Selasa, 05 September 2017

Pusing Mikir Salamah

Kitaro mungkin wali.
@noffret


Pada 7 April 2011, Kitaro konser di Plenary Hall, JCC, Senayan. Sejak pertama kali mendengar Kitaro akan konser di Jakarta, saya sudah siap-siap untuk menonton. Tidak setiap saat Kitaro konser di Indonesia, jadi saya pun bergairah sekali waktu itu.

Tetapi, sayang sekali, dua hari sebelum hari H, saya meriang parah. Pada 7 April, saat Kitaro benar-benar datang ke Jakarta dan konser di JCC, saya terkapar di tempat tidur. Tak perlu dikatakan, nyeselnya sampai ke tulang sumsum.

Sampai berhari-hari sejak itu, saya tetap sedih dan menyesal, meski kondisi fisik mulai membaik. Ketika saya akhirnya kembali sehat, Kitaro sudah kembali ke Jepang—atau ke Amerika.

Penyesalan akibat peristiwa itu lama membekas di benak saya. Kitaro adalah segelintir musisi yang saya puja, sejak ABG sampai dewasa kini. Mendengarkan musiknya lewat CD saja, bisa membuat saya eargasme. Karenanya, batal nonton konsernya benar-benar membuat saya sedih setengah mati.

Well, sekitar dua bulan setelah Kitaro konser di Jakarta, ada teman yang mengabari kalau konser itu direkam dan diedarkan dalam bentuk VCD. Mendengar kabar itu, saya langsung pergi ke toko musik, untuk mencari VCD konser Kitaro. Pikir saya, biarlah tidak menonton konsernya, asal bisa melihat rekamannya.

Saya datang ke sebuah toko musik yang menyediakan CD dan VCD. Ketika saya masuk ke sana, si penjual sedang melayani seorang pembeli yang sepertinya sedang mencari CD lagu dangdut. Waktu itu, musik yang sedang dicoba/disetel adalah lagu dangdut Caca Handika, berjudul Undangan Palsu.

Karena yang melayani di toko cuma satu orang, saya pun berdiri di sana, menunggu, sambil melihat-lihat. Sambil menunggu, mau tak mau saya ikut mendengar lagu yang sedang disetel—Undangan Palsu-nya Caca Handika. Mungkin karena lagunya enak, liriknya “terjebak” di telinga saya, dan tak mau keluar. Berikut ini lirik lengkap lagu tersebut.

Kalau saja aku tahu
Salamah itu namamu
Tak mungkin aku hadiri
Pesta perkawinan ini

Engkau kirimkan surat undangan
Kau tulis nama palsu belaka
Semula aku tiada percaya
Dirimu tega khianat cinta

Kado yang kubawa ini
Tak kuasa aku berikan
Karena aku kecewa
Engkau binasakan cinta

Mengapa tega kau mengundangku
Atau kau sengaja menyakitiku
Sungguh hatimu tiada peduli
Kau anggap diriku tak punya hati


Berjuta sesal dalam hatiku
Mengenang nama dan cinta palsu


Setelah lirik itu terjebak masuk ke memori, saya sulit melupakan. Ada istilah ilmiah untuk menyebut fenomena semacam itu, yakni earworms. Earworms adalah kondisi ketika sebuah lagu terjebak masuk ke kepala seseorang, hingga mengisi suatu celah di dalam otak. Itulah yang saya alami.

Ketika lagu tersebut diputar di sana—di toko musik yang saya datangi—lagu itu masuk ke kepala saya, hingga saya sulit lupa. Susahnya, lagu itu bahkan menghantui saya sangat lama. Sebenarnya, bahkan sampai hari ini, hingga saya terpaksa menulis catatan ini.

Yang menjadikan saya sulit melupakan lagu itu, karena tampaknya ada yang sangat janggal pada lagu tersebut. Ada sesuatu yang tidak match, dan membingungkan, hingga saya terus memikirkannya. Perhatikan dua bait lagu ini.

Kalau saja aku tahu
Salamah itu namamu
Tak mungkin aku hadiri
Pesta perkawinan ini

Engkau kirimkan surat undangan
Kau tulis nama palsu belaka
Semula aku tiada percaya
Dirimu tega khianat cinta


Apakah lirik itu terdengar baik-baik saja? Memang. Tapi ada masalah yang sangat membingungkan dari lirik-lirik lagu tersebut.

Kalau saya tidak salah tangkap, lagu itu menceritakan Caca Handika (si penyanyi) mendapat undangan perkawinan dari seorang wanita. Di undangan, tertulis bahwa si mempelai wanita bernama Salamah. Lalu Caca Handika mendatangi undangan itu, dan menyadari bahwa ternyata Salamah adalah wanita yang dikenal Caca Handika dengan nama lain.

Ada kemungkinan, sebelumnya Caca Handika telah berkenalan dengan seorang wanita (dengan nama lain), lalu mereka menjalin cinta. Suatu hari, tiba-tiba, si wanita menikah dengan lelaki lain, dan dia mengirimkan undangan perkawinan pada Caca Handika. Di dalam undangan, tertulis nama asli si wanita, yaitu Salamah.

