***
Hal kedua yang juga perlu dikhawatirkan adalah kemarahan masyarakat. Jika hukuman pada para pemerkosa tidak mampu memberi efek jera, kasus perkosaan akan terus terjadi. Jika kasus perkosaan terus terjadi, dan masyarakat terus disuguhi berita perkosaan setiap hari, mereka akan jenuh. Dan muak. Dan marah. Dan jika masyarakat marah... tidak ada siapa pun yang akan mampu menghentikan mereka.
Pada November 2010, terjadi keramaian di Kota Ganganagar, India. Bukan sekadar keramaian biasa, hari itu masyarakat di sana bersatu menghukum seorang pemerkosa. Bajingan yang apes hari itu adalah Shabat, lelaki berusia 50 tahun yang memperkosa seorang wanita.
Semula, Shabat menyekap seorang wanita di sebuah gang yang sepi, kemudian memperkosanya. Ketika aksi perkosaan itu terjadi, seseorang memergoki. Dia lalu memanggil dan mengumpulkan masyarakat. Daripada ditangkap dan diserahkan ke polisi, mereka pikir akan lebih bagus jika bangsat pemerkosa itu mereka hukum sendiri. Jadi, itulah yang terjadi.
Orang-orang di sana pun berdatangan ke tempat Shabat menyekap korbannya. Ada yang membawa pentungan, ada yang membawa batu, dan lain-lain. Di gang itu, masyarakat yang marah menghajar Shabat habis-habisan hingga lelaki itu babak belur dan berdarah-darah. Belum puas, masyarakat menyeret tubuh Shabat ke tempat yang lebih terbuka, sehingga lebih banyak yang melihat, lalu mereka menebas penis si pemerkosa.
Aamir Dhawan, salah satu warga yang ikut dalam keramaian itu, menyatakan kepada polisi dan wartawan bahwa dia tidak tahu siapa yang memulai pengeroyokan, dan siapa yang memotong penis Shabat. Menurutnya, warga sudah muak mendengar berita perkosaan di India, sehingga memutuskan untuk menghukum si pemerkosa agar dapat memberi efek jera bagi yang lain.
“Sudah terlalu banyak kasus penyerangan terhadap wanita di negara ini,” ujar Aamir Dhawan. “Terlalu sering kita mendengar wanita diperkosa, digantung, disiksa. Ini saatnya semua itu dihentikan. Pemotongan penis ini mengirim pesan kuat buat semua pemerkosa; kalau kau nekat berbuat, kau akan mendapat balasannya!”
Sebelum peristiwa di Kota Ganganagar itu terjadi, ada peristiwa serupa yang menimpa seorang pemerkosa lain. Terjadi di Desa Kasturba Nagar, India, yang menjadi sasaran kemarahan masyarakat adalah Akku Yadav, seorang preman kelas teri yang kebetulan bergabung dengan sebuah komplotan penjahat.
Yadav sebenarnya preman kampung. Tapi karena bergabung dengan komplotan penjahat yang berpusat di New Delhi, dia berani melakukan berbagai kejahatan, termasuk merampok, membunuh, hingga memperkosa. Dia telah bolak-balik masuk penjara, dan tak berhenti melakukan kejahatan.
Kemurkaan masyarakat terhadap Yadav terjadi ketika bajingan itu, suatu siang, mendatangi sebuah rumah yang kebetulan sedang sepi, lalu menyeret seorang gadis berusia 12 tahun dari rumah itu, dan memperkosanya. Bukan hanya memperkosa, Yadav juga menyiksa gadis korbannya, bahkan menyuruh teman-temannya untuk memperkosa gadis tersebut.
Saat peristiwa perkosaan biadab itu terjadi, seorang wanita melihat. Dia lalu mengumpulkan ibu-ibu di sana (waktu itu para lelaki sedang bekerja). Dengan kemarahan tak tertahan, sebanyak 200 ibu rumah tangga mendatangi lokasi perkosaan. Teman-teman Yadav sempat kabur. Tapi Yadav tertangkap. Sekuat apa pun bajingan itu mencoba meloloskan diri, dia jelas bukan tandingan 200 ibu-ibu yang sedang murka.
