Salah satu kenikmatan hidup adalah menikmati makanan
yang benar-benar kita suka. Kebalikannya adalah siksa.
—@noffret
yang benar-benar kita suka. Kebalikannya adalah siksa.
—@noffret
Di mana-mana ada restoran atau rumah makan mewah, yang biasa didatangi kalangan atas, termasuk para selebritas. Di dekat tempat tinggal saya juga ada rumah makan semacam itu, bahkan pernah menjadi langganan saya untuk makan malam. Tidak perlu saya sebutkan namanya. Yang jelas, rumah makan itu menyediakan masakan Indonesia, dan karena itu pula saya cocok makan di sana.
Ada banyak menu yang disediakan rumah makan tersebut, dan nyaris semuanya saya suka. Karena ditujukan untuk kalangan atas, harga makanan di sana pun tergolong mahal. Satu kali makan di sana menghabiskan biaya yang setara dengan uang jajan saya satu bulan di SMA. Karenanya, meski telah mengetahui rumah makan itu sejak SMA, dulu saya tidak pernah berani masuk ke sana.
Kini, setelah punya cukup uang untuk makan enak, saya mulai masuk ke sana. Belakangan, karena cocok dengan masakannya, saya sering ke sana untuk makan malam. Bahkan, ada periode ketika saya setiap malam makan di sana, karena penasaran dengan semua menu yang disediakan. Jadi, malam ini saya makan nasi tomat, besok menikmati sate, dan begitu seterusnya, sampai semua yang ada di buku menu telah saya coba.
Selain makanannya sangat enak, rumah makan itu juga sangat nyaman. Luas, bersih, dan hening. Biasanya, saya duduk sendirian di satu meja, lalu menikmati makanan yang saya pesan. Apa pun yang saya makan, semuanya enak, dan selalu pas dengan selera saya. Oh, well, bahkan tehnya pun enak! Seusai makan, sambil menikmati kenyang yang begitu nikmat, saya menyulut rokok, menikmati keheningan di sana, dan berpikir betapa hidup ini indah.
Mungkin sekitar tiga tahun saya menjadi pelanggan rumah makan tersebut, setiap malam datang ke sana, menikmati makan malam yang sangat nikmat terus menerus. Semula, saya pikir, kenikmatan itu akan berlangsung selamanya. Maksud saya, semua makanan enak yang setiap malam saya nikmati itu akan terus enak, hingga saya akan terus makan di sana. Ternyata tidak. Pada satu titik tertentu—dan ini sungguh mengejutkan—saya bosan makan di sana.
Mungkin terdengar berlebihan, bahwa sekian tahun lalu—saat masih remaja—saya tidak berani masuk rumah makan tersebut, karena ketiadaan uang. Sekarang, saya bisa makan di sana setiap malam, dan sekarang sudah bosan! Karenanya, itu mengejutkan, bahkan bagi diri saya sendiri.
Saya benar-benar terkejut ketika mulai menyadari tidak lagi berminat makan di sana. Bukan karena kekurangan uang, tapi karena kehilangan selera. Semua yang semula sangat nikmat, kini terasa biasa saja. Menu makanan yang semula mampu menerbitkan liur, kini terasa hambar. Yang semula sangat nikmat di lidah, hingga saya menggilai, kini terasa biasa. Puncaknya, saya tidak lagi datang ke sana.
Setelah bosan makan di tempat itu, apakah saya mencari tempat makan yang lebih mewah dan lebih mahal? Tidak! Rumah makan yang saya ceritakan itu paling mahal yang bisa saya temukan. Jadi, saya akan kesulitan jika ingin mencari yang lebih mewah lagi. Karenanya, ketika akhirnya bosan makan di sana, saya mencari makan di warung kaki lima!
Sebenarnya, saya tidak peduli makan di tempat mewah atau di kaki lima. Saya bisa makan di mana pun—asal nasinya cocok. Yaitu nasi yang ditanak secara tradisional (bukan dibuat menggunakan rice cooker), dan butir-butir nasinya saling terpisah serta tidak lengket. Asal nasinya memenuhi standar itu, saya bisa makan di mana pun, dengan lauk apa pun.
Meski persyaratan yang saya ajukan bisa dibilang sederhana, tapi mencari nasi yang memenuhi kualifikasi itu bisa dibilang sangat sulit. Ada banyak warung makan—dari kaki lima sampai bintang lima—yang menyediakan nasi “tidak akademis”, yaitu nasi yang menggumpal, serta lengket di tangan. Saya tidak bisa makan nasi semacam itu, tak peduli seenak dan semewah apa pun lauknya.
