Aku rindu... rindu... rindu... senyumku yang dulu.
—@noffret
—@noffret
Percakapan selintas bisa mengubah pikiran kita, peristiwa sederhana bisa mengubah hidup kita. Setidaknya, itulah yang sering saya alami. Banyak hal besar dalam hidup saya diawali oleh hal-hal kecil. Pelajaran-pelajaran besar yang pernah saya terima dalam hidup, sering kali berbentuk peristiwa-peristiwa kecil, yang biasa dan sederhana, dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti seminggu yang lalu, ketika saya bertemu seorang perempuan sederhana, dan—tanpa diketahui siapa pun—perempuan itu telah mengubah pikiran, hati, dan hidup saya.
Kisah ini diawali suatu siang, seminggu yang lalu. Hari itu, saya harus keluar rumah untuk membeli barang-barang yang saya butuhkan sehari-hari, mencakup teh, gula, kopi, rokok, dan hal-hal semacamnya. Kegiatan itu saya lakukan sebulan sekali, dan jumlah barang yang saya beli sebanyak kebutuhan dalam sebulan. Jadi, saya membeli gula untuk sebulan, membeli teh dan kopi untuk sebulan, membeli rokok untuk sebulan, begitu pula barang-barang lain.
Untuk keperluan tersebut, saya biasa mendatangi tempat perkulakan (bukan swalayan modern), yang selama ini telah menjadi langganan saya berbelanja. Setiap ke sana, saya sudah menyiapkan kertas berisi catatan barang-barang yang dibutuhkan. Jadi, sesampai di sana, saya tinggal menyerahkan kertas itu, membayar, dan pelayan akan membawakan barang-barang yang saya pesan. Karena belanja untuk satu bulan, tentu jumlah belanjaan saya cukup banyak. Biasanya pula, pelayan akan mengemas semua barang itu dalam kardus.
Meski rutin melakukannya setiap bulan, terus terang saya selalu malas setiap kali berbelanja. Pertama, karena saya harus keluar rumah. Keluar rumah artinya harus menghadapi panas, macet, asap kendaraan dan debu jalanan, serta hal-hal lain yang bisa membuat saya marah—misalnya ABG yang naik motor seenaknya. Kalau saja bisa, saya tidak ingin keluar rumah sama sekali, apalagi di siang hari.
Kedua, selama berada di tempat perkulakan, saya harus menunggu cukup lama, karena di sana juga banyak pembeli—biasanya para pedagang atau pemilik toko/warung kecil, yang sedang kulakan barang untuk dijual kembali. Tidak jarang, di sana saya kehabisan bangku, sehingga harus menunggu sambil berdiri. Itu pun masih ditambah dengan suasana ruangan yang panas. Pendeknya, kalau saja bisa, saya tidak ingin keluar rumah!
Setiap kali saya masuk rumah setelah berpanas-panas di jalan, saya merasa sedang masuk surga setelah terbakar di neraka.
Oh, mungkin ilustrasi itu terdengar berlebihan. Tapi kira-kira seperti itulah yang saya rasakan. Bagi saya, segala hal yang ada di luar rumah adalah kontradiksi dari segala hal yang ada di dalam rumah. Di luar rumah panas, macet, penuh debu, dan polusi. Di dalam rumah adem, tenang, hening, dan damai. Di luar rumah, saya tidak bebas melakukan apa pun. Di dalam rumah, saya bisa melakukan apa pun dengan mudah.
Karena itu pula, saya sengaja berbelanja sebulan sekali, agar tidak sering-sering keluar rumah hanya untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Saya lebih senang berada di dalam rumah. Duduk tenang, mengerjakan hal-hal yang perlu dikerjakan, dalam suasana adem, hening, dan—kalau capek—saya bisa berbaring di sofa atau tempat tidur kapan pun. Mau minum, tinggal bikin. Mau ngemil, tinggal ambil. Mau merokok, tinggal menyulut. Mau apa pun, semuanya mudah, dan berlimpah.
Dalam hidup, terus terang, saya memang sangat “memanjakan diri”, khususnya dalam hal-hal yang terkait kebutuhan sehari-hari. Saya benci merasa “kekurangan”, karena sejak kecil telah hidup serba kekurangan. Saya benci jika harus susah payah untuk mendapatkan sesuatu, karena sejak kecil telah disiksa perasaan semacam itu. Saya benci merasa susah dan kesulitan, karena sejak kecil telah dipaksa menjalani kesusahan dan kesulitan.