Jadi, ibu-ibu itu menyeret Yadav ke pematang sawah, kemudian mengeroyoknya di sana. Beberapa wanita pulang ke rumah untuk mengambil bubuk cabai, lalu bubuk cabai itu disiramkan ke muka si pemerkosa. Sementara Yadav kelojotan merasakan panas luar biasa pada wajahnya, ibu-ibu itu melemparkan batu-batu ke tubuh Yadav.
Kisah itu belum selesai. Seorang wanita mengambil pisau sayur, lalu memotong penis Yadav. Setelah itu, ibu-ibu lain menusuk tubuh Yadav beramai-ramai. Saat bajingan pemerkosa itu tewas, pihak forensik menyatakan ada 70 tusukan di tubuh Yadav, selain penisnya hilang karena dipotong.
Yang menakjubkan, ibu-ibu yang terlibat dalam peristiwa itu sepakat bungkam saat kepolisian setempat mendatangi mereka. Tidak ada yang mau menjawab atau menyebutkan nama rekan/tetangga mereka, dan hanya menyebutkan bahwa peristiwa itu kejadian spontan, sehingga tidak ada yang tahu siapa yang memulai, siapa yang menusuk, siapa yang memotong. Oh, well, jangan main-main dengan ibu-ibu yang murka!
Masih di India, tepatnya di Punjab, seorang pemerkosa juga mengalami nasib mengerikan. Pemerkosa itu berusia 17 tahun, dan dia memperkosa seorang bayi yang baru berusia 7 bulan. Pada April 2014, remaja bejat itu pun ditangkap.
Sambil menunggu proses pengadilan, penjahat itu dijebloskan ke tahanan remaja. Lalu datang Parminder Singh. Parminder Singh adalah ayah bayi yang diperkosa oleh si remaja. Parminder Singh mengatakan, dia bermaksud menyelesaikan kasus itu secara kekeluargaan, mengingat si pemerkosa terhitung masih remaja. Polisi pun menyetujui usul itu, terlebih juga karena mungkin sudah bosan menghadapi kasus perkosaan.
Jadi, Parminder Singh kemudian mengajak si pemerkosa keluar dari tahanan, untuk “menyelesaikan masalah secara kekeluargaan”. Dengan lugu, si pemerkosa mengikuti. Parminder Singh membawa keparat itu ke dekat kanal yang sepi, mengikatnya ke sebuah pohon, lalu menghajarnya habis-habisan. Setelah si remaja pemerkosa hampir sekarat, Parminder Singh memotong kedua tangan pemerkosa itu, dan meninggalkannya di sana.
Itu segelintir contoh nyata yang terjadi akibat kemuakan masyarakat terhadap kasus perkosaan yang terus terjadi, yang makin hari makin memuakkan. Jika contoh-contoh itu mau diteruskan, saya bisa menceritakan kisah-kisah pembalasan lain yang tak kalah mengerikan, akibat masyarakat yang muak. Mereka frustrasi menghadapi para pemerkosa, mereka frustrasi menghadapi sistem hukum, mereka frustrasi mendengar celoteh omong kosong hak asasi manusia.
Dari India, sekarang kita akan melihat yang terjadi di Afrika. Seperti yang telah disinggung di atas, kasus perkosaan di Afrika setali tiga uang dengan yang terjadi di India. Karenanya tidak heran jika masyarakat Afrika sama muak terhadap para pemerkosa, dan mereka pun melakukan pembalasan yang mereka anggap sebagai hukuman setimpal.
Di Mandela Park, dekat Ibu Kota Johannesburg, Afrika, seorang lelaki berusia 26 tahun memperkosa seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Aksi perkosaan itu dipergoki famili korban, yang langsung mengumpulkan orang-orang di sana. Dalam waktu seketika, masyarakat yang marah pun berkumpul dan menghajar si pemerkosa habis-habisan. Puncaknya, mereka memotong penis si pelaku, dan membuangnya ke tempat sampah.