Karena latar belakang itu pula, saya agak kesulitan menemukan tempat makan yang cocok. Sering kali, nasi yang disuguhkan tidak memenuhi “standar akademis”, sehingga saya tidak doyan. Saya bahkan pernah tanpa sengaja masuk warung makan yang menyediakan soto, bersama bocah ini, ketika suatu malam kami sedang bersama. Nasi dan soto disuguhkan dalam wadah tersendiri. Ketika melihat nasinya—yang tampak menggumpal—saya mengernyit, dan berkata, “Itu nasi apa lem Glukol?”
Dia cekikikan. Tapi tetap bisa menikmati makanannya—nasi yang mirip lem Glukol itu. Sementara saya hanya menghabiskan soto di mangkuk, dan tidak sedikit pun menyentuh nasi.
Jadi, dalam urusan makan, saya sering kelayapan untuk menemukan tempat yang cocok—yang menyediakan nasi dengan “standar akademis”, sesuai selera saya—dan biasanya menjadi pelanggan di sana, ketika merasa cocok. Dalam upaya pencarian itulah, saya pernah menjadi pelanggan di beberapa rumah makan, di beberapa restoran, di beberapa warung kali lima, di beberapa angkringan, dan semuanya mencapai titik yang sama.
Bosan.
Tak peduli ke mana pun saya mencari, ujungnya adalah bosan. Tak peduli semula sangat menggilai, hasil akhirnya tetap kebosanan. Tak peduli seenak dan senikmat apa pun awalnya, rasa bosan selalu menjadi penutup.
Rasa bosan, bagi saya, adalah puncak kenikmatan—ketika kita tidak bisa lagi menggapai puncak yang lebih tinggi, karena nyatanya kita sudah sampai di puncak. Ironisnya, yang ada di puncak justru rasa bosan. Kenikmatan yang paling nikmat sekali pun, tetap sampai di sana. Di puncak. Pada kebosanan.
Makanan mewah, yang semula membuat kita bahagia saat menikmati, akhirnya sampai pada bosan. Masakan paling lezat, yang membuat kita mendadak lapar setiap kali melihat, akhirnya sampai pada bosan. Bahkan menu paling enak, yang semula kita puji setinggi langit, akhirnya tetap sampai pada bosan. Ketika kenikmatan telah tiba di puncak, kebosanan menunggu.
Kenyataannya memang tak ada yang abadi di dunia fana, termasuk kenikmatan makanan. Semuanya temporer—hanya menunggu waktu untuk sampai pada titik ketika kita tak lagi bisa mengelak dari rasa bosan. Lalu yang nikmat terasa hambar, yang istimewa terasa biasa.
Untung, dalam hal ini, kebosanan yang saya alami sekadar makanan. Namanya makanan, kita tentu boleh gonta-ganti seenaknya, dan tidak ada yang melarang. Asal merasa cocok, kita bisa menikmati suatu makanan sampai beberapa lama, lalu mencari makanan lain ketika mulai bosan. Begitu pula yang kadang saya lakukan.
Seperti rumah makan mewah yang pernah menjadi tempat saya makan setiap malam. Setelah sangat lama tidak datang ke sana, kadang timbul rasa kangen untuk kembali menikmati makanan di sana. Lalu saya pun datang dan kembali makan di sana. Tentu saja makanan itu masih memiliki kenikmatan yang sama, seperti yang dulu saya kenali pertama kali. Namun, kali ini, saya merasakannya biasa saja. Meski begitu, setidaknya, saya masih bergairah menyantap, karena sudah lama tidak makan di sana.
Lalu, di hari lain, saya mengunjungi tempat makan lain yang pernah menjadi langganan serupa. Mengenali kenikmatan yang dulu pernah memikat saya, mengunyahnya kembali, dan begitu seterusnya. Sekadar urusan makan, saya punya hak dan kebebasan untuk pindah-pindah makan di mana pun, dan tidak ada yang melarang.
Dalam hal itu, bagaimana pun, saya patut bersyukur, karena tidak ada aturan yang mewajibkan setiap orang harus setia pada satu rumah makan. Pasti akan sangat menyiksa kalau setiap orang harus terikat pada satu rumah makan—seumur hidup—dan tidak boleh makan di tempat lain, tak peduli bosan dan muak sekali pun. Pasti akan menyengsarakan kalau kita harus mengunyah makanan sama, dengan rasa yang makin lama makin hambar, dan kita sudah sampai pada rasa bosan, tapi setiap saat harus memakan hal yang sama.
Memikirkan kenyataan itu, kadang saya merasa getir sendiri. Orang-orang mencari dan memburu kenikmatan, bersedia melakukan apa pun demi kenikmatan, padahal yang ada di puncak kenikmatan justru rasa bosan. Setelah itu terjadi, semua kisah selesai. Apa yang bisa diceritakan dari kebosanan?