Jumat, 23 September 2016

Nasi Goreng dan Nasionalisme

Memasuki waktu Indonesia bagian mendatangi
warung nasi harapan terakhir umat manusia di dunia.
@noffret 


Gara-gara nasi goreng, semangat nasionalisme (beberapa) orang Indonesia bangkit. Asal mulanya cuma foto nasi goreng yang diunggah Rio Ferdinand di sosial media. Mantan pemain sepak bola terkenal asal Inggris itu berada di Singapura, untuk menonton pertandingan balap Formula 1. Dia menggunggah foto selfie dengan nasi goreng, dan menulis, “Nasi goreng lunch... Keep it local in #Singapore.”

Gara-gara hal tersebut, orang-orang Indonesia—khususnya para pengguna sosial media—melakukan “unjuk rasa nasionalisme”, dengan memberitahu Rio Ferdinand bahwa nasi goreng adalah masakan Indonesia. Tampaknya, orang-orang Indonesia tak terima jika masakan yang sangat akrab dengan lidah mereka dianggap milik negara lain.

Sebegitu agresif orang-orang Indonesia melakukan protes, sampai ada beberapa orang yang jengah, dan menulis komentar balik, “Orang-orang Indonesia ini suka mengklaim tiap makanan berasal dari negara mereka.”

Akibat polemik yang memanas, Rio Ferdinand mencoba meredakan suasana dengan meminta agar semua pihak lebih santai dalam menanggapi hal itu, dan menyatakan bahwa yang ia maksud adalah nasi goreng sebagai masakan lokal khas Asia Tenggara.

Kalau dipikir-pikir, kasus ini lucu, sebenarnya.

Jika mempelajari sejarah, kita akan diberitahu bahwa nasi goreng adalah masakan yang berasal dari Cina—bukan dari Indonesia, juga bukan dari Singapura. Karenanya, jika ada pihak yang paling berhak untuk melakukan protes dalam hal ini, seharusnya orang Cina.

Nasi goreng telah dibuat bangsa Cina, setidaknya sejak 4.000 tahun sebelum Masehi. Sekali lagi, empat ribu tahun sebelum Masehi! Itu zaman ketika Brama Kumbara atau Gadjah Mada belum lahir! (Iya, saya paham, Brama Kumbara cuma tokoh fiksi. Tapi apa kalian pikir Gadjah Mada juga bukan tokoh fiksi?)

Balik ke nasi goreng.

Ada cukup banyak versi mengenai asal usul nasi goreng. Tetapi, yang jelas, semua versi merujuk dan menegaskan bahwa masakan itu berasal dari Cina. Salah satu versi menyebutkan bahwa orang-orang Cina sejak zaman dulu tidak suka makanan (nasi) yang dingin. Karenanya, mereka pun lalu mengolah nasi yang sudah dingin agar kembali hangat, dan menggoreng nasi—plus menambahi aneka bumbu—melahirkan sejarah nasi goreng.

Versi yang lebih lengkap, terkait dengan kebiasaan para kaisar Cina zaman kuno. Kaisar Cina zaman kuno—seperti umumnya orang kaya-raya zaman sekarang—suka jor-joran. Setiap kali akan makan pagi, makan siang, atau makan malam, mereka meminta para koki istana untuk membuat makanan dan hidangan dalam jumlah banyak. Mereka ingin meja makan dihiasi nasi yang menggunung, dan aneka masakan yang lengkap.

Karena kebiasaan itu, setiap pagi, setiap siang, dan setiap malam, ada sekian banyak nasi sisa karena tidak termakan keluarga kaisar. Berdasarkan perintah istana, semua nasi dan hidangan sisa harus dibuang. Untuk setiap kali acara makan, semua nasi dan masakan harus dibuat kembali sebagai nasi dan masakan baru, agar benar-benar segar.

Kenyataan itu menjadikan sekian banyak nasi dan aneka masakan terbuang setiap hari secara sia-sia. Tentu saja tidak masalah bagi sang kaisar, wong dia orang kaya! Tapi tidak semua orang sekaya Kaisar Cina! Di luar istana, ada banyak orang yang menjalani hidup sederhana, termasuk dalam urusan makan.

Sampai suatu hari, ada seorang koki yang berpikir kreatif. Sisa nasi dari istana—yang jumlahnya melimpah setiap hari—diolah kembali, agar bisa dimakan secara layak. Butuh waktu lama untuk menemukan formula yang tepat dalam mengolah nasi tersebut, agar bisa disukai orang-orang. Mula-mula, nasi itu dibakar, agar panas. Tapi hasilnya tidak enak. Dipanggang, juga tidak enak. Direbus, tetap tidak enak. Bahkan ketika digoreng pun tetap tidak enak.

Setelah sangat lama berusaha mengolah nasi agar enak, akhirnya ditemukan formula yang waktu itu dianggap paling tepat, karena menghasilkan rasa paling enak. Yaitu digoreng, dengan ditambah kecap. Hasilnya, nasi yang semula putih berubah warna lebih gelap. Rasanya mulai sedikit enak. Seiring dengan itu, beberapa bumbu lain ditambahkan, termasuk cabai, tomat, bawang, dan selanjutnya adalah sejarah.

Itulah awal mula lahirnya nasi goreng... empat ribu tahun sebelum Masehi.

