Pertanyaan paling menggelisahkan di dunia: Apa sebenarnya
yang kita percaya? Cuma doktrinasi, atau benar-benar fakta?
—@noffret
yang kita percaya? Cuma doktrinasi, atau benar-benar fakta?
—@noffret
Sabra dan Shatila adalah nama dua kamp pengungsian Palestina, di wilayah Beirut Barat. Dua kamp itu terletak berhimpitan, sehingga biasa disebut Sabra-Shatila. Selain Sabra-Shatila, ada pula kamp pengungsi bernama Mar Elias, Bour el-Brajneh, dan beberapa yang lain. Ketika perang antara Israel dan Palestina terjadi, kamp-kamp itu menjadi tempat persembunyian para wanita dan anak-anak Palestina dari kekejaman perang. Bisa dibilang, di kamp-kamp itu tidak ada pria, apalagi yang masih muda, karena semuanya berperang melawan Israel.
Kamp-kamp pengungsian di Palestina—termasuk Sabra-Shatila—tidak terlalu luas, namun dihuni ribuan orang. Mereka tinggal di kamar-kamar sempit dan kumuh, dengan fasilitas kesehatan serta sanitasi yang sangat tidak layak. Di tempat itulah, para wanita—termasuk nenek-nenek, ibu-ibu rumah tangga, anak-anak, hingga bayi-bayi—menjalani kehidupan sambil berharap perang segera usai, agar para pria bisa kembali, agar hidup kembali damai.
Waktu itu pertengahan 1982, dan pasukan Israel menyerang wilayah Beirut dengan brutal, bahkan membabi-buta. Dunia internasional mengecam penyerangan keji itu, dan hasilnya Prancis serta Italia mengirim pasukan. Para pejuang Palestina yang ada di wilayah Beirut dievakuasi menggunakan kapal-kapal laut, di bawah pengawalan Prancis dan Italia. Seiring dengan itu, PBB menurunkan sejumlah pasukan penjaga perdamaian.
Untuk sementara waktu, Israel menghentikan serangan mereka, dan untuk sementara waktu pula suasana Beirut terasa damai. Peristiwa itu terjadi pada awal September 1982.
Di Beirut, karena suasana yang mulai damai, orang-orang mulai keluar dari tempat perlindungan, dan mereka membersihkan puing-puing bekas perang dari jalanan. Harapan hidup kembali bersinar di mata mereka. Bahkan, sesuai permintaan PBB, wanita-wanita Palestina juga menyerahkan semua senjata api yang semula mereka simpan sebagai sarana berjaga-jaga kalau diserang.
Jadi, jalan-jalan di Beirut yang semula kotor, berantakan, dan penuh puing bekas peperangan, kini mulai bersih. Anak-anak kecil mulai bermain dan berlarian, dan para ibu menggendong bayi-bayi mereka dengan wajah lebih cerah. Hidup tampaknya akan lebih baik, atau setidaknya mereka berharap begitu.
Tapi harapan itu ternyata menjadi awal petaka mengerikan.
Setelah jalan-jalan di Beirut bersih dari tumpukan karung-karung berisi pasir, bersih dari beton dan batu-batu yang semula dipasang sebagai barikade, setelah keluarga-keluarga Palestina di kamp pengungsian tidak lagi memiliki senjata, setelah bayi-bayi dapat tertawa dicandai ibu mereka... petaka yang sangat mengerikan menyergap tiba-tiba.
Suatu malam, 14 September 1982, ledakan besar mengguncang Lebanon. Sebuah bom meledak, dan calon Presiden Lebanon, Bashir Gemayel, terbunuh. Terbunuhnya Bashir Gemayel seperti intro nyanyian luka.
Esok paginya, saat hari masih gelap, udara Lebanon dipenuhi raungan pesawat tempur Israel. Pesawat-pesawat itu menjatuhkan bom-bom yang kembali mengguncang bumi, meluluhlantakkan Beirut. Tanah bergetar seperti gempa, bangunan-bangunan hancur, pohon-pohon terbakar.
Setelah serangan bom mereda, bumi kembali bergetar. Kali ini karena kedatangan ratusan tank pasukan Israel yang berkonvoi memasuki Beirut, dan mengepung kamp pengungsian Sabra-Shatila. Tank-tank itu diikuti tentara infanteri Israel dan sekutu mereka, di antaranya orang-orang Lebanon bersenjata, yang memang dekat dengan kaum Yahudi.
Pada waktu itu, sebagaimana yang disebut tadi, kamp-kamp pengungsian di sana—termasuk Sabra-Shatila—hanya dihuni kaum wanita, termasuk ibu-ibu, nenek-nenek, juga anak-anak, serta bayi-bayi. Ketika mereka mendengar gemuruh suara tank yang mendekat, para wanita pun menarik anak-anak dan menggendong bayi-bayi mereka untuk segera masuk kembali ke tempat persembunyian, dan mengunci diri di dalamnya.
