Jumat, 15 September 2017

Wajah Buku di Indonesia

Terkait buku, seharusnya pemerintah memberikan subsidi.
Jika tidak bisa, semua pajak terkait buku dan
royalti penulis mestinya dihilangkan.
@noffret


Ini kisah usang dari dunia buku, khususnya di Indonesia, namun saya gatal untuk menuliskannya. Lagi pula, meski usang, persoalan ini masih patut dibicarakan, dipikirkan, dan—kalau bisa—dicarikan jalan keluarnya.

Well, di sebuah pameran buku berskala besar, tanpa sengaja saya masuk ke sebuah stand, dan mendapati tumpukan buku bajakan. Sebagian buku yang dibajak adalah karya penulis Indonesia, sebagian lagi buku terjemahan.

Semula, saya tidak tahu buku-buku yang saya dapati waktu itu bajakan. Di pameran buku, seperti biasa, saya masuk dari stand ke stand sebelahnya, dan terus begitu, hingga saya benar-benar “mengkhatamkan” semua stand yang ada di area pameran. Tujuannya, tentu saja, mencari buku-buku bagus. Dalam aktivitas itulah, tanpa sengaja saya masuk ke stand yang menjajakan buku-buku bajakan.

Seperti di stand-stand lain, stand berisi buku bajakan itu sekilas tampak biasa. Layaknya pemeran buku, stand itu menyediakan aneka buku—sebagian dipajang di rak, sebagian lain ditumpuk di meja dan di lantai. Stand itu sangat ramai, orang berjubel, hingga saya makin penasaran. Saya masuk, dan mendekati buku-buku di sana. Begitu menyentuhnya, saya segera sadar itu buku-buku bajakan.

Sekilas, buku-buku bajakan itu sangat mirip yang asli (buku resmi). Dengan sampul yang persis, dengan tingkat ketebalan nyaris persis, dilengkapi shrink (plastik tipis bening) yang membungkus buku dengan cantik. Orang awam—maksudnya bukan kutu buku—kemungkinan tidak menyadari itu buku bajakan.

Karena bajakan, harga buku-buku di stand itu pun lebih murah dibanding harga buku resmi—selisihnya sekitar 40 persen. Itu, tentu saja, menarik banyak orang untuk membeli. Hitungan mudahnya, kau menghabiskan 1 juta untuk membeli buku resmi, tapi hanya perlu mengeluarkan 600 ribu jika membeli versi bajakan. Ada selisih 400 ribu. Bayangkan kalau, misalnya, kau biasa menghabiskan 10 juta rupiah setiap kali ke pameran buku. Selisihnya sampai 4 juta!

Jika diperhatikan, kualitas cetakan buku-buku bajakan—setidaknya yang saya dapati di pameran—tidak sebaik buku resmi. Sampulnya memang persis, tapi kualitas warnanya tidak secemerlang buku asli. Lembar-lembar kertas yang digunakan juga berkualitas rendah, dengan permukaan kasar. Kemudian, cetakan tulisan di lembar-lembar buku juga sangat buruk, tidak serapi dan sejernih buku asli. Yeah, namanya juga buku bajakan!

Pameran buku tentu saja ditujukan untuk para pembaca dan pencinta buku. Fakta bahwa stand yang menyediakan buku-buku bajakan ramai dikerubuti orang, menunjukkan bahwa mereka—pembeli buku—tetap memilih yang murah, meski bajakan. Dalih yang mudah, “Yang penting bisa dibaca.”

Dalam hal ini, semata-mata hanya moral yang mampu menahan saya untuk tidak membeli buku bajakan di sana. Kalau mau menuruti nafsu, saya sudah membawa pikap ke sana!

Jujur saja, di stand buku bajakan itu ada banyak buku bagus, yang membuat saya gatal ingin membeli. Ditunjang harga yang murah—hampir setengah dari harga resmi—bagaimana saya tidak tergiur? Karenanya, sekali lagi, kalau semata menuruti nafsu, saya sudah memborong semua buku yang ada di sana, dan harus mengangkutnya dengan pikap untuk membawanya ke rumah.

Tetapi, bagaimana pun, saya penulis yang menghasilkan buku. Saya tidak mungkin mencederai kenyataan itu, karena... bagaimana kira-kira perasaan saya, jika buku karya sayalah yang dibajak dan diperjualbelikan?

Orang membeli buku bajakan, karena tidak menyadari yang saya sadari. Mereka hanya ingin membaca, dan persetan dengan penulisnya! Juga persetan dengan penerbitnya! Oh, ya, dan persetan dengan pemerintah!