Lama-lama, kebiasaan “memanjakan diri” yang saya jalani menumbuhkan sifat buruk dalam diri saya, yaitu tidak sabaran dan mudah memaki. Saat menghadapi sesuatu yang tidak enak, saya cepat kehilangan kesabaran, lalu marah. Saat menghadapi hal menjengkelkan, saya mudah memaki. Padahal, dalam hidup—setidaknya dalam kehidupan sehari-hari—selalu ada hal-hal semacam itu, yang tidak enak, yang menjengkelkan. Akibatnya, saya marah dan memaki setiap hari.
Seperti keluar rumah, untuk belanja, atau untuk mencari makan. Setiap kali keluar rumah, hampir bisa dipastikan saya akan marah dan memaki, meski dalam hati. Menghadapi panas dan macet, saya marah. Melihat ABG naik motor pecicilan, saya memaki. Menemukan hal-hal tak beres sedikit, saya jengkel. Dan itu, tanpa saya sadari, perlahan-lahan menghilangkan senyum dari wajah saya.
Semua yang saya paparkan ini, sebelumnya tidak pernah saya sadari. Jadi, selama ini, saya menjalani kehidupan sebagaimana yang saya gambarkan tadi—mudah marah, mudah memaki, mudah kehilangan kesabaran, karena terbiasa menjalani kehidupan yang serba enak dan nyaman. Karena terbiasa enak dan nyaman, saya pun mudah marah oleh hal-hal yang mengganggu dan menjengkelkan, meski mungkin kecil dan sepele.
Kenyataan itu baru saya sadari seminggu yang lalu, saat berada di tempat perkulakan, untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari, sebagai bekal hidup sebulan ke depan.
Jadi, siang itu, saya duduk di salah satu bangku di sana, menunggu pelayan mengumpulkan barang-barang yang saya pesan. Seperti biasa, barang-barang itu ditumpuk di dekat saya duduk—tumpukan teh, tumpukan kopi, tumpukan rokok, dan tumpukan lain. Saya menunggu semua itu sambil merokok sendirian.
Tiba-tiba, seorang wanita mendekat ke tempat saya duduk. Usianya mungkin antara 25-30 tahun. Wanita itu membawa beberapa renteng sachet minuman bubuk, dan ia menawari saya untuk mencoba (maksudnya membeli) minuman bubuk tersebut. “Murah, Mas,” ucapnya. “Ini harganya seribu rupiah per sachet, tapi kalau di warung eceran harganya seribu dua ratus.”
Karena saya tidak biasa mengonsumsi minuman bubuk yang ditawarkannya, saya pun menjawab, “Maaf, Mbak, saya tidak biasa mengonsumsi minuman itu.”
“Kan, bisa dicoba, Mas, siapa tahu bisa laku,” sahutnya.
Selama sedetik, saya kebingungan memahami maksud ucapannya. Tetapi, sedetik kemudian, saya segera menyadari apa yang terjadi. Wanita itu memakai seragam yang bagian dadanya terdapat tulisan merek minuman bubuk yang ia tawarkan. Jadi, dia sales produk tersebut, yang sedang mencari calon pelanggan di tempat perkulakan.
Mungkin, karena melihat barang belanjaan saya yang banyak, wanita itu mengira saya sedang kulakan untuk dijual kembali di toko atau di warung, dan dia berharap saya mau membeli minuman bubuk yang ditawarkannya, untuk saya jual kembali.
Setelah menyadari kenyataan itu, saya pun berkata dengan serba salah, “Mbak, saya tidak kulakan untuk warung. Ini saya belanja untuk kebutuhan sendiri.”
Wanita itu tampak kebingungan, tapi kemudian—dengan sedikit salah tingkah—dia pergi meninggalkan saya, tanpa mengucapkan apa-apa. Setelah itu, saya melihatnya berdiri di sudut lain, masih memegangi tumpukan sachet minuman bubuk yang tadi ia tawarkan kepada saya.
Karena telah sering datang ke tempat kulakan tersebut, saya tahu wanita tadi bukan pelayan di sana. Kemungkinan besar, dia sales perusahaan minuman bubuk yang ditugaskan mencari calon pelanggan di tempat kulakan. Kenyataannya, tidak lama kemudian, dia terlihat mendekati pembeli lain di tempat itu, dan kembali menawarkan sachet minuman bubuk yang tadi ia tawarkan pada saya. Selama beberapa saat, mereka tampak bercakap-cakap, lalu sales wanita itu kembali pergi ke sudut lain, dan berdiri sendirian.