Pasukan Israel, bersama tank-tank mereka, mengepung rapat Sabra-Shatila. Sebegitu rapat kepungan itu, hingga bahkan seekor kucing tak bisa lewat.
Sementara itu, di luar Sabra-Shatila, wilayah Beirut sedang dihujani bom. Pesawat-pesawat Israel menjatuhkan bom yang menghancurkan apa pun yang ada di bawah, sementara tank-tank mereka meluluhlantakkan bangunan demi bangunan yang dilewati. Selama seharian kemudian, Beirut seperti menikmati pesta kembang api, namun dalam skala raksasa, dengan bangunan-bangunan yang hancur, dengan bumi yang retak dan terbelah, dengan mayat-mayat bergelimpangan, dengan cecerah darah di mana-mana.
Tidak jauh dari kamp Sabra-Shatila, berdiri Rumah Sakit Akka, yang menjadi tempat merawat orang-orang sakit dan terluka. Ketika pasukan Israel kehabisan tempat untuk dihancurkan, mereka mendekati rumah sakit itu, dan kembali menjatuhkan bom. Orang-orang di rumah sakit berlarian ke sana kemari, mencari tempat perlindungan, termasuk berlari menuju ke arah kamp-kamp pengungsi.
Seiring dengan itu, pasukan Israel yang ada di darat mulai menyerbu ke dalam Rumah Sakit Akka, dan menembaki para perawat, dokter, juga seluruh pasien yang masih tertinggal di sana. Wanita-wanita di tempat itu diperkosa, lalu dibunuh. Sementara orang-orang yang telah keluar dari rumah sakit diburu menggunakan tank, ditembaki dengan meriam.
Itu menjadi hari yang panjang di Lebanon, dan hari paling mengerikan di Beirut.
Malam harinya, suara bom dan dentum meriam mulai reda, namun rentetan tembakan senapan masih terdengar, bahkan sepanjang malam. Langit di atas kamp Sabra-Shatila terang benderang oleh peluru-peluru suar yang ditembakkan oleh tank dan helikopter Israel. Menjelang pagi, raungan pesawat tempur kembali terdengar, disusul suara ledakan keras di sana-sini. Sejak itu, rentetan tembakan tidak pernah berhenti.
Pagi menjelang siang, pasukan Israel bergerak memasuki rumah-rumah dan gang-gang yang tersebar di Beirut, sambil menembakkan senjata seperti orang-orang mabuk. Mereka melemparkan granat dan dinamit ke pintu-pintu dan jendela-jendela rumah yang ditinggali orang-orang. Seiring dengan itu, pasukan yang semula mengepung rapat Sabra-Shatila mulai mendekati tempat persembunyian orang-orang Palestina.
Dan tragedi mengerikan itu pun dimulai.
Di kamp pengungsian, di Sabra-Shatila, pasukan Yahudi Israel dengan buas membunuh dan menyiksa orang-orang, memperkosa para wanita, meremukkan tulang-tulang bayi, membakar anak-anak, dan membunuh... membunuh... membunuh....
Sejarah mencatat, pembantaian di Sabra-Shatila menjadi genosida paling berdarah sepanjang peradaban manusia modern. Hanya dalam waktu tiga hari, sebanyak 3.297 orang Palestina—mayoritas para wanita dan anak kecil, hingga bayi-bayi—menemui ajal dengan cara mengerikan.
....
....
Sebagai manusia beradab, kita tentu bertanya-tanya, bagaimana manusia bisa melakukan kekejian semacam itu? Bagaimana manusia bisa membunuh dan menyiksa dan memperkosa orang-orang yang tak melakukan kesalahan apa pun pada mereka? Lebih spesifik, bagaimana bisa orang-orang Israel melakukan kebiadaban, kekejaman, dan kekejian tak berperikemanusiaan kepada orang-orang Palestina?
Untuk mendapat jawaban atas pertanyaan itu, kita bisa bertanya kepada Ilan Pappé, seorang Yahudi yang dijuluki “Orang Israel yang paling dibenci di Israel”.
Ilan Pappé adalah sejarawan Yahudi, yang memilih mendengarkan hati nurani daripada mendengarkan doktrin-doktrin Yahudi. Karena hati nurani pula, dia tidak takut membongkar dan mengobrak-abrik ketololan doktrin serta mitos-mitos yang dipuja kaumnya sendiri.
Ketika ditanya mengapa orang-orang Israel bisa melakukan kekejaman dan kekejian luar biasa terhadap orang-orang Palestina, Ilan Pappé menyatakan, “Ini adalah buah dari proses panjang pengajaran paham, indoktrinasi, yang dimulai sejak usia kanak-kanak—semua anak Yahudi di Israel dididik dengan cara ini. Anda tidak dapat menumbangkan sikap yang ditanamkan di sana dengan mesin indoktrinasi yang kuat, yaitu menciptakan sebuah persepsi rasis tentang orang lain, yang digambarkan sebagai primitif, hampir tidak pernah ada, dan penuh kebencian. Anak-anak Yahudi diberi penjelasan sejak kecil, bahwa orang-orang di luar kaum mereka (Palestina) adalah primitif, Islam, anti-Semit, bukan sebagai orang-orang yang telah mereka rampas tanahnya.”