Orang-orang awam, khususnya yang bukan penulis, tidak tahu bagaimana beratnya menjadi penulis, juga tidak tahu bagaimana rumitnya belitan yang terjadi pada buku-buku yang mereka beli, sehingga harganya lebih mahal dibanding buku bajakan. Untuk setiap satu buku yang terpajang di rak toko, ada banyak kepentingan di dalamnya, yang meliputi kepentingan penulis, kepentingan penerbit, kepentingan toko buku, kepentingan distributor, sampai kepentingan pemerintah. Aneka kepentingan itulah yang menjadikan harga buku di Indonesia tergolong mahal.

Saat kita membeli sebuah buku resmi (bukan bajakan), uang yang kita bayarkan sebenarnya dibagi untuk pihak-pihak tadi, dengan persentase berbeda-beda. Ironisnya, yang mendapat persentase paling kecil justru penulis, pihak yang paling memungkinkan buku itu bisa ada.

Dalam harga setiap buku, ada jatah sekian persen untuk penulis, sekian persen untuk penerbit, sekian persen untuk distributor, sekian persen untuk toko buku, dan—tentu saja—sekian persen untuk pemerintah. Iya, pemerintah yang itu!

Pihak yang paling banyak mendapatkan jatah persentase dari harga buku, biasanya, distributor dan toko buku. Setidaknya, rata-rata jatah persentase mereka lebih besar dibanding yang diperoleh penerbit dan penulis. Tetapi, dua pihak itu—distributor dan toko buku—masih kalah dari jatah yang diperoleh pemerintah.

Bayangkan, pemerintah menarik pajak untuk kertas (bahan baku buku), menarik pajak usaha (dari penerbit), menarik pajak penjualan (dari pembeli), dan menarik pajak royalti (dari penulis). Omong-omong, rata-rata royalti penulis adalah 10 persen dari harga buku. Tetapi pajak yang ditarik pemerintah dari royalti penulis mencapai 15 persen! Itu piye, kalau dipikir-pikir?

Saya ulangi, rata-rata royalti yang diperoleh penulis dari buku karyanya hanya 10 persen. Tapi pemerintah menarik pajak royalti dari penulis dengan besaran 15 persen. Dalam hal ini, pemerintah bahkan memberlakukan pajak progresif—semakin besar royaltimu, semakin besar pula pajakmu. Tere Liye, misalnya, harus membayar pajak sekitar 250 juta rupiah untuk setiap 1 miliar royalti yang didapatkannya. Pantas kalau dia ngamuk-ngamuk!

Jadi, latar belakang itulah yang menjadikan harga buku di Indonesia tergolong mahal, khususnya untuk ukuran daya beli masyarakat kita. Bagaimana pun, diakui atau tidak, masih banyak orang yang “eman-eman” mengeluarkan uang untuk membeli buku. Pertama karena mereka memang bukan pencinta buku, dan kedua karena harga buku relatif mahal. Faktor pertama mungkin bisa diatasi dengan edukasi, tapi faktor kedua membutuhkan kesadaran pemerintah untuk mendukung edukasi.

Sayangnya, dalam hal ini, pemerintah tampaknya tidak sadar, atau tidak peduli. Meski menyadari minat baca—dan minat membeli buku—orang Indonesia tergolong rendah sekali, pemerintah tidak peduli. Nyatanya mereka masih aktif memungut aneka pajak untuk setiap buku yang terbit. Kalau pemerintah memang peduli, dan menginginkan minat baca orang Indonesia meningkat, mestinya mereka ikut memikirkan kebijakan yang mendukung ke arah itu. Salah satu yang mudah dilakukan, tentu saja, memangkas aneka pajak buku!

Memang, buku adalah bagian dari komoditas, dan penerbit juga bukan yayasan amal. Bagaimana pun, buku adalah bagian dari industri, dan karena itu pemerintah memungut pajak sebagaimana pada bisnis lain. Tetapi, Indonesia belum menjadi negara maju yang masyarakatnya melek literasi dan menganggap buku sebagai kebutuhan. Mungkin, jika Indonesia sudah menjadi negara maju, dan buku telah menjadi kebutuhan primer, “aturan konvensional” terkait bisnis buku bisa diterapkan layaknya negara maju.

Saya pikir, PR terbesar negeri ini sesungguhnya bukan bagaimana menarik pajak sebanyak-banyaknya dari buku yang terbit, tapi bagaimana menarik orang sebanyak-banyaknya agar membeli dan membaca buku.

