Senin, 19 September 2016

Kisah Lama Bersemi Kembali

Jauh dan dekat hanya sebatas kata,
pertemuan dan perpisahan hanya kisah selintas.
Hidup, kadang-kadang, hanya selembar bab novel.
@noffret


Tiga hari setelah Idul Adha kemarin, saya makan malam sendirian di suatu tempat. Sendirian pula, saya menikmati makanan seperti biasa, lalu duduk tenang sambil mengisap rokok seperti biasa. Sudah berkali-kali saya makan malam di tempat itu, hingga sangat familier dengan suasana di sana—tenang, tidak ramai, dan makanannya enak. Tapi rupanya ada sesuatu yang terjadi malam itu.

Saat sedang melangkah ke kasir untuk membayar, saya berpapasan dengan tiga wanita. Sepertinya mereka terdiri dari ibu dan dua anak perempuannya—satu terlihat lebih dewasa, tapi wajah mereka mirip, jadi mungkin kakak beradik. Mereka baru saja membayar, dan tampak akan keluar. Salah satu perempuan, yang lebih muda—si adik—menatap saya dengan jelas, dengan senyum yang tertahan. Sebegitu jelas tatapan dan senyum itu, hingga saya salah tingkah.

Tapi saya tidak tahu siapa dia, tidak mengenali perempuan itu.

Saya sampai di kasir, dan membayar. Sambil menunggu kasir menghitung, saya sempat menengok ke arah tiga wanita tadi. Perempuan tadi, yang menatap saya, juga rupanya sedang menengok ke arah saya. Sekarang saya mulai memahami arti tatapannya. Itu tatapan orang yang ditujukan untuk seseorang yang dikenalnya. Sesaat kemudian, mereka sampai di pintu keluar, dan menghilang.

Tiba-tiba, memori saya berpacu dengan cepat, dan seketika saya mengenali perempuan tadi. “Ya, Tuhan,” pikir saya dengan jantung mencelos. “Itu Emma!”

....
....

Emma (bukan nama sebenarnya) adalah teman zaman SMA. Pada waktu kelas 1, kami ada di kelas berbeda. Meski begitu, kami saling kenal, dalam arti tahu nama masing-masing. Kelas 1 waktu itu ada di lantai 2. Jika saya akan turun, misalnya saat jam istirahat, saya harus melewati depan kelas Emma. Sering, saat itu, Emma berdiri di depan kelas. Saat saya melangkah melewati kelasnya, dia menatap dan tampak ingin tersenyum.

Tetapi, entah kenapa, saya selalu malu setiap kali bertemu dengannya. Jadi, saat melewati Emma di depan kelasnya, saya hanya menunduk, karena tak berani melihatnya. Antara perasaan malu dan salah tingkah, dan tidak tahu harus berbuat apa jika kami sampai bertatap muka.

Saat kami naik kelas 2, terjadi perpindahan kelas karena adanya jurusan—Sosial dan Biologi. Kebetulan, Emma dan saya satu kelas. Kali ini kami menempati deretan kelas di lantai bawah. Selama di kelas 2, meski satu kelas, kami sangat jarang berkomunikasi, bahkan nyaris tidak pernah.

Satu-satunya percakapan yang masih saya ingat adalah saat ada seorang guru yang tidak berangkat, dan saya duduk-duduk di depan kelas. Emma dan seorang teman tampak datang dari ruang guru. Seperti biasa, saat melihat saya, dia menatap, dengan wajah seperti ingin tersenyum. Waktu itu, saya memberanikan diri bertanya kepadanya, “Gurunya tidak masuk?”

“Iya.” Dia menjawab, sambil tersenyum. Kali ini benar-benar tersenyum. Itu senyuman utuh—bukan senyuman yang ditahan—yang saya saksikan pertama kali.

Itu juga percakapan pertama, dan mungkin terakhir, yang pernah terjadi antara saya dengan Emma. Sejak itu, saya tidak pernah lagi memiliki kesempatan maupun keberanian untuk mengajaknya berbicara. Tetapi, senyumnya hari itu, menjadi senyuman yang membayangi saya bertahun-tahun.