Jadi, kita tahu bahwa Yahudi merampas tanah milik Palestina, sehingga orang-orang Palestina melawan perampasan tersebut, dan itulah asal mula perang abadi antara Israel dan Palestina. Tapi orang-orang Yahudi tidak tahu fakta itu, karena sejak kecil mereka telah dibutakan oleh doktrinasi, bahwa mereka (orang-orang Yahudi) telah ditakdirkan untuk hidup di tanah yang dijanjikan Tuhan. Bukan mereka yang merampas, kata Yahudi, tapi mereka hanya memenuhi keinginan Tuhan. Kalau orang-orang Palestina tidak terima kenyataan itu, persetan dengan mereka!
Doktrinasi itu tertanam kuat dalam benak setiap anak Yahudi, hingga kemudian mereka tumbuh dewasa. Ayat-ayat Talmud menjadi satu-satunya “pedoman moral” bagi mereka. Yang paling utama adalah doktrinasi bahwa hanya bangsa Yahudi yang manusia, sedangkan orang-orang lain (di luar mereka) adalah hewan. Para orang tua Yahudi telah menanamkan doktrin itu pada anak-anak mereka.
Dan jika orang tua di rumah, guru-guru di sekolah, serta orang-orang dewasa di sekitar mereka mengatakan hal yang sama, bagaimana mungkin anak-anak itu akan punya keberanian untuk berpikir lain...?
Tidak ada bayi yang dilahirkan untuk menjadi pembenci, pembunuh, pemerkosa, atau pun menjadi manusia rasis. Orang-orang dewasalah yang membentuk mereka hingga seperti itu. Anak-anak Yahudi bisa menjadi contoh paling gamblang. Betapa doktrinasi—apa pun isinya—bisa mengubah manusia menjadi apa pun yang dikehendaki, termasuk menjadi pembunuh, pemerkosa, dan iblis keji.
Ary Syerabi, seorang mantan perwira dari Satuan Anti Teror Israel, pernah penasaran memikirkan apa yang sekiranya dipikirkan anak-anak Yahudi terhadap anak-anak sebaya mereka di Palestina. Ketika bergabung dengan London Institute for Economic Studies, dia melakukan survei terhadap 84 anak-anak Israel usia sekolah dasar, untuk menjawab rasa penasarannya.
Waktu itu, Ary Syerabi menemui anak-anak Yahudi, dan memberikan selembar kertas serta pensil, lalu mengatakan pada mereka, “Tulislah surat buat anak-anak Palestina. Nanti surat itu akan kami sampaikan pada mereka.” (Tentu saja Ary Syerabi tidak bermaksud mengirimkan surat-surat mereka.)
Anak-anak kecil Yahudi itu pun menulis surat untuk anak-anak sebaya mereka di Palestina. Mereka benar-benar percaya surat yang mereka tulis akan dikirimkan buat anak-anak Palestina. Dan bisakah kita membayangkan isinya? Anak-anak itu tidak menulis dengan pikiran polos seperti umumnya anak-anak, melainkan dengan prasangka dan kebencian, padahal mereka sama sekali tidak mengenal anak-anak Palestina yang akan mereka kirimi surat.
Salah satu anak perempuan Yahudi, berusia 8 tahun, menulis suratnya dengan kalimat ini, “Sharon (maksudnya Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel) akan membunuh kalian dan semua penduduk kampung… dan membakar jari-jari kalian dengan api. Keluarlah dari dekat rumah kami, hei monyet betina. Kenapa kalian tidak kembali ke (tempat) kalian datang? Kenapa kalian mau mencuri tanah dan rumah kami? Saya mempersembahkan untukmu gambar (ini) supaya kamu tahu apa yang akan dilakukan Sharon pada kalian… ha… ha… ha...” Anak perempuan Israel itu menggambar sosok Ariel Sharon, dengan tangan menenteng kepala anak perempuan Palestina yang meneteskan darah.
Kita lihat...? Bahkan seorang anak perempuan berusia 8 tahun telah mampu berpikir keji seperti itu. Apa yang mampu mengubah seorang anak tak berdosa hingga memiliki pikiran yang sedemikian keji? Doktrinasi!
Sekali lagi, orang-orang Yahudi Israel tidak menyadari bahwa merekalah yang telah merampas tanah milik orang-orang Palestina. Sebaliknya, mereka meyakini orang-orang Palestina menempati tanah milik bangsa Yahudi, dan kini mereka berusaha mengusir orang-orang Palestina dari sana.
Dunia—dan kita semua—menyaksikan bahwa kenyataan yang terjadi tidak seperti yang diyakini orang-orang Yahudi. Tetapi dunia—dan kita semua—juga tahu, kenyataan dan fakta paling jelas sekali pun, sering kali harus tunduk di bawah tirani doktrinasi.