Ketika kepolisian datang ke sana, dan berceramah tentang “jangan main hakim sendiri”, masyarakat di sana kompak tutup mulut. Kepala Polisi Mandela Park, Zithini Dlamini, menyatakan bahwa aksi masyarakat tersebut sebenarnya melanggar hukum. Tapi pihaknya juga kesulitan menangkap pelaku karena orang-orang yang terlibat kompak tutup mulut, dan tidak ada yang mau bicara. Peristiwa itu sudah lama terjadi, dan sampai saat ini tidak ada satu pun dari masyarakat di sana yang ditangkap.
Lalu bagaimana dengan si pelaku perkosaan? Oh, dia masih hidup. Saat pengeroyokan terjadi, polisi datang, dan masyarakat langsung bubar. Jadi, si pemerkosa selamat, meski tubuhnya babak belur. Tapi dia kehilangan penisnya, yang telah dibuang entah ke mana. Dia dibawa ke rumah sakit, lalu digelandang ke penjara setelah kondisi fisiknya dinyatakan pulih. Tetapi, sekali lagi, penisnya entah ada di mana.
Dari Afrika, sekarang kita terbang ke Brasil. Di Brasil, tepatnya di Kota Barretos, ada lelaki bejat bernama Francisco de Souza. Dia memperkosa seorang balita yang kebetulan ada di dekat tempat kerjanya. Ulahnya dipergoki warga, yang seketika mengumpulkan massa. Warga yang murka beramai-ramai menghajar Francisco hingga babak belur. Selain membuat si pemerkosa berdarah-darah, massa yang marah juga memotong tiga jari tangan dan penis si pemerkosa.
Penjahat pemerkosa itu selamat, karena polisi datang sebelum masyarakat membunuhnya. Francisco yang sekarat kemudian dibawa ke Rumah Sakit Santa Casa de Misericordia. Dokter di sana berhasil menyambung kembali tiga jarinya yang putus, tetapi... tidak bisa menyambung kembali penisnya!
Sama seperti di India, sama seperti di Afrika, masyarakat di Brasil bungkam ketika polisi datang untuk menyelidiki kasus amuk massa itu. Mereka telanjur muak dengan kejahatan biadab itu, mereka telah murka terhadap kebejatan manusia, dan lebih lagi... mereka muak terhadap sistem hukum yang mereka anggap tidak mampu membuat jera.
Kasus-kasus serupa juga terjadi di Pakistan, tempat yang juga memiliki kasus perkosaan sangat tinggi. Untuk Pakistan, saya sudah pernah menceritakan kondisi di sana panjang lebar, bahkan detail, lengkap dengan perjuangan seorang wanita yang bertekad mengubah kondisi negaranya yang mengerikan, dan kalian bisa membacanya secara tuntas di sini.
Sekarang, di Indonesia, amuk massa terhadap pemerkosa sudah mulai terjadi. Salah satu contoh terbaru terjadi di Bone, Sulawesi Selatan. Pada 3 Juni 2016 kemarin, seorang remaja berusia 17 tahun hendak memperkosa seorang wanita berusia 26 tahun. Untung, sebelum perkosaan terjadi, si wanita berteriak-teriak minta tolong, dan teriakannya didengar orang-orang.
Warga pun berdatangan, dan—dengan penuh kemurkaan—mereka menghajar si pemerkosa habis-habisan, meski masih terhitung remaja. Aksi pengeroyokan itu bahkan masih terus berlangsung saat pasukan kepolisian datang. Puluhan aparat yang datang ke lokasi sampai harus mengeluarkan tembakan peringatan untuk membubarkan aksi tersebut.
Akhirnya, catatan panjang ini hanya ingin menunjukkan bahwa ada ancaman tersembunyi jika kasus-kasus perkosaan terus terjadi di negeri ini, jika para pelaku perkosaan tidak mendapat hukuman setimpal, jika sistem hukum tidak mampu menjawab masyarakat yang marah, jika orang-orang hanya bisa berteriak hak asasi untuk para pelaku kejahatan tapi bungkam terhadap korban.