Setelah nasi itu digoreng, orang-orang menyukai, karena rasanya enak. Apalagi setelah mereka mengombinasikannya dengan telur ceplok. Sejak itu, koki istana selalu mengolah nasi sisa dari istana untuk digoreng, lalu dibagi-bagikan kepada para penjaga dan rakyat di sekeliling istana. Sang Kaisar senang, karena selalu makan enak. Koki istana senang, karena sekarang tidak ada nasi yang terbuang. Rakyat juga senang karena sering makan enak.

Berabad-abad kemudian, nasi goreng masih ada, masih dibuat, masih dinikmati, bahkan dikembangkan, hingga rasanya semakin enak, dan semakin banyak yang suka. Lama-lama, nasi goreng bahkan identik dengan orang-orang Cina di masa lalu. Karena orang-orang Cina merantau ke hampir seluruh belahan bumi, nasi goreng pun mengikuti. Karenanya, ketika orang Cina masuk ke Indonesia, negeri ini pun mulai mengenal nasi goreng. Oleh orang Indonesia, sajian nasi goreng ditambah sesuatu yang menjadikannya makin renyah. Yaitu kerupuk.

Oh, well, kerupuk adalah karunia alam semesta. Dan apalah arti makan nasi goreng tanpa kerupuk? Jadi, jasa orang Indonesia terkait nasi goreng—kalau memang itu bisa disebut jasa—hanya sebatas kerupuk.

Sejarah tentang masuknya nasi goreng ke Indonesia, tidak jauh beda dengan sejarah masuknya soto (yang nama aslinya caudo) ke Indonesia. Sama-sama dibawa dan diperkenalkan orang Cina yang masuk ke negeri ini. Dan sama seperti soto, nasi goreng juga beradaptasi dengan tempat ia masuk. Ke Indonesia, nasi goreng beradaptasi dengan lidah orang Indonesia. Begitu pula saat masuk ke negara lain.

Percaya atau tidak, di Singapura memang ada nasi goreng khas Singapura. Bocah-bocah Indonesia yang biasa sarapan nasi goreng ke sana, menyebutnya “nasi goreng Singapuh” (pakai “h”, sesuai logat mereka). Di Singapura, nasi goreng dibumbui kare kuning, berbeda dengan nasi goreng khas Indonesia. Sementara di Thailand, ada nasi goreng Pattaya, yang merupakan nasi goreng khas Thailand, yang biasa disajikan dengan terbungkus telur dadar.

Jadi, kalau ada orang mengatakan sedang makan nasi goreng khas Singapura, dan dia memang benar-benar ada di Singapura, sepertinya tidak ada yang salah. Beda kasus kalau misalnya orang mengunggah foto selfie makan nasi goreng di Glodok, tapi menulis tweet, “Nasi goreng Singapura panas banget!”

Lagi pula, terkait Rio Ferdinand, sebenarnya kita sulit mengklaim nasi goreng sebagai masakan khas Indonesia, wong nyatanya itu berasal dari Cina. Kalau mau mengklaim sesuatu terkait nasi goreng, paling kita hanya bisa mengklaim kerupuknya. Itu pun kalau Rio Ferdinand makan nasi goreng dengan kerupuk. Tapi masak iya kita mau repot-repot mengklaim kerupuk?

Oh, well, urusan nasi goreng Rio Ferdinand mungkin bukan urusan penting, namun setidaknya hal itu mengingatkan kita kembali pada nasionalisme. Sesuatu yang kerap tercerabut dari diri kita tanpa disadari adalah nasionalisme. Kita mungkin terlalu sibuk mengutuk negeri sendiri, sehingga tidak lagi menyisakan secuil ingatan—apalagi kebanggaan—pada tanah air sendiri. Dan nasionalisme itu, kebanggaan itu, baru terlahir setelah sesuatu yang kita pikir milik kita dianggap milik bangsa lain.

Seperti nasi goreng. Atau wayang. Atau tarian. Sebut apa pun.

Kita sering kali baru meributkan milik kita, kekayaan kita, kebudayaan kita, ketika hal-hal itu diklaim atau setidaknya dianggap bukan milik kita. Kita marah, nasionalisme kita bangkit, dan kita menuntut agar hak itu dikembalikan, agar kembali kepada kita, kembali milik kita. Dan apa yang kita lakukan setelah itu? Tidak ada. Atau, setidaknya, saya tidak tahu.

Pagelaran wayang tetap menjadi tontonan yang terpinggirkan, tarian tradisional tetap menjadi hal asing, kebudayaan asli Indonesia tetap tak dikenali, sementara begitu banyak kekayaan yang kita miliki tak penah diketahui. Kita tidak peduli. Oh, well, tak pernah peduli. Kita baru peduli, dan marah, bahkan mengamuk, ketika hal-hal yang tidak kita pedulikan itu diklaim bukan milik kita.

Jadi kita punya banyak hal, tapi tidak mau merawat. Ketika ada orang lain yang ingin merawat, kita tidak rela. Jadi, apa sebenarnya yang kita inginkan...?

“Jangan pernah melupakan sejarah,” kata Bung Karno. Karena sejarah adalah akar, tempat kita seharusnya berpijak. Mengetahui sejarah artinya memahami keberadaan kita, mengetahui hal-hal yang kita miliki serta hal-hal yang bukan milik kita. Karena mengklaim sesuatu yang bukan milik kita, sama konyol dengan menganggap kita tak punya apa-apa padahal sangat kaya.

 
;