Rakyat bayar pajak. Pajak dipakai menggaji pejabat.
Pejabat petentang-petenteng kepada rakyat.
Bahkan Socrates pun pusing mikir pajak.
—@noffret
Pejabat petentang-petenteng kepada rakyat.
Bahkan Socrates pun pusing mikir pajak.
—@noffret
Jalanan macet total. Serombongan mobil melaju cepat di tengah-tengah jalan, dengan mobil pengawal di depan dan di belakang, sementara sirine meraung-raung. Ratusan polisi tampak berdiri di berbagai tempat, mengatur lalu lintas dengan tongkat-tongkat menyala, dengan rompi hijau pupus yang terlihat terang di kegelapan malam.
Sementara mobil-mobil yang tampak penting itu menguasai seluruh jalan raya, para pengendara lain dipaksa menyingkir. Ratusan motor dan mobil berhenti di kanan kiri jalan, berdesakan bersama pengendara sepeda dan lain-lain, untuk memberi jalan bagi mobil-mobil yang tampak penting melaju di tengah jalan dengan lancar.
Saya baru keluar dari toko buku ketika kemacetan yang parah itu terjadi. Sesaat, saya bengong menyaksikan yang sedang terjadi di jalanan. Bagaimana pun, saya juga tidak akan bisa pulang sebelum rombongan orang-orang penting itu habis, hingga jalan raya bisa dipakai kembali.
Karena di dalam toko dilarang merokok, saya pun kemudian duduk di bangku yang ada di samping toko, bersama tukang parkir yang biasa ada di sana. Saya mengeluarkan bungkus rokok, mengambil sebatang, menyulutnya, dan menawari si tukang parkir. Dia mengambil sebatang, mengucap terima kasih, dan menyulut.
“Sepertinya ada orang-orang penting, ya?” ujar saya membuka percakapan, sambil menatap rombongan mobil yang masih terus menguasai badan jalan.
Si tukang parkir mendengus. “Menurutku, mereka bukan orang-orang penting.”
Tukang parkir di depan toko adalah lelaki berusia 35-an, bertubuh agak kurus tapi berwajah keras. Rambutnya gimbal. Dia sudah biasa melihat saya, karena sering bolak-balik ke sana. Pernah, suatu siang, saya menyaksikannya telanjang dada, dan melihat hampir seluruh tubuhnya dipenuhi tato. Kini, saat duduk di sampingnya, saya mencium bau minuman keras menguar dari tubuhnya.
“Kenapa menurutmu mereka bukan orang-orang penting?” saya bertanya.
Dia menyahut, “Mereka menjadi penting, karena orang-orang tolol seperti kita menganggap mereka penting!”
“Tapi menurutmu, mereka bukan orang-orang penting?”
“Ya. Apa pentingnya mereka, coba? Mungkin mereka pejabat atau apalah. Dan apa artinya pejabat? Mereka hanya orang-orang yang kita bayar untuk mengurusi kepentingan kita. Mereka hidup dari pajak kita, mereka makan dari uang kita, mereka bahkan menjadi kaya karena keringat kita. Apa pentingnya orang-orang semacam itu? Mereka sebenarnya babu! Tapi kita semua terlalu tolol untuk menyadari kenyataan itu.”
“Sebenarnya, aku sependapat denganmu.”
Dia tersenyum. Mengisap rokoknya sesaat, kemudian berkata serius, “Aku sering bingung setiap melihat rombongan orang-orang semacam itu. Seperti yang kubilang tadi, mereka mungkin pejabat atau apalah. Mereka kita pilih untuk mewakili kita, untuk mengurusi kepentingan kita. Untuk hal itu, kita pun membayar mereka melalui pajak yang kita serahkan pada negara. Artinya, kita membayar mereka, kan?”
“Benar.”
“Jadi, kenapa orang-orang yang kita bayar itu menjadi penting? Bagiku mereka sama sekali tidak penting! Kitalah yang penting. Kitalah yang memilih mereka, yang membayar mereka, yang menghidupi mereka. Kenapa kita malah menganggap mereka penting?”
Dia mengisap rokok, dan melanjutkan, “Aku tidak pernah menganggap pejabat atau semacamnya sebagai orang penting. Mereka yang hidup dari pajak rakyat hanyalah babu rakyat!”
Saya menyahut, “Tapi sayangnya tidak setiap orang berpikir sepertimu.”
“Itulah masalahnya,” dia mengangguk. “Terlalu banyak orang tolol yang menilai diri mereka sangat rendah. Sampai-sampai mereka menganggap babu-babu mereka begitu tinggi, begitu penting. Akibatnya seperti ini. Ketika babu-babu itu akan keluyuran, mereka harus diberi jalan, bahkan dikawal, dan kita disuruh menyingkir. Padahal kitalah yang membayari mereka, dan menghidupi mereka. Kenapa justru kita yang disuruh menyingkir?”