Mungkin dia telah melakukan kegiatan itu sejak pagi—sebelum saya datang ke sana—dan mungkin akan terus melakukannya sampai nanti sore, saat tempat perkulakan tutup. Bisa jadi, dia juga melakukan kegiatan itu setiap hari. Datang ke tempat perkulakan sendirian, berdiri di salah satu sudut, mencari orang yang tepat, mencoba menawarkan barang dagangannya, berharap menemukan calon pelanggan, berharap mendapatkan rezeki.
Saat barang-barang belanjaan saya telah dikemas dalam dus, saya pun membawanya keluar dari tempat perkulakan itu. Saat melangkah keluar, saya melewati wanita tadi—sedang berdiri diam, dengan tumpukan sachet minuman bubuk di tangan. Sebenarnya, saya ingin menyapa atau sekadar pamit, tapi dia menundukkan muka, dan saya bingung. Jadi, saya pun melewatinya dengan diam.
Selama perjalanan pulang, bayangan wanita itu tidak juga lepas dari pikiran saya. Bahkan saat saya sampai di rumah, dan kembali menikmati suasana adem yang hening seperti biasa, bayangan wanita tadi masih terus menari-nari dalam ingatan. Saya benar-benar tak bisa melupakannya—seragamnya, wajahnya, sikapnya, ekspresinya, bahkan ucapannya, kata demi kata.
Betapa hidup bisa mengubah manusia, pikir saya dengan getir, sendirian.
Bertahun-tahun lalu, saya menjalani kehidupan yang amat pahit, susah, didera luka, sengsara, dan penuh penderitaan. Saya tidak bangga dengan hal itu. Sebaliknya, saya kerap membenci setiap kali teringat. Karena itu pulalah, ketika kini kehidupan saya berubah, saya pun “memanjakan diri” dengan kehidupan yang saya inginkan—tenang, nyaman, berkelimpahan, tanpa kekurangan apa pun.
Kini, kehidupan saya jauh lebih menyenangkan daripada kehidupan saya sepuluh tahun lalu. Saya membangun surga untuk diri saya sendiri, dan dalam surga itu saya tidak kekurangan apa pun. Sebegitu nyaman kehidupan yang saya jalani, hingga saya lupa... di luar sana ada banyak orang yang tidak seberuntung saya. Sebegitu nyaman surga yang saya huni, hingga saya lupa... bertahun lalu saya berkubang di neraka.
Dan wanita yang saya jumpai di tempat perkulakan tadi—tanpa disadarinya—telah menyadarkan diri saya. Sosoknya adalah sosok saya bertahun lalu, yang harus mengerjakan sesuatu yang berat, sulit, namun harus dilakukan, demi bisa menyambung hidup. Sosoknya adalah sosok saya bertahun lalu, yang harus melawan diri sendiri demi mendapat secuil rezeki, demi bisa melewati hari demi hari.
Tiba-tiba saya malu pada diri sendiri. Betapa kini saya mudah marah oleh hal-hal kecil, betapa kini saya mudah memaki karena hal-hal sepele. Betapa kini saya telah berubah jauh dari saya yang dulu, betapa kini saya terlalu manja hingga tak mau menghadapi apa pun yang sedikit berat, sedikit sulit, atau sedikit menjengkelkan.
Saya lupa, bahwa dulu saya memiliki semua kemampuan itu—kemampuan untuk diam menahan kesulitan, kemampuan untuk bersabar menghadapi kesusahan, kemampuan untuk tabah menghadapi penderitaan, kemampuan untuk menyembuhkan diri setiap kali terluka. Semua kemampuan itu kini telah hilang.... Kesenangan, kemanjaan, dan keberlimpahan, telah mengubah pribadi saya menjadi sosok yang bahkan tak lagi saya kenali.
Siang itu, sendirian di rumah yang hening, tiba-tiba saya tak kuasa menahan air mata yang mengalir. Dan dalam tangis itu, diam-diam saya berdoa, semoga wanita yang saya temui di tempat perkulakan tadi—dan wanita-wanita sesamanya di bawah langit—selalu diberkati kemampuan untuk bertahan, selalu dikaruniai hati dan pikiran yang lapang, selalu dilimpahi rezeki dan kehidupan yang lebih baik.