Apa yang paling penting dalam hidup? Kesadaran.
Ironisnya, itu justru tampak paling tidak penting, hingga terabaikan.
—@noffret
Ironisnya, itu justru tampak paling tidak penting, hingga terabaikan.
—@noffret
Apa yang paling penting dalam hidup? Kesadaran. Kesadaran untuk memahami bahwa yang paling penting bukan siapa kita, tapi apa yang kita lakukan. Bahwa yang penting bukan sebanyak apa yang menyaksikan hal-hal yang kita lakukan, tapi esensi dan ketulusan atas apa yang kita lakukan. Intisari itu saya temukan dalam satu kisah yang dituturkan Ibnu Al Jauzi.
Dalam kitab Shifat Ash-Shafwah karya Ibnu Al-Jauzi, ada kisah mengenai Muhammad bin Al-Munkadir (biasa disapa Ibnu Munkadir), seorang ahli ibadah yang tinggal di Madinah. Dia bercerita tentang perjumpaan tak sengaja dengan seseorang yang misterius, tapi meninggalkan jejak pelajaran abadi dalam hidupnya.
Ibnu Munkadir menceritakan, “Aku memiliki tempat di belakang tembok di Masjid Rasulullah, tempat aku biasa istirahat di malam hari.”
Agar kalimat itu bisa lebih dipahami, saya perlu menjelaskan beberapa hal. Masjid Rasulullah yang disebut Ibnu Munkadir adalah Masjid Nabawi di Madinah. Sementara “tempat di belakang tembok” yang dimaksud dalam kalimat Ibnu Munkadir adalah tempat tersendiri di masjid, yang biasa ia gunakan untuk istirahat atau beribadah secara pribadi.
Jadi, Ibnu Munkadir sering menghabiskan hidupnya di masjid. Layaknya masjid lain, Masjid Nabawi (khususnya pada zaman Ibnu Munkadir) juga punya ruangan khusus yang hanya diketahui orang-orang yang memang tinggal di masjid. Ruangan khusus itu bisa dimanfaatkan untuk beristirahat, atau untuk beribadah pribadi (di luar salat berjamaah).
“Suatu ketika, Madinah dilanda kemarau, dan penduduk mengalami paceklik,” lanjut Ibnu Munkadir, sebagaimana dikisahkan dalam kitab Shifat Ash-Shafwah. “Maka, kami (penduduk Madinah) pun melakukan shalat istisqa’ (untuk memohon hujan kepada Allah). Tapi hujan tidak juga turun.
“Malam hari, seperti biasa, aku salat di Masjid Rasulullah, lalu mendatangi tempat khususku, dan menyandarkan tubuhku di sana. Pada waktu itulah, seorang laki-laki misterius datang. [Dalam keremangan ruangan tempatku berada], laki-laki itu tampak hitam legam, dan aku tidak tahu siapa dirinya. Laki-laki itu mendekati tempat di depanku, tapi dia tidak menyadari aku ada di belakangnya. (Di masa itu, lampu listrik belum digunakan, dan penerangan tradisional hanya digunakan untuk tempat-tempat penting.)
“Kemudian dia salat dua rakaat, lalu duduk seraya berdoa, ‘Wahai, Rabb. Para penduduk di kota Nabi-Mu telah keluar meminta hujan, namun Engkau tidak juga mencurahkan hujan. Kini, atas nama-Mu, turunkanlah hujan.’”
Pada saat itu, Ibnu Munkadir sempat berpikir, “Mungkin dia orang gila.”
Tetapi, seusai laki-laki tadi berdoa, guntur tiba-tiba terdengar di langit, dan seketika hujan turun. Sebegitu deras hujan yang turun, hingga kemarau yang mencekik Madinah seolah terhapus seketika oleh kesejukan dari langit.
“Ketika mendengar suara hujan,” lanjut Ibnu Munkadir menceritakan, “laki-laki itu memuji Allah dengan kata-kata yang belum pernah kudengar sebelumnya.”
Ibnu Munkadir sangat terkesan sekaligus tercengang dengan peristiwa itu. Ribuan penduduk Madinah telah berdoa agar hujan diturunkan, tapi kemarau tetap mencekik, dan hujan tak juga turun. Kini, seorang laki-laki berdoa sendirian, meminta hal yang sama, dan hujan seketika turun.
Kemudian, lelaki misterius itu menjalankan salat sunah, hingga terdengar azan subuh. Ia meninggalkan tempat khusus tersebut, dan bergabung dengan para jamaah lain untuk salat subuh di masjid seperti biasa, tanpa menyadari bahwa sejak tadi Ibnu Munkadir memperhatikannya.
“Aku pun ikut salat berjamaah,” kisah Ibnu Munkadir.
Setelah salat subuh berjamaah selesai, laki-laki tadi keluar dari masjid, seperti umumnya orang lain. Ibnu Munkadir menceritakan, “Diam-diam, aku mengikutinya dari belakang. Dia mengangkat pakaiannya agar tidak terkena air hujan yang menggenang. Aku pun melakukan hal sama, dan mengikutinya. Tapi kemudian aku kehilangan jejak.”