Di kelas, ada empat deret bangku. Saya duduk di deret satu, di bangku nomor dua dari depan, dekat dinding. Emma duduk di deret empat, di bangku nomor tiga dari belakang, juga dekat dinding. Saat guru di kelas sedang menulis di papan tulis, kadang saya menyandarkan tubuh ke dinding, dan tanpa sengaja menatap ke arah Emma. Di waktu bersamaan, entah kenapa, Emma juga sedang menyandarkan tubuh ke dinding, dan sedang menatap ke arah saya. Lalu kami saling menahan senyum.

Setelah itu, biasanya saya kembali menghadap ke depan, sambil merasa malu.

Perasaan seperti itu, jujur saja, hanya saya rasakan terhadap Emma. Selama di SMA, saya akrab dengan banyak teman perempuan, baik yang sekelas maupun dari kelas lain, dan kami bisa bercakap-cakap asyik, saling canda, dan tertawa-tawa. Tapi entah kenapa, saya selalu dihinggapi perasaan malu dan salah tingkah jika ingin melakukan hal yang sama dengan Emma. Karenanya, seperti yang dibilang tadi, kami nyaris tidak pernah berkomunikasi, meski satu kelas.

Kadang-kadang, saat saya sedang asyik mengobrol dengan cewek-cewek lain di sekolah pas jam istirahat, Emma berdiri di pintu kelas, sendirian, dan menatap ke arah saya. Biasanya pula, saya pun salah tingkah, dan menghentikan obrolan dengan cewek-cewek lain. Tapi bukannya mendekati Emma, saya malah pergi ke belakang, dan bergabung dengan murid-murid cowok yang sedang merokok.

Kejadian “aneh” seperti itu terjadi berkali-kali, hingga rasanya Emma maupun saya sama-sama memahami. Bahwa kami dua orang yang aneh. Satu kelas, tapi tidak pernah berkomunikasi. Saling kenal, tapi saling merasa malu. Dan “drama yang aneh” itu bahkan terus berlanjut saat kami naik kelas 3. Seperti di kelas 2, kami kembali sekelas. Tetapi, yang ajaib, kami tetap tidak pernah berkomunikasi sedikit pun!

Padahal, tidak ada apa-apa di antara kami. Artinya, kami tidak pernah punya masalah apa pun. Saya juga mengenal Emma sebagai sosok yang kalem, agak pendiam, dengan kecantikan dan kelembutan yang mampu membuat cowok salah tingkah. Mungkin, faktor itulah yang menjadikan saya sering malu dan salah tingkah saat berhadapan dengannya.

Selama waktu-waktu itu pula, Emma tidak pernah berani mendekati saya, meski dia bisa terlihat wajar saat bersama cowok-cowok lain. Saat berinteraksi dengan teman-teman sekelas, cowok maupun cewek, Emma tampak biasa-biasa saja, seperti umumnya murid perempuan lain. Tapi sikapnya kepada saya benar-benar persis seperti sikap saya kepadanya. Sama-sama malu, dan tidak tahu harus ngomong apa.

Waktu itu, saya tidak berpikir macam-macam terhadap Emma, karena saya sedang jatuh cinta pada perempuan lain, seorang adik kelas, bernama Nadia, yang pernah saya ceritakan di sini. Jadi, selama waktu-waktu itu, saya tidak sempat berpikir apakah saya jatuh cinta kepada Emma, atau apakah Emma jatuh cinta kepada saya. Yang saya tahu, waktu itu, saya hanya jatuh cinta kepada Nadia.

Suatu hari, sekolah kami mengadakan pentas seni, pas hari libur. Jadi, kami berdatangan ke acara itu memakai pakaian biasa (bukan seragam sekolah). Saya pun datang bersama teman-teman di luar sekolah, karena acara itu memang untuk umum. Di hari itulah, saya pertama kali melihat Emma dalam wujud aslinya—bukan murid perempuan berseragam sekolah, tapi sosok perempuan jelita yang sangat mempesona.

Karena takjub melihatnya, tanpa sadar saya memandanginya. Dan, seperti biasa, dia menatap ke arah saya. Dan tersenyum. Itu senyumnya yang paling mekar yang pernah saya saksikan, dan saya cukup lama menatapnya.

Tetapi, saat kami masuk sekolah seperti biasa, sikap kami kembali seperti semula. Kaku, saling malu, dan salah tingkah.

