Dulu, aku jatuh cinta pertama kali kelas 5 SD.
Jika diingat sekarang, kadang merasa konyol sendiri.
Tahu apa bocah sekecil aku waktu itu?
Penolakan mungkin menyakitkan, tapi bisa jadi—bertahun-tahun kemudian—kita akan bersyukur karena telah ditolak. Setidaknya, itulah (((hikmah))) yang saya dapat dari percakapan dengan Kamal.
Kemarin malam, saya makan bersama Adit, di tempat langganan. Di sana, kami ketemu Kamal, teman Adit. Mereka dulu teman zaman SMA. Sebelumnya, saya tidak kenal Kamal. Tapi kami bisa segera bercakap-cakap asyik setelah duduk bersama. Khususnya karena Kamal memang pintar mengobrol, jadi saya pun enjoy mengikutinya.
Waktu Adit memperkenalkan kami, dan menyebutkan nama saya, Kamal bertanya pada Adit, “Ini yang suka nulis blog itu, bukan?”
Adit menjawab, “Ya.”
Dan Kamal mulai ngoceh seolah saya temannya sejak SD.
Malam itu pun kami bercakap-cakap dengan akrab sambil cekikikan, seolah telah saling kenal bertahun-tahun. Ini salah satu manfaat saya menulis blog, khususnya dalam hubungan interpersonal. Ketika seseorang—misal temannya teman—bertemu saya, dan kebetulan dia sering membaca blog saya, dia merasa telah sangat mengenal saya. Karenanya, ketika kami bercakap-cakap, dia memperlakukan saya seperti teman lama, tanpa canggung seperti umumnya orang yang baru kenal.
Karena sering membaca blog saya, Kamal pun tahu cukup banyak hal tentang diri saya, dan hal itu membuatnya lebih terbuka menceritakan dirinya.
Di sela-sela percakapan, Kamal menanyakan apakah saya punya akun Facebook. “Biar bisa ngobrol di FB,” katanya.
Tapi saya tidak punya akun Facebook, dan itulah yang saya katakan kepadanya.
Kamal tampak heran dan bingung. “Kamu punya blog, tapi tidak punya akun FB? Kok bisa?”
Saya ikut bingung, dan mencoba menjelaskan, “Punya blog dan punya akun FB adalah dua hal yang berbeda. Kenapa itu terkesan aneh? Wong kamu punya akun FB tapi tidak punya blog, dan aku sama sekali tidak heran.”
Kamal tertawa.
Dari percakapan soal Facebook, Kamal dan Adit lalu saling mengobrol tentang teman-teman mereka zaman SMA, yang rata-rata juga punya akun Facebook, dan kini saling terhubung di media sosial tersebut. Kebanyakan teman mereka, khususnya yang perempuan, sudah menikah bahkan sudah punya anak-anak.
Percakapan mereka terus mengalir, dan saya seperti mendengar flashback hidup mereka di masa lalu.
Kamal, sebagaimana kami, masih lajang. Namun dia sudah punya pacar, dan tak lama lagi akan menikah. Dia menemukan jodohnya di tempat kerja, dan dia benar-benar bersyukur atas hal itu.
“Aku bersyukur bukan hanya karena telah menemukannya,” ujar Kamal, “tapi juga bersyukur karena—waktu bertemu dengannya—aku belum menikah. Dia perempuan terbaik yang kutemukan.”
Lalu Kamal menceritakan kisah cintanya yang kelabu, di masa lalu. Dalam urusan (((asmara))), Kamal tampaknya kurang beruntung. Berdasarkan pengakuannya sendiri, dia telah mengalami penolakan tujuh kali. Pengalaman ditolak itu telah dimulai sejak zaman SMA, ketika dia mulai memberanikan diri menyatakan perasaan kepada perempuan yang membuatnya jatuh hati.
“Di SMA, aku pernah menyatakan cinta pada dua orang,” kisah Kamal, “tapi semuanya menolak. Pas kuliah, aku naksir lagi beberapa kali, dan mereka semuanya menolak. Lulus kuliah, aku kembali naksir orang lain, dan ditolak lagi, dan begitu seterusnya. Total, aku telah mendapat penolakan tujuh kali. Sejak itu, aku merasa apatis. Padahal....”
Padahal, lanjut Kamal, kalau saja dulu dia diterima salah satu perempuan yang ditaksirnya, mungkin saat ini dia telah menikah. Ketika jatuh cinta di masa SMA, dia menganggap perempuan-perempuan yang ditaksirnya begitu indah bahkan sempurna. Begitu pula saat masa kuliah. Di matanya yang sedang jatuh cinta, semua perempuan itu begitu indah. Karenanya, kalau saja sejak dulu Kamal sudah punya pacar, dia yakin sejak dulu pula telah menikah.
“Karena itulah aku bersyukur,” ujar Kamal. “Aku bersyukur mereka semua menolakku, sehingga aku tidak punya pacar, dan kesendirian memungkinkanku fokus membangun hidupku sendiri. Kalau sejak dulu aku telah menikah, mungkin hidupku sekarang akan berbeda, karena aku pasti telah sangat sibuk mengurusi keluargaku. Kadang-kadang aku ngeri membayangkan itu....”
Di Facebook, Kamal menjalin pertemanan dengan teman-temannya, dari masa SD sampai teman-teman kerjanya sekarang. Di antara teman-temannya di Facebook, terdapat perempuan-perempuan yang dulu menolaknya, dan Kamal pun bisa mengetahui keadaan mereka sekarang.
“Tentu saja aku sudah tak punya perasaan apa pun pada mereka,” ujar Kamal. “Lagi pula, aku heran bukan kepalang. Mereka yang dulu kukenal sangat cantik, sangat indah, bahkan sempurna, kini terlihat jauh berbeda. Yeah... mereka sudah terlihat seperti emak-emak gitu.”
Adit tertawa, dan menyahut, “Ya wajar, lah! Dulu kamu mengenal mereka saat masih remaja, sementara mereka sekarang sudah dewasa, bahkan sudah punya anak-anak.”
“Iya, aku paham,” jawab Kamal. “Maksudku, perubahan mereka sekarang sangat jauh, dibanding waktu masih remaja. Karena itulah, aku bersyukur karena dulu tidak punya pacar, sehingga tidak buru-buru menikah, dan aku bersyukur karena menemukan pacarku yang sekarang. Dia sudah dewasa, dan aku melihatnya saat dewasa kini. Dia begitu indah dalam kedewasaannya.”
Kami mengangguk-angguk, memahami maksud Kamal.
Lalu saya berkata, “Sekarang kalian paham, kenapa aku lebih tertarik pada wanita dewasa, daripada yang masih remaja. Karena keindahan wanita dewasa terjamin lebih... terakreditasi.”
“TERAKREDITASI?” Kamal mangap, dan Adit cekikikan.
“Yeah, maksudku, keindahan wanita dewasa lebih terjamin.... Uhm, maksudku begini. Kalau kita melihat cewek remaja begitu indah, tidak ada jaminan dia akan tetap indah saat dewasa. Tapi kalau kita melihat wanita dewasa begitu indah, artinya dia benar-benar indah.”
Adit dan Kamal mengangguk-angguk.
Saya melanjutkan fatwa, “Bagaimana pun, di dunia ini tidak ada yang mengalahkan wanita dewasa—kecuali Thanos, tentu saja.”
Mereka tertawa.