Pernikahan terbaik adalah pernikahan dua orang yang sama-sama menyadari
bahwa pernikahan tidak hanya berisi omong kosong kebahagiaan.
—@noffret
bahwa pernikahan tidak hanya berisi omong kosong kebahagiaan.
—@noffret
Niat menikah adalah niat yang baik, dan menikah adalah melakukan perbuatan yang baik. Kita semua sepakat dengan hal itu. Jika ada yang mengatakan bahwa menikah adalah perbuatan buruk, saya akan menjadi orang pertama yang akan melawannya. Karena saya pun sepakat, dan meyakini, bahwa menikah adalah hal baik. Jika siapa pun memilih menikah, kita tidak bisa melarang apalagi menyalahkan.
Terkait pernikahan, sebenarnya, tidak ada yang buruk, selama orang melakukan dengan niat baik, dengan kesadaran, serta dengan tanggung jawab.
Ada yang menikah dengan sederhana, itu baik. Ada pula yang menikah dengan mewah, juga tidak masalah. Karena masing-masing orang punya selera, pilihan, dan kemampuan berbeda. Ada yang menikah setelah pacaran beberapa tahun, silakan. Ada pula yang menikah dengan orang yang baru dikenal, juga silakan. Ada yang menikah dengan niat agar memiliki keturunan, itu bagus. Ada pula yang menikah namun tidak ingin punya anak, juga tidak apa-apa.
Intinya, menikah adalah hal baik. Bagaimana kau melakukannya, dan bagaimana kau menjalaninya, itu terserah masing-masing, selama pilihan yang diambil dilakukan dengan kesadaran dan tanggung jawab. Menikah adalah soal pilihan, dan siapa pun punya tanggung jawab atas pilihan yang diambil.
Sebagai hal baik, menikah juga akan meluaskan rezeki. Saya ulangi, “meluaskan rezeki”, bukan “melancarkan rezeki”.
Selama ini, ada orang-orang yang suka ngoceh bahwa menikah akan melancarkan rezeki, dan mereka menggunakan iming-iming itu untuk memprovokasi orang-orang lain—yang masih lajang—untuk segera menikah. Ironisnya, yang suka ngoceh seperti itu justru rezekinya tidak lancar, hidupnya kembang kempis, utangnya di mana-mana, saban hari pusing mikir hidup. Melancarkan rezeki apaan?
Jadi, menikah tidak melancarkan rezeki. Yang benar, meluaskan rezeki.
Apa perbedaan “melancarkan rezeki” dan “meluaskan rezeki”? Ketika kita bicara rezeki, setiap kali pula persepsi kita mengarah kepada uang, atau hal-hal yang bersifat kebendaan. Rezeki lancar, artinya uang lancar, pekerjaan lancar, transaksi di rekening juga lancar. Karenanya, ketika kita ngomong “lancar rezeki”, saat itu pula kita membayangkan uang dan urusan keuangan. Padahal, rezeki tidak sebatas dan sesempit itu!
Dalam pernikahan, memiliki pasangan yang baik itu rezeki, bahkan rezeki yang sangat besar. Itu sesuatu yang tidak dimiliki lajang atau orang yang belum menikah. Melalui pernikahan, lingkar persaudaraan kita juga bertambah, karena famili dari pihak pasangan juga menjadi famili kita. Itu pun rezeki, yang lagi-lagi tidak dimiliki orang yang belum menikah. Contoh ini bisa diperluas ke bagian lain, seluas mungkin, yang semuanya bisa menjadi rezeki bagi orang-orang yang telah menikah.
Kemudian, ada pasangan menikah yang punya anak atau beberapa anak. Itu pun jelas rezeki. Memiliki anak yang berasal dari darah daging sendiri, itu rezeki yang teramat besar. Para lajang atau yang belum menikah tidak bisa memiliki karunia atau rezeki semacam itu. Karenanya, anak—sebagaimana pasangan—adalah rezeki yang hanya diperoleh orang-orang yang menikah. Sekali lagi, contoh ini bisa diperluas, yang merupakan bagian rezeki dalam pernikahan.
Setelah menikah, tanggung jawab seseorang biasanya semakin besar. Kesadaran bahwa kita memiliki tanggung jawab, itu pun rezeki, karena perasaan dan kesadaran semacam itu belum tentu dimiliki para lajang, apalagi yang hidupnya mbah-mbuh. Karena kesadaran itu pula, orang yang menikah biasanya berusaha menjalani hidup lebih baik. Sekali lagi, itu pun rezeki.