Dia menampakkan wajah muak, dan kembali melanjutkan, “Aku tak habis pikir dengan negeri ini. Rakyat memeras keringat untuk membiayai para wakilnya, dan para wakil yang disebut pejabat itu justru mempersulit urusan rakyat. Rakyat membelikan seragam dan senjata bagi para pembela negara, dan para pembela negara justru menggunakan seragam dan senjatanya untuk menindas rakyat. Rakyat membayari kepolisian agar tercipta keamanan, tapi para polisi justru menimbulkan ketakutan. Aku tak habis pikir dengan negeri ini. Rakyat berjibaku, bekerja keras demi orang-orang itu, kemudian orang-orang itu justru menganggap diri mereka lebih penting dari rakyat! Bah!”
Dia meludah ke tanah.
Saya mengisap rokok, dan berkata, “Masalahnya, mungkin, karena rakyat tidak sadar bahwa mereka lebih penting dari orang-orang yang mereka anggap penting itu.”
“Betul! Makanya, seperti kubilang tadi, rakyat mungkin terlalu rendah menilai diri sendiri, sehingga mereka pun menilai para wakilnya sebegitu tinggi. Kalau kita membayar dan menghidupi sekelompok orang untuk membantu kita, mereka hanyalah abdi! Mungkin mereka memang penting, tapi bagaimana pun kita tidak bisa menganggap mereka lebih penting dari kita, sebagaimana mereka seharusnya tidak menganggap lebih penting dari kita!”
Saya mengangguk, dan teringat pemandangan di Inggris. Perdana Menteri Inggris, David Cameron, sering naik trem untuk berangkat atau pulang kantor. Saat naik trem, kadang tempat duduk sudah penuh, dan si Perdana Menteri akan berdiri. Meski dia pejabat tinggi, dia tidak menunjukkan sikap bahwa dia lebih penting dari orang lain. Saat tempat duduk sudah penuh, dia tidak meminta orang lain menyingkir. Jadi, dia pun berdiri di sisi trem, biasanya sambil mengempit koran, dan orang-orang di sana menganggap itu hal biasa.
Ketika saya menceritakan hal itu pada si tukang parkir yang mengobrol dengan saya, dia menyahut, “Seperti itulah seharusnya kita memperlakukan orang-orang yang kita sebut pejabat, dan seperti itulah seharusnya para pejabat bersikap!”
“Bukan seperti mereka?” ujar saya sambil menunjuk rombongan mobil di jalan raya.
“Bukan seperti mereka!” dia menyahut. “Juga bukan seperti orang-orang yang rela disingkirkan untuk berdesak-desakan di pinggir jalan!”
“Masalahnya mungkin soal mental, ya,” ujar saya. “Mental rakyat negeri ini belum mampu menganggap pejabat sebagai abdi mereka, sehingga sikap mereka justru menghamba pada pejabat. Sebaliknya, mental pejabat negeri ini belum mampu menganggap mereka hanyalah abdi rakyat, sehingga sikap mereka justru merasa lebih penting dari rakyat.”
“Betul. Betul ucapanmu.” Dia mengangguk-angguk senang. “Jangankan pejabat yang mungkin punya jabatan tinggi, bahkan pejabat kelas rendahan saja kebanyakan sudah sangat sok! Kondisi itu tentunya terjadi karena mental yang sama-sama rusak—baik pejabatnya, maupun rakyatnya! Akibatnya, seperti inilah yang terjadi. Para pejabat mau lewat saja, jalan ditutup, dan kita harus menyingkir. Ini kan kebalik! Seharusnya, kita mau lewat, para pejabat yang menyingkir!”
Saya tersenyum. “Tapi kalau begitu, nanti tidak ada yang mau jadi pejabat?”
Dia menyahut, “Justru itulah kondisi paling ideal dalam suatu negara—ketika orang-orang tidak berambisi menjadi pejabat! Yang menjadikan negara rusak, karena para pejabat berambisi menjadi pejabat, dan mereka melakukan segala cara untuk meraihnya! Seharusnya, kita memilih orang-orang yang tidak ingin menjadi pejabat! Agar ketika mereka menjadi pejabat, mereka menerima jabatannya sebagai amanat dan tanggung jawab, bukan sebagai kesempatan mumpung jadi pejabat!”
Saya terdiam. Tukang parkir ini rupanya lebih pintar dari yang saya duga. Dan diam-diam saya teringat pada ucapan orang bijak seribu lima ratus tahun lalu, yang menyatakan, “Jika orang-orang yang tidak memiliki kemampuan memimpin dipilih menjadi pemimpin, maka rusaklah suatu kaum.”
“Jadi,” ujar saya perlahan-lahan sambil menunjuk rombongan di jalan, “mereka sama sekali tidak penting, ya?”
Si tukang parkir mengangguk. “Mereka sama sekali tidak penting!”