Lalu masa kelulusan tiba. Sampai kami kemudian lulus SMA, bisa dibilang saya belum pernah berkomunikasi dengan Emma, kecuali satu kali, yaitu saat menanyakan guru yang tidak masuk kepadanya. Saya tidak tahu bagaimana kabar Emma selanjutnya setelah itu, karena praktis kami benar-benar berpisah. Saya tidak pernah lagi melihatnya. Lebih dari itu, setelah lulus SMA, saya bahkan tidak punya waktu untuk teringat kepadanya.

Empat tahun kemudian, saya kuliah di sebuah kampus. Satu-satunya motivasi saya masuk kampus itu cuma untuk menemui Nadia, perempuan yang membuat saya jatuh cinta. Tetapi, saat saya mulai kuliah di sana, Nadia lulus. Dia tinggal menyelesaikan skripsi, dan tak lama kemudian wisuda. Jadi, bisa dibilang kuliah saya waktu itu sia-sia. Meski begitu, saya menyelesaikan semua mata kuliah di sana, lalu drop out sebelum wisuda.

Selama kuliah itu, saya berteman akrab dengan banyak orang, cowok maupun cewek. Salah satu teman cewek yang dekat dengan saya bernama Diah. Seperti teman-teman dekat yang lain, Diah tahu bahwa tujuan saya kuliah cuma untuk menemui Nadia. Diah juga tahu bahwa kisah cinta saya berakhir sad ending. Sebenarnya, saya bahkan banyak curhat ke Diah mengenai Nadia.

Suatu hari, saat kami semester enam, Diah berkata kepada saya, “Mungkin ini terlambat. Tapi aku baru ingat, kamu dapat salam dari Emma.”

“Emma siapa?” tanya saya waktu itu.

Lalu Diah bercerita. Saat semester awal di kampus, Diah kursus bahasa asing di sebuah tempat, dan di sana dia bertemu dengan perempuan bernama Emma. Mereka bercakap-cakap, dan Emma bertanya Diah kuliah di mana. Saat Diah menyebutkan nama kampus kami, Emma seketika menyahut, “Aku punya teman SMA yang juga kuliah di tempatmu. Namanya Hoeda. Kamu kenal?”

Waktu itu, Diah langsung menyahut, “Bukan kenal lagi. Dia teman dekatku!”

Lalu Emma menitip salam untuk saya.

Berdasarkan penuturan Diah, saya pun langsung tahu bahwa Emma yang dimaksud adalah Emma yang “itu”—teman dari SMA, sosok yang entah kenapa selalu membuat saya salah tingkah. Rupanya, Emma tahu saya kuliah di kampus itu, meski saya tidak tahu bagaimana dia mengetahuinya.

Saya pun bertanya kepada Diah, “Jadi, Emma nitip salam, waktu kita masih semester satu?”

Diah mengangguk.

Saya langsung mencak-mencak. “Kenapa kamu baru bilang sekarang? Itu tiga tahun yang lalu!”

“Uh... terus terang aku bingung,” sahut Diah. “Waktu itu, kamu sedang jatuh cinta setengah mati pada Nadia. Jadi, aku ragu-ragu mau menyampaikan salam Emma ke kamu. Lagi pula, kupikir, Emma cuma teman biasa. Jadi... yah, aku memutuskan untuk diam saja, dan baru sekarang aku ingat kalau dulu Emma nitip salam ke kamu. Sori, aku benar-benar lupa, dan baru ingat sekarang.”

Ketika saya bertanya apakah Diah masih bertemu Emma, jawabannya tidak. Diah dan Emma hanya mengikuti kursus selama setengah tahun, dan setelah itu mereka berpisah. Jadi, Diah tidak tahu lagi di mana Emma sekarang, atau bagaimana kabarnya.

Dan tahun-tahun terus berlalu.

Sampai kemudian, tempo hari, tanpa sengaja saya melihat Emma di rumah makan, seusai makan malam. Dia bersama ibu dan kakaknya. Dia masih seperti dulu, lembut dan indah, meski tampak jauh lebih dewasa. Seharusnya saya langsung mengenalinya, atau seharusnya dia menyapa kalau memang mengenali saya. Tapi dia masih seperti dulu. Hanya menatap, dan tersenyum.

....
....

Saat selesai membayar di kasir, saya berlari keluar rumah makan. Tapi di luar tampak sepi. Tidak ada siapa pun yang saya kenal.

Tidak ada Emma.

 
;