Di lingkungan masyarakat, orang yang menikah dipandang lebih terhormat daripada orang yang tidak/belum menikah. Untuk kesekian kali, itu pun rezeki!
Jadi, menikah memang meluaskan rezeki, karena menikah memungkinkan orang untuk mendapatkan hal-hal yang tidak bisa didapatkan orang-orang yang tidak/belum menikah. Itulah esensi “rezeki” dalam pernikahan!
Keberadaan pasangan, anak-anak, perasaan memiliki tanggung jawab, upaya menjalani kehidupan lebih baik dan teratur, lingkaran persaudaraan yang makin luas, kehidupan yang terhormat, semua itu rezeki yang diterima orang-orang yang menikah. Karenanya, pengertian rezeki dalam pernikahan, sebenarnya, tidak sesempit yang mungkin dipikirkan banyak orang. Karenanya pula, rezeki yang dimaksud dalam pernikahan bukan sebatas uang!
Jadi, sekali lagi, pernikahan akan “meluaskan rezeki”—sebagaimana yang diuraikan di atas—dan itu masuk akal. Siapa pun akan setuju, dan tidak bisa membantah.
Sebaliknya, jika pernikahan disebut akan “melancarkan rezeki”—dalam hal ini rezeki berbentuk uang—justru tidak masuk akal, dan sangat mudah dibantah! Wong banyak pasangan terjerat kemiskinan, banyak keluarga berkekurangan, rezeki lancar apaan? Sebagian orang bahkan sampai ngutang demi bisa menikah! Yang kayak gitu masih ngotot mengatakan menikah akan melancarkan rezeki?
Kausalitas antara pernikahan dan rezeki dalam bentuk uang hanya bersifat kasuistis. Kasarnya, kalau kau menikah dengan konglomerat, kau memang akan kaya setelah menikah. Tetapi, sekali lagi, itu kasuistis, dan tidak bisa disamaratakan pada setiap orang.
Karenanya, terkait pernikahan, rezeki dalam bentuk uang tetap kembali pada individu masing-masing. Faktanya ada pasangan yang berkelimpahan, ada yang berkecukupan, ada pula yang berkekurangan. Itu fakta yang sangat jelas, gamblang, dan bisa disaksikan, serta bisa dibuktikan.
Well, masih ingat Stefani yang saya ceritakan di sini? Dulu, ketika Stefani menikah dengan Zahir, waktu itu Zahir sedang merintis usaha, dan kehidupannya belum mantap. Sekitar satu tahun setelah menikah, kehidupan mereka—Zahir dan Stefani—bisa dibilang berkelimpahan. Usaha yang dijalankan Zahir berjalan lancar, bahkan sukses. Apakah kesuksesan bisnis Zahir karena pernikahan? Mungkin ya, tapi kisah ini belum selesai.
Setelah mencapai kesuksesan yang memungkinkan mereka menikmati hidup berkelimpahan, bisnis Zahir mulai mengalami masalah. Kredit macet di mana-mana, dan perlahan namun pasti kehidupan mengalami masa surut. Ada masa-masa ketika Zahir pergi seharian, mengurusi pekerjaan, menemui banyak orang, namun pulang ke rumah tanpa membawa uang.
Zahir menceritakan semua itu secara blak-blakan, ketika saya datang ke rumahnya, dan bercakap-cakap dengan dia serta istrinya. (Saya telah mengenal akrab mereka berdua, sebelum mereka menjadi suami istri.)
Saya bertanya kepadanya, bagaimana dia bisa menjalani masa-masa pahit itu dengan tegar, dan Zahir menjawab, “Sebenarnya, aku tidak setegar yang mungkin kamu bayangkan. Di masa-masa itu, kadang aku malu pada diri sendiri, dan tak ingin pulang ke rumah, karena hanya akan mengecewakan istriku. Tapi aku tentu harus pulang. Dan aku bersyukur, karena memiliki istri dengan pengertian seluas samudera, yang tetap setia dan percaya kepadaku, meski aku sedang jatuh. Keberadaannya, dan senyuman anakku, adalah obat terbaik saat aku menghadapi masa-masa sulit.”
Itulah rezeki dalam pernikahan!
Keberadaan pasangan yang baik, yang tetap setia dan percaya kepadamu, meski kau sedang jatuh, adalah rezeki yang tidak dimiliki lajang atau orang yang belum menikah! Kata-kata lembut pasangan, dan senyuman serta pelukan anak, yang menjadi obat terbaik di kala menghadapi masa-masa sulit, itulah rezeki dalam pernikahan—sesuatu yang hanya dimiliki orang-orang yang menikah!