Indonesia, disadari atau tidak, sedang menyulut bom waktu, dan menyimpan bara dalam sekam. Akan tiba suatu masa ketika masyarakat tak mampu lagi menahan kemarahan, dan mereka memutuskan untuk menggunakan tangan mereka sendiri untuk menghukum para bajingan... demi menghentikan kejahatan yang telanjur memuakkan.
Pada November 2010, terjadi keramaian di Kota Ganganagar, India. Bukan sekadar keramaian biasa, hari itu masyarakat di sana bersatu menghukum seorang pemerkosa. Bajingan yang apes hari itu adalah Shabat, lelaki berusia 50 tahun yang memperkosa seorang wanita.
Semula, Shabat menyekap seorang wanita di sebuah gang yang sepi, kemudian memperkosanya. Ketika aksi perkosaan itu terjadi, seseorang memergoki. Dia lalu memanggil dan mengumpulkan masyarakat. Daripada ditangkap dan diserahkan ke polisi, mereka pikir akan lebih bagus jika bangsat pemerkosa itu mereka hukum sendiri. Jadi, itulah yang terjadi.
Orang-orang di sana pun berdatangan ke tempat Shabat menyekap korbannya. Ada yang membawa pentungan, ada yang membawa batu, dan lain-lain. Di gang itu, masyarakat yang marah menghajar Shabat habis-habisan hingga lelaki itu babak belur dan berdarah-darah. Belum puas, masyarakat menyeret tubuh Shabat ke tempat yang lebih terbuka, sehingga lebih banyak yang melihat, lalu mereka menebas penis si pemerkosa.
Aamir Dhawan, salah satu warga yang ikut dalam keramaian itu, menyatakan kepada polisi dan wartawan bahwa dia tidak tahu siapa yang memulai pengeroyokan, dan siapa yang memotong penis Shabat. Menurutnya, warga sudah muak mendengar berita perkosaan di India, sehingga memutuskan untuk menghukum si pemerkosa agar dapat memberi efek jera bagi yang lain.
“Sudah terlalu banyak kasus penyerangan terhadap wanita di negara ini,” ujar Aamir Dhawan. “Terlalu sering kita mendengar wanita diperkosa, digantung, disiksa. Ini saatnya semua itu dihentikan. Pemotongan penis ini mengirim pesan kuat buat semua pemerkosa; kalau kau nekat berbuat, kau akan mendapat balasannya!”
Sebelum peristiwa di Kota Ganganagar itu terjadi, ada peristiwa serupa yang menimpa seorang pemerkosa lain. Terjadi di Desa Kasturba Nagar, India, yang menjadi sasaran kemarahan masyarakat adalah Akku Yadav, seorang preman kelas teri yang kebetulan bergabung dengan sebuah komplotan penjahat.
Yadav sebenarnya preman kampung. Tapi karena bergabung dengan komplotan penjahat yang berpusat di New Delhi, dia berani melakukan berbagai kejahatan, termasuk merampok, membunuh, hingga memperkosa. Dia telah bolak-balik masuk penjara, dan tak berhenti melakukan kejahatan.
Kemurkaan masyarakat terhadap Yadav terjadi ketika bajingan itu, suatu siang, mendatangi sebuah rumah yang kebetulan sedang sepi, lalu menyeret seorang gadis berusia 12 tahun dari rumah itu, dan memperkosanya. Bukan hanya memperkosa, Yadav juga menyiksa gadis korbannya, bahkan menyuruh teman-temannya untuk memperkosa gadis tersebut.
Saat peristiwa perkosaan biadab itu terjadi, seorang wanita melihat. Dia lalu mengumpulkan ibu-ibu di sana (waktu itu para lelaki sedang bekerja). Dengan kemarahan tak tertahan, sebanyak 200 ibu rumah tangga mendatangi lokasi perkosaan. Teman-teman Yadav sempat kabur. Tapi Yadav tertangkap. Sekuat apa pun bajingan itu mencoba meloloskan diri, dia jelas bukan tandingan 200 ibu-ibu yang sedang murka.
