”

Sebagai pribadi, saya juga tidak senang pada sebagian orang Yahudi. Tetapi melegalkan tindak kejahatan dengan alasan ketidaksenangan—sambil berdalih membawa-bawa agama—adalah sesuatu yang mengerikan, khususnya ketika hal semacam itu dilakukan bocah bau kencur.

Ada yang salah dalam kehidupan sosial kita, ada yang keliru dan membusuk diam-diam dalam perilaku sebagian orang yang doyan ceramah. Mereka tidak memiliki modal pengetahuan agama yang cukup untuk berceramah, tapi memaksa untuk berceramah.

Akibatnya, ceramah mereka sering kali ngawur, dan ditangkap atau diterima orang lain dengan sama ngawur. Contohnya keparat kecil yang ketahuan mencuri di toko, tapi menganggap perbuatannya tidak salah, karena “menurut ajaran agama saya, kita boleh mencuri di toko milik orang Yahudi!”

Kecenderungan doyan ceramah ini sebenarnya juga sudah menjadi penyakit sosial di tengah kehidupan kita. Diakui atau tidak, kita sudah terganggu dengan perilaku orang-orang yang doyan ceramah di mana-mana. Cuma, karena mereka “berceramah”—dan dalam hal itu ada agama yang dibawa-bawa—kebanyakan kita pun enggan menegur, karena khawatir disalah-salahkan atau bahkan dikafir-kafirkan.

Sejak saya kecil sampai cukup dewasa, keheningan mudah didapatkan kapan saja. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, ada banyak waktu hening, meski di masa itu sudah ada loudspeaker ataupun TOA.

Tetapi, beberapa tahun terakhir, keheningan telah menjadi barang mewah yang sangat sulit dinikmati. Bangun tidur, saat subuh masih petang, sudah terdengar orang ceramah di masjid yang dikeraskan TOA. Siang sedikit, ada ceramah lagi, kali ini dari musala. Sore, ceramah lagi. Malam, tetap ceramah, dan TOA terus bersuara. Di luar itu, kadang bahkan muncul orang atau beberapa orang yang mendatangi rumah demi rumah untuk berceramah.

Keheningan sudah tidak ada, karena dari waktu ke waktu yang terdengar adalah kebisingan tanpa henti. Dan kenyataan semacam itu tidak hanya terjadi di tempat tinggal saya, tapi juga di mana-mana. Tidakkah kita menganggap itu aneh?

Dalam perspektif saya, perubahan—dari keheningan ke kebisingan—yang saat ini terjadi dalam kehidupan kita, tidak terjadi secara tiba-tiba atau secara alami, tapi sengaja diciptakan. Ada gerakan yang secara diam-diam bekerja tanpa kita sadari, yang bermaksud mengubah kehidupan kita... dari keheningan kepada kebisingan. Kalau kau belajar teknik propaganda, kau akan paham yang saya maksudkan.

Selain itu, kecenderungan doyan ceramah (orang-orang suka ceramah di mana saja) juga muncul sejak kehidupan kita dibombardir ceramah tanpa henti dari mana-mana, yang semuanya dikeraskan TOA. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan ceramah. Tetapi, jika ceramah yang kita lakukan sudah mengganggu orang lain, ada baiknya kita introspeksi. Bukan ceramahnya yang salah, tapi cara kita melakukannya.

Mengajarkan hal baik kepada orang lain adalah perbuatan terpuji—bahkan malaikat yang suci akan setuju dengan pernyataan ini. Tetapi bukan berarti kita harus ceramah di mana saja dan kapan siapa saja dengan berdalih “mengajarkan hal baik”. Ini tak jauh beda dengan aktivitas lain yang sama-sama bernilai kebaikan, semisal makan.

Makan adalah hal baik, karena memberi energi bagi tubuh kita agar bisa bekerja dan beraktivitas dengan baik, juga bisa beribadah dengan baik. Tetapi bukan berarti kita harus makan kapan pun dan di mana pun bersama siapa pun. Itu namanya kemaruk sekaligus tamak—campur bangsat! Bukan makannya yang salah, tapi perilakumu yang keliru.

Semua hal ada tempatnya, termasuk ceramah. Ada waktunya tidur, ada waktunya terjaga. Ada saat bekerja, ada saat istirahat. Ada waktunya bicara, ada pula saatnya diam. Ada saatnya ceramah, ada pula saatnya introspeksi dan menyadari... bahwa belajar dan memperbaiki diri jauh lebih baik daripada koar-koar merasa paling benar.

 
;