Kegiatan membaca buku (dan membeli buku) belum menjadi budaya banyak orang di Indonesia, tingkat minat baca sangat rendah, penjualan buku masih memprihatinkan, nasib penulis buku juga setali tiga uang. Jika dalam kondisi semacam itu pemerintah menutup mata, dan masih tega membelit buku dengan aneka pajak, maka harapan minat baca yang tinggi hanyalah mimpi. Masyarakat akan tetap lebih memikirkan besok makan apa, daripada besok membaca buku apa.

Riset UNESCO menyebutkan, minat baca Indonesia hanya di kisaran angka 0,001. Artinya, dari 1.000 orang hanya satu yang punya minat membaca secara serius. Sekali lagi, satu banding seribu! Sementara survei Most Literated Nation in The World menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara, soal minat baca warganya. Dalam survei itu, peringkat Indonesia hanya lebih baik dari Botswana.

Melihat kondisi masyarakat Indonesia, dan rendahnya minat baca di negeri ini, mestinya pemerintah justru perlu turun tangan, ikut memikirkan bagaimana cara agar masyarakat mencintai buku, agar minat baca meningkat, agar melek literasi menjadi budaya. Idealnya, alih-alih menarik pajak, pemerintah memberi subsidi untuk buku, agar harga buku bisa ditekan serendah mungkin, agar masyarakat tidak “eman-eman” mengeluarkan uang untuk buku, agar penulis dan penerbit bisa terus produktif menghasilkan buku.

Namun, kalau memberi subsidi dianggap tidak mungkin, lakukan saja yang mungkin. Seperti menghilangkan pajak terkait buku.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 yang dikeluarkan pada pertengahan Agustus 2015, pemerintah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk beberapa jasa hiburan. Di antaranya tontonan film, diskotik, tempat karaoke, tontonan pagelaran kesenian, tontonan kontes kecantikan, dan tontonan pagelaran busana.

Kalau pemerintah bersedia menghilangkan pajak untuk urusan hiburan—dari diskotik sampai pertunjukan fashion—kenapa pemerintah keberatan melakukan hal sama untuk buku dan literasi?

Diakui atau tidak, mahalnya harga buku di Indonesia tidak semata karena daya beli masyarakat yang rendah, tapi juga karena buku dibelit aneka pajak, dari hulu ke hilir. Dari bahan baku yang menjadi awal terbentuknya buku, sampai tetes terakhir buku berupa royalti penulis, semuanya dicekik pajak. Dengan aturan pajak seketat itu, harga buku menjadi mahal, sementara masyarakat makin enggan mengeluarkan uang untuk membeli buku. Jika yang terjadi terus menerus seperti itu, sampai kiamat pun minat baca orang Indonesia akan tetap rendah.

Terkait hal ini, ternyata yang mengeluhkan soal pajak bukan hanya penulis, tapi juga penerbit. Edi AH Iyubenu, pemilik Penerbit Diva Press, juga ngoceh panjang lebar menumpahkan kekesalannya terkait pajak, dan kalian bisa membacanya di sini: Tafsir Semena-mena Para Petugas Pajak terhadap Buku. Catatan tersebut penting dibaca, karena memberi sudut pandang lain mengenai dunia perpajakan Indonesia, khususnya terkait industri buku.

Mengingat minat baca dan minat membeli buku di Indonesia masih sangat rendah, berapa banyak sih pajak buku yang bisa ditarik pemerintah? Tidak terlalu banyak. Setidaknya, jumlahnya tidak sebanyak yang mungkin bisa ditarik pemerintah dari bisnis-bisnis lain yang murni bisnis.

Kenapa pajak dari industri buku yang tak seberapa itu tidak diikhlaskan saja, untuk mencerdaskan rakyat Indonesia? Itu jauh lebih realistis, daripada gembar-gembor agar meningkatkan minat baca, tapi tidak mau melakukan apa-apa.

Sebagai penulis, sebagai pembaca buku, dan sebagai rakyat Indonesia, hanya satu itu yang saya harapkan dari pemerintah, terkait upaya meningkatkan minat baca (dan minat membeli buku). Hapuskan pajak buku! Karena, saya pikir, itulah tugas pemerintah, sementara tugas yang lain bisa ditangani pihak lain.

Bebaskan penerbit dari pajak, bebaskan penulis dari pajak, bebaskan penjualan buku dari pajak. Cukup itu saja, saya pikir harga buku bisa turun drastis, sementara jumlah buku yang terbit akan naik drastis. Persoalan bagaimana meningkatkan minat baca, biarlah diusung bareng-bareng penerbit, penulis, dan pihak lain, toh mereka juga punya kepentingan agar orang-orang membeli dan membaca buku. Pemerintah tidak usah pusing!

Jadi, sekali lagi, cukup hilangkan pajak sialan yang memberatkan itu, dan biarkan kami—rakyat Indonesia—mencintai buku!

 
;