“Oh, Tuhan, selamatkanlah jiwaku yang malang.”
Edgar Allan Poe membisikkan kata-kata itu di akhir hidupnya.
Dia telah tahu arti hidup.
—@noffret
Edgar Allan Poe membisikkan kata-kata itu di akhir hidupnya.
Dia telah tahu arti hidup.
—@noffret
Di sebuah proyek konstruksi yang sedang dibangun, seorang mandor di lantai 5 memanggil-manggil salah satu pekerja yang sedang bekerja di lantai bawah. Meski sudah dipanggil berkali-kali, si pekerja tidak juga mendengar, karena tempat itu sangat bising oleh suara-suara mesin konstruksi, juga karena si pekerja sedang khusyuk mengurusi pekerjaannya. Jadi, suara si mandor tenggelam oleh suara mesin-mesin berat.
Karena si pekerja tidak juga menengok ke atas, si mandor akhirnya mencoba melemparkan koin seribu rupiah, tepat di dekat si pekerja. Pikir si mandor, mungkin si pekerja akan kaget mendapati koin jatuh, dan tergoda untuk menengok ke atas. Tetapi harapan si mandor tidak terwujud. Koin seribu rupiah itu tepat jatuh di dekat si pekerja. Tetapi, bukannya menengok ke atas, si pekerja cuma memungut koin itu, memasukkannya ke saku, lalu terus bekerja.
Si mandor mencoba bersabar. Sekali lagi dia mencoba. Kali ini dia mengambil selembar uang seratusan ribu, lalu menjatuhkannya, sambil berharap si pekerja menengok ke atas “sebentar saja”. Sekali lagi uang itu jatuh di dekat si pekerja. Tetapi, dia tetap tidak menengok ke atas sebagaimana yang diharapkan si mandor. Dia hanya memungut lembaran uang itu, memeriksanya sejenak, lalu memasukkannya ke saku, dan melanjutkan pekerjaannya.
Akhirnya si mandor dongkol. Kali ini, dia mengambil kerikil, dan menjatuhkannya hingga mengenai kepala si pekerja. Kesakitan karena kepalanya terkena kerikil, si pekerja seketika menengok ke atas. Baru setelah itu dia melihat mandornya, dan mereka pun akhirnya bisa berkomunikasi.
Kisah itu, bisa jadi, miniatur kehidupan manusia yang lebih luas. Jika “si pekerja” adalah kita, “konstruksi bangunan” adalah kehidupan yang kita jalani. Dan “si mandor”, oh, well, tentunya dia pengawas pekerjaan kita.
Dalam menjalani pekerjaan dan kehidupan yang bising, sering kali kita lupa untuk hening sejenak. Berbagai suara terus berdentam, tumpukan tugas terus mengejar, sementara waktu semakin sempit. Kita tidak lagi punya waktu untuk hening sejenak, untuk meninggalkan segala kesibukan dan kebisingan, karena energi dan waktu kita sudah habis sehabis-habisnya. Untuk kehidupan, untuk pekerjaan, untuk kebisingan.
Di antara kehidupan, pekerjaan, dan kebisingan, sekali waktu kita menemukan sesuatu yang menyenangkan, seperti durian runtuh, atau rezeki yang seolah turun dari langit. Dan apa yang kita lakukan? Kita segera mengambil rezeki yang datang dengan rakus, menerimanya dengan girang, sampai tidak sempat memikirkan dari mana rezeki itu datang. Kita terlalu sibuk. Oh, well, terlalu sibuk, hingga tak pernah punya waktu untuk hening sejenak. Untuk berpikir. Dan merenung. Atau, setidaknya, untuk menyadari dari mana hal-hal baik yang kita peroleh.
Saat hal-hal yang dianggap baik datang, kita bisa menerima sambil bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Kita tidak pernah meluangkan waktu untuk berpikir, apakah hal baik itu memang baik, ataukah hal buruk yang tampak baik? Seperti pekerja dalam kisah di atas. Dia menerima koin seribu rupiah, menganggapnya hal baik, dan langsung memasukkannya ke saku tanpa sempat berpikir dari mana koin itu datang. Lalu datang lagi rezeki yang lebih besar, bahkan berkali lipat dari rezeki pertama, dan dia juga langsung terlena, tanpa mau memikirkan dari mana rezeki itu datang.
Tetapi, begitu terkena lemparan kerikil, dan merasa kesakitan, si pekerja baru menengok ke atas, dan baru menyadari bahwa sejak tadi dia dilempari uang dengan tujuan agar menengok ke atas, karena mandornya ingin bicara.