Besok malamnya, Ibnu Munkadir beristirahat seperti biasa, di tempat terlindung di Masjid Nabawi. Saat ia sedang berbaring di sana, laki-laki misterius kemarin muncul lagi, dan kembali salat di sana, tanpa menyadari keberadaan Ibnu Munkadir di belakangnya. Laki-laki itu terus melakukan salat, sampai datang waktu subuh. Setelah itu, seperti kemarin, dia ikut bergabung dengan para jamaah di masjid.
Usai salat subuh berjamaah, Ibnu Munkadir kembali bermaksud mengikuti laki-laki tadi. Karenanya, begitu laki-laki itu keluar masjid, Ibnu Munkadir segera membuntuti. Kali ini, dia tidak ingin kehilangan jejak. Jadi, dia terus mengikuti laki-laki tadi sedekat yang ia bisa, hingga tahu di mana laki-laki itu tinggal.
Laki-laki misterius itu ternyata tinggal di pinggir kota Madinah. Di suatu perkampungan, laki-laki itu tampak memasuki rumah, dan menutup pintunya, karena hari masih gelap (pagi, ketika orang-orang belum memulai aktivitas/bekerja).
“Aku pun kembali ke masjid,” ujar Ibnu Munkadir.
Setelah matahari terbit, dan penduduk Madinah telah mulai menjalankan aktivitas seperti biasa, Ibnu Munkadir kembali mendatangi tempat laki-laki yang diikutinya tadi pagi. Kali ini, laki-laki misterius itu sedang bekerja rumahnya, menjahit sepatu.
“Rupanya dia seorang tukang sepatu,” kata Ibnu Munkadir.
Laki-laki itu menyambut Ibnu Munkadir dengan ramah, dan menyapa, “Selamat datang, Saudaraku. Ada yang bisa kubantu? Kau ingin aku membuatkan sepatu untukmu?”
Sesaat, Ibnu Munkadir kebingungan. Kenyataan bahwa laki-laki misterius itu ternyata seorang tukang sepatu, membuatnya tertegun—itu sesuatu yang tidak ia sangka sebelumnya. “Dia laki-laki biasa,” pikir Ibnu Munkadir.
Kemudian, Ibnu Munkadir memberanikan diri, “Maafkan aku. Bukankah kau orang yang berdoa di ruangan khusus di Masjid Nabawi, tadi malam dan kemarin?”
Seketika, keramahan di wajah laki-laki itu lenyap, dan berubah seperti amarah. Dengan lirih, dia berkata kepada Ibnu Munkadir, “Apa urusanmu dengan peristiwa itu?”
Sebelum Ibnu Munkadir sempat menjawab atau menjelaskan apa pun, laki-laki misterius itu mengusirnya dengan marah, “Pergi! Keluarlah dari tempat ini.”
Dengan kebingungan, Ibnu Munkadir pun pergi, meninggalkan laki-laki itu.
Malam harinya, seperti biasa, Ibnu Munkadir beristirahat di tempatnya seperti hari-hari kemarin, di Masjid Nabawi. Tapi laki-laki misterius itu tidak datang seperti sebelumnya. Semalaman, Ibnu Munkadir gelisah, dan berpikir, “Apa yang telah kulakukan?”
Tiba-tiba dia menyesali keputusannya menemui laki-laki itu, dan menyadari bahwa laki-laki itu tidak ingin dikenali siapa pun. Semalaman Ibnu Munkadir gelisah, hingga fajar akhirnya tiba.
Saat waktu salat subuh datang, laki-laki itu tidak datang. Dan kenyataan itu membuat Ibnu Munkadir makin gelisah, makin merasa bersalah. Sementara itu, hujan masih turun sewaktu-waktu di Madinah.
Ketika akhirnya matahari terbit, dan siang mulai datang, Ibnu Munkadir memutuskan untuk kembali menemui laki-laki misterius itu, bermaksud meminta maaf. Dia pergi ke rumah laki-laki itu—si tukang sepatu—namun yang ia dapati di luar dugaan. Rumah laki-laki itu telah kosong, tidak ada siapa pun, tidak ada apa pun.
“Aku mendapati pintunya terbuka,” ujar Ibnu Munkadir, “tapi rumah itu sudah tak berpenghuni.”
Ketika Ibnu Munkadir masih tertegun di depan rumah kosong tersebut, seseorang datang mendekatinya—rupanya si pemilik rumah. (Jadi, laki-laki tukang sepatu mengontrak rumah di sana, yang dimiliki orang lain.)
Kini, laki-laki pemilik rumah, yang dikontrak si tukang sepatu, mendekati Ibnu Munkadir, dan bertanya, “Apa yang terjadi kemarin? Apa yang kaulakukan?”
Dengan kebingungan, Ibnu Munkadir balik bertanya, “Memangnya apa yang terjadi dengannya?”
Si pemilik rumah menjelaskan, “Kemarin, setelah kau pergi, dia (si tukang sepatu) segera membentangkan kain di tengah rumah, dan tidak menyisakan apa pun. Semuanya ia letakkan dalam kain, yang kemudian diangkutnya. Setelah itu, kami tidak tahu ke mana dia pergi.”
Kenyataan itu sekali lagi membuat Ibnu Munkadir tercengang sekaligus penasaran. Didorong penasaran pula, ia mencoba mencari laki-laki misterius itu.
“Setiap rumah yang ada di Madinah yang kuketahui, sudah kudatangi,” ia menceritakan. “Tapi aku tidak menemukan orang itu.”