Jadi, ibu-ibu itu menyeret Yadav ke pematang sawah, kemudian mengeroyoknya di sana. Beberapa wanita pulang ke rumah untuk mengambil bubuk cabai, lalu bubuk cabai itu disiramkan ke muka si pemerkosa. Sementara Yadav kelojotan merasakan panas luar biasa pada wajahnya, ibu-ibu itu melemparkan batu-batu ke tubuh Yadav.
Kisah itu belum selesai. Seorang wanita mengambil pisau sayur, lalu memotong penis Yadav. Setelah itu, ibu-ibu lain menusuk tubuh Yadav beramai-ramai. Saat bajingan pemerkosa itu tewas, pihak forensik menyatakan ada 70 tusukan di tubuh Yadav, selain penisnya hilang karena dipotong.
Yang menakjubkan, ibu-ibu yang terlibat dalam peristiwa itu sepakat bungkam saat kepolisian setempat mendatangi mereka. Tidak ada yang mau menjawab atau menyebutkan nama rekan/tetangga mereka, dan hanya menyebutkan bahwa peristiwa itu kejadian spontan, sehingga tidak ada yang tahu siapa yang memulai, siapa yang menusuk, siapa yang memotong. Oh, well, jangan main-main dengan ibu-ibu yang murka!
Masih di India, tepatnya di Punjab, seorang pemerkosa juga mengalami nasib mengerikan. Pemerkosa itu berusia 17 tahun, dan dia memperkosa seorang bayi yang baru berusia 7 bulan. Pada April 2014, remaja bejat itu pun ditangkap.
Sambil menunggu proses pengadilan, penjahat itu dijebloskan ke tahanan remaja. Lalu datang Parminder Singh. Parminder Singh adalah ayah bayi yang diperkosa oleh si remaja. Parminder Singh mengatakan, dia bermaksud menyelesaikan kasus itu secara kekeluargaan, mengingat si pemerkosa terhitung masih remaja. Polisi pun menyetujui usul itu, terlebih juga karena mungkin sudah bosan menghadapi kasus perkosaan.
Jadi, Parminder Singh kemudian mengajak si pemerkosa keluar dari tahanan, untuk “menyelesaikan masalah secara kekeluargaan”. Dengan lugu, si pemerkosa mengikuti. Parminder Singh membawa keparat itu ke dekat kanal yang sepi, mengikatnya ke sebuah pohon, lalu menghajarnya habis-habisan. Setelah si remaja pemerkosa hampir sekarat, Parminder Singh memotong kedua tangan pemerkosa itu, dan meninggalkannya di sana.
Itu segelintir contoh nyata yang terjadi akibat kemuakan masyarakat terhadap kasus perkosaan yang terus terjadi, yang makin hari makin memuakkan. Jika contoh-contoh itu mau diteruskan, saya bisa menceritakan kisah-kisah pembalasan lain yang tak kalah mengerikan, akibat masyarakat yang muak. Mereka frustrasi menghadapi para pemerkosa, mereka frustrasi menghadapi sistem hukum, mereka frustrasi mendengar celoteh omong kosong hak asasi manusia.
Dari India, sekarang kita akan melihat yang terjadi di Afrika. Seperti yang telah disinggung di atas, kasus perkosaan di Afrika setali tiga uang dengan yang terjadi di India. Karenanya tidak heran jika masyarakat Afrika sama muak terhadap para pemerkosa, dan mereka pun melakukan pembalasan yang mereka anggap sebagai hukuman setimpal.
Di Mandela Park, dekat Ibu Kota Johannesburg, Afrika, seorang lelaki berusia 26 tahun memperkosa seorang anak perempuan berusia 5 tahun. Aksi perkosaan itu dipergoki famili korban, yang langsung mengumpulkan orang-orang di sana. Dalam waktu seketika, masyarakat yang marah pun berkumpul dan menghajar si pemerkosa habis-habisan. Puncaknya, mereka memotong penis si pelaku, dan membuangnya ke tempat sampah.