Mungkin, begitu pula kita, kebanyakan manusia. Saat menghadapi hal-hal yang kita anggap baik, kita lupa dari mana hal-hal baik itu datang, dan mengapa hal-hal baik itu datang kepada kita. Padahal, tidak selamanya hal baik memang sebaik kelihatannya. Kadang-kadang, kita dianugerahi hal-hal yang terasa baik—bukan sebagai kesenangan, melainkan sebagai teguran. Agar kita menengok ke atas.
Sayangnya, manusia mudah terlena pada hal-hal yang menurutnya baik. Jangankan hal baik yang tampak baik, untuk hal buruk yang tampak baik pun bisa membuat manusia lupa diri. Bahkan, dalam urusan semacam itu, manusia selalu bisa melakukan justifikasi, agar hal-hal buruk bisa terasa baik, atau agar tampak baik. Justifikasi adalah keahlian manusia, hingga selalu punya alasan untuk melakukan apa pun asal menurutnya baik, meski sebenarnya tidak!
Orang bisa menipu sambil berdalih “membantu”. Itu praktik yang banyak dilakukan manusia, dalam berbagai modus, dalam berbagai bentuk, yang bahkan mungkin akrab dalam kehidupan kita. Seperti money game yang mampu membuat uang kita berlipat secara tak wajar, padahal hasil yang kita peroleh adalah uang milik anggota baru yang dirampas diam-diam.
Tapi kita bisa melakukan praktik semacam itu sambil “menipu diri sendiri”, dengan mengatakan bahwa itu program saling membantu. Padahal, kita tahu, itu sama sekali tidak membantu, khususnya bagi anggota baru! Untuk setiap sesuatu yang diperoleh dengan cara tidak benar, selalu ada korban.
Begitu pula, orang bisa mencuri dan memperdagangkan hak milik orang lain sambil berdalih “berbagi”. Sebegitu percaya pada dalih diri sendiri, sampai-sampai tidak takut dituntut atau khawatir dituduh sebagai pencuri. Padahal, kalau memang tujuannya berbagi, mestinya yang ia bagi miliknya sendiri, bukan milik orang lain. Lagi pula, berbagi kok ngotot, sampai menawar-nawarkan di berbagai tempat, dalam aneka sarana, bahkan menghalalkan segala cara.
Justifikasi, itulah keahlian manusia dalam mengelabui diri sendiri. Yang sebenarnya buruk bisa tampak dan terasa baik, karena kita mengatakan pada diri sendiri bahwa itu baik. Bahkan Hitler pun tahu, kebohongan yang dikatakan terus menerus akan menjadi kebenaran. Hal buruk—bahkan kejahatan—yang kita lakukan terus menerus, lama-lama akan terasa biasa. Saat menerima sesuatu yang sebenarnya bukan hak kita, sangat mudah untuk mengatakan bahwa kita sedang beruntung.
Tetapi apakah itu benar keberuntungan? Atau jangan-jangan sesuatu yang sama sekali tak menguntungkan, tapi tampak sebagai keberuntungan?
Seperti pekerja di konstruksi bangunan yang menerima koin dan lembaran uang, dia tidak sempat memikirkan dari mana keberuntungan itu datang. Yang ia tahu, itu bagus untuk dirinya. Oh, dia bisa saja mengatakan itu hoki, keberuntungan, rezeki dari langit, dan lain-lain, dan sebagainya. Tapi apakah begitu kenyataannya? Tidak, karena kita tahu, koin dan lembaran uang itu jatuh kepada dirinya, dengan maksud tertentu. Itu teguran si mandor!
Lalu, saat kesakitan karena dilempari batu, si pekerja baru menghentikan pekerjaannya, dan menengok ke atas, dan menyadari bahwa sejak tadi si mandor memanggil-manggilnya, tapi dia tidak juga mendengar karena dikepung kebisingan dan kesibukan. Kesibukan dan kebisingan.
Mungkin, begitu pula kita, kebanyakan manusia. Saat menghadapi masalah, saat menerima musibah, kita baru ingat untuk berhenti sejenak, dan berpikir, dan merenung, dan biasanya baru sadar untuk menengok ke atas, dan menyadari kesalahan kita.
Saat menghadapi hal-hal menyenangkan, kita lupa, tak peduli. Saat menghadapi hal-hal menyusahkan, kita baru ingat, dan baru introspeksi.
Untung, si mandor cuma menjatuhkan kerikil, untuk membuat si pekerja berhenti sejenak, dan menengok ke atas. Kalau dilempar kerikil tetap saja ndableg, tidak menutup kemungkinan si mandor jadi marah dan melemparkan batu besar. Hasilnya, si pekerja tidak cuma merasa sakit... tapi langsung modyar.