Tanpa prasangka, Caca Handika datang ke resepsi perkawinan, dan menyadari bahwa Salamah adalah wanita yang semula menjalin cinta dengannya. Karena itulah Caca Handika menyesal, sebagaimana tampak dalam lirik berikut, “Kalau saja aku tahu, Salamah itu namamu. Tak mungkin aku hadiri pesta perkawinan ini.”

Pertanyaannya, mengapa Caca Handika mendatangi pesta perkawinan tersebut?

Maksud saya begini. Ketika Caca Handika mendapatkan undangan perkawinan, dan di dalamnya terdapat nama Salamah sebagai mempelai wanita, tentunya Caca Handika tidak mengenali nama itu, kan? Kenapa dia tidak heran atau bertanya-tanya siapakah Salamah yang tertulis dalam undangan?

Pertanyaan itu patut diajukan, karena Caca Handika tampaknya sangat pede saat mendatangi pesta perkawinan, hingga menyiapkan kado untuk si pengantin. Hal itu diterangkan di bagian lirik berikut, “Kado yang kubawa ini, tak kuasa aku berikan. Karena aku kecewa, engkau binasakan cinta.”

Jadi—sekali lagi, kalau saya tidak salah tangkap—suatu hari Caca Handika mendapat undangan resepsi perkawinan, dari seorang wanita bernama Salamah. Caca Handika tidak tahu siapa Salamah. Tapi dia mendatangi pesta perkawinan itu, dan menyiapkan kado untuk Salamah, si mempelai wanita. Dari kenyataan itu, kita bisa menarik dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, Caca Handika mungkin berpikir, bahwa Salamah adalah temannya di masa lalu (misal kawan SD), yang mungkin telah terlupa dari ingatannya. Lalu Salamah si kawan SD ini menikah, dan mengundang Caca Handika. Jadi, sebagai kawan lama, Caca Handika pun mendatangi pesta perkawinan Salamah, sembari tak lupa menyiapkan kado. Setelah sampai di sana, eh... ternyata Salamah adalah wanita yang tempo hari menjalin cinta dengannya.

Kemungkinan kedua, Caca Handika sama sekali tidak tahu siapa Salamah. Jadi, ketika mendapatkan undangan pesta perkawinan yang di dalamnya terdapat nama Salamah, Caca Handika benar-benar blank, tidak tahu siapa Salamah. Tapi dia tetap datang ke acara perkawinan itu, bahkan menyiapkan kado untuk Salamah. Dalam hal ini, kita bisa mengasumsikan Caca Handika adalah lelaki saleh nan baik hati, yang tetap mendatangi undangan meski tidak mengenal si pengundang.

Dua kemungkinan itu tampaknya match untuk menjadi latar belakang kedatangan Caca Handika ke pesta perkawinan Salamah, yang ternyata adalah pacarnya sendiri. Tetapi, persoalan ini pun belum selesai. Karena, pada bait kedua lagu Undangan Palsu, terdapat kalimat berikut:

Engkau kirimkan surat undangan
Kau tulis nama palsu belaka
Semula aku tiada percaya
Dirimu tega khianat cinta


Perhatikan kalimat ini, “Engkau kirimkan surat undangan, kau tulis nama palsu belaka.”

Jadi, sebenarnya, Salamah itu nama asli atau nama palsu? Jika Salamah adalah nama asli, kenapa Caca Handika mengatakan, “Kau tulis nama palsu belaka”? Sebaliknya, kalau Salamah adalah nama palsu, kenapa nama itu bisa tertulis di undangan perkawinan? Di atas semua itu, sebenarnya nama yang mana yang dikenali Caca Handika terkait wanita tersebut? Salamah, atau nama lain?

Sejak tahun 2011 sampai sekarang, saya terus pusing memikirkan hal tersebut, dan tetap belum mampu menemukan jawaban yang masuk akal. Sepertinya saya layak mendapat Nobel untuk kerja keras pemikiran ini.

Well, saya mau cerita Kitaro, tapi malah melantur ke Salamah. Balik lagi ke topik awal, soal Kitaro. Urusan Salamah sepertinya terlalu berat bagi otak saya yang cetek ini. Semoga saja Stephen Hawking menemukan kasus ini, dan menyadari dia harus ikut memikirkannya.

Setelah menunggu cukup lama di toko musik, dan setelah si pembeli CD Caca Handika tadi menyelesaikan transaksi pembelian, saya pun bertanya pada si penjual di toko, “Ada VCD Kitaro?”

Si penjual memandangi saya dengan tatapan bingung. “Apa, Mas?”

“Kitaro,” ulang saya. “Saya lagi nyari VCD konser Kitaro. Ada?”

Masih dengan muka bingung, si penjual bertanya, “Uhm... Kitaro itu apa?”

Saya mimisan.

 
;