Lalu saya bertanya kepada Stefani, bagaimana dia menjalani masa-masa sulit tersebut, dan Stefani menjawab terus terang, “Kadang-kadang aku jengkel, sebenarnya. Bagaimana pun, kami tidak pernah membayangkan akan mengalami masa-masa sulit semacam itu. Kadang, pas kami kehabisan uang, sementara kebutuhan terus berdatangan, rasanya ingin marah. Juga bingung. Kadang-kadang kami sampai bertengkar, waktu itu.” Dia tersenyum kepada suaminya, waktu mengatakan kalimat tersebut.
“Yang membuatku terus tegar dan bertahan,” lanjut Stefani, “adalah saat malam hari, dan mendapati suami telah tertidur karena mungkin kelelahan, setelah bekerja seharian. Dia sering tidur lebih awal. Jadi, waktu aku masuk kamar, hendak tidur, biasanya dia sudah lelap. Saat itu, biasanya, tanpa sengaja aku memandanginya, dan berpikir, ‘Lelaki ini semula bukan siapa-siapaku, bahkan bukan keluargaku. Tapi aku mempercayakan hidupku kepadanya, dan dia menjaga kepercayaanku dengan tanggung jawab. Dia telah berusaha sebaik yang dia bisa—kenyataannya kami juga pernah menikmati hidup berkelimpahan. Jika sekarang kami jatuh, aku tidak punya alasan menyalahkan, toh dia masih berusaha membangun kembali hidup kami.’ Bayangan semacam itulah, yang membuatku terus bertahan, dan diam-diam mendoakannya, mendukungnya, hingga kami bisa bangkit kembali dari keterpurukan. Bagaimana pun, aku telah menikah dengan lelaki terbaik yang bisa kumiliki, yang mencintai dan menyayangiku sepenuhnya. Mengingat itu saja, semua kemarahanku pupus.”
Sekali lagi, itulah rezeki dalam pernikahan. Kesadaran bahwa kau memiliki pasangan terbaik yang bisa kaumiliki, yang mendukungmu, yang diam-diam mendoakan kebaikan untukmu, yang mencintai dan menyayangi, itulah rezeki dalam pernikahan—sesuatu yang tidak dimiliki orang-orang yang tidak/belum menikah!
Karenanya, pernikahan akan meluaskan rezeki—bukan melancarkan rezeki!
Dalam pernikahan, ada banyak rezeki yang bisa diperoleh, tapi tidak ada jaminan kau akan kaya dan banyak uang hanya karena menikah! Karena rezeki, kenyataannya, memang tidak sesempit yang dipikirkan kebanyakan orang.
Jadi, marilah kita pahami kenyataan penting ini. Bahwa rezeki sebenarnya tidak sebatas uang atau kekayaan, atau hal-hal sempit yang bersifat kebendaan. Rezeki memiliki makna luas, selama itu memiliki nilai baik atau positif. Kesehatan, kehidupan yang baik, keberadaan sahabat atau pasangan, teman yang bertambah, pengetahuan baru, rukun dengan keluarga dan tetangga, semuanya itu rezeki. Daftar ini bisa ditambah dan ditambah lagi.
Karenanya, berhentilah ngibul dengan mengatakan bahwa menikah akan “melancarkan rezeki”, karena kenyataannya tidak begitu! Kalau kau ngoceh tentang rezeki terkait pernikahan, jelaskan pula bahwa yang dimaksud rezeki dalam pernikahan tidak sebatas uang. Penjelasan itu penting, agar orang yang menerima ocehanmu tidak salah paham, dan mengira bisa kaya mendadak hanya karena menikah!
Akhir kata, menikah adalah hal baik, dan pilihan yang baik. Jangan rusak hal baik itu dengan doktrin-doktrin yang merusak, yang hanya akan menjerumuskan orang-orang yang tidak tahu.
Dan yang tak kalah penting, sebelum kau mencoba merayu atau memprovokasi orang lain agar segera menikah dengan segala iming-iming, cobalah tanyakan pada dirimu sendiri, “Mengapa aku merasa perlu merayu dan menyuruh-nyuruh orang lain agar segera menikah?” Tanyakan pertanyaan itu pada diri sendiri, dan jawablah secara jujur. Sekali lagi, jawablah secara jujur!
Begitu kau menerima dan mengakui jawabanmu yang jujur, kau akan menyadari bahwa tugasmu yang terpenting bukan pernikahan orang lain, tapi pernikahanmu sendiri.