Ketika kepolisian datang ke sana, dan berceramah tentang “jangan main hakim sendiri”, masyarakat di sana kompak tutup mulut. Kepala Polisi Mandela Park, Zithini Dlamini, menyatakan bahwa aksi masyarakat tersebut sebenarnya melanggar hukum. Tapi pihaknya juga kesulitan menangkap pelaku karena orang-orang yang terlibat kompak tutup mulut, dan tidak ada yang mau bicara. Peristiwa itu sudah lama terjadi, dan sampai saat ini tidak ada satu pun dari masyarakat di sana yang ditangkap.
Lalu bagaimana dengan si pelaku perkosaan? Oh, dia masih hidup. Saat pengeroyokan terjadi, polisi datang, dan masyarakat langsung bubar. Jadi, si pemerkosa selamat, meski tubuhnya babak belur. Tapi dia kehilangan penisnya, yang telah dibuang entah ke mana. Dia dibawa ke rumah sakit, lalu digelandang ke penjara setelah kondisi fisiknya dinyatakan pulih. Tetapi, sekali lagi, penisnya entah ada di mana.
Dari Afrika, sekarang kita terbang ke Brasil. Di Brasil, tepatnya di Kota Barretos, ada lelaki bejat bernama Francisco de Souza. Dia memperkosa seorang balita yang kebetulan ada di dekat tempat kerjanya. Ulahnya dipergoki warga, yang seketika mengumpulkan massa. Warga yang murka beramai-ramai menghajar Francisco hingga babak belur. Selain membuat si pemerkosa berdarah-darah, massa yang marah juga memotong tiga jari tangan dan penis si pemerkosa.
Penjahat pemerkosa itu selamat, karena polisi datang sebelum masyarakat membunuhnya. Francisco yang sekarat kemudian dibawa ke Rumah Sakit Santa Casa de Misericordia. Dokter di sana berhasil menyambung kembali tiga jarinya yang putus, tetapi... tidak bisa menyambung kembali penisnya!
Sama seperti di India, sama seperti di Afrika, masyarakat di Brasil bungkam ketika polisi datang untuk menyelidiki kasus amuk massa itu. Mereka telanjur muak dengan kejahatan biadab itu, mereka telah murka terhadap kebejatan manusia, dan lebih lagi... mereka muak terhadap sistem hukum yang mereka anggap tidak mampu membuat jera.
Kasus-kasus serupa juga terjadi di Pakistan, tempat yang juga memiliki kasus perkosaan sangat tinggi. Untuk Pakistan, saya sudah pernah menceritakan kondisi di sana panjang lebar, bahkan detail, lengkap dengan perjuangan seorang wanita yang bertekad mengubah kondisi negaranya yang mengerikan, dan kalian bisa membacanya secara tuntas di sini.
Sekarang, di Indonesia, amuk massa terhadap pemerkosa sudah mulai terjadi. Salah satu contoh terbaru terjadi di Bone, Sulawesi Selatan. Pada 3 Juni 2016 kemarin, seorang remaja berusia 17 tahun hendak memperkosa seorang wanita berusia 26 tahun. Untung, sebelum perkosaan terjadi, si wanita berteriak-teriak minta tolong, dan teriakannya didengar orang-orang.
Warga pun berdatangan, dan—dengan penuh kemurkaan—mereka menghajar si pemerkosa habis-habisan, meski masih terhitung remaja. Aksi pengeroyokan itu bahkan masih terus berlangsung saat pasukan kepolisian datang. Puluhan aparat yang datang ke lokasi sampai harus mengeluarkan tembakan peringatan untuk membubarkan aksi tersebut.
Akhirnya, catatan panjang ini hanya ingin menunjukkan bahwa ada ancaman tersembunyi jika kasus-kasus perkosaan terus terjadi di negeri ini, jika para pelaku perkosaan tidak mendapat hukuman setimpal, jika sistem hukum tidak mampu menjawab masyarakat yang marah, jika orang-orang hanya bisa berteriak hak asasi untuk para pelaku kejahatan tapi bungkam terhadap korban.
Indonesia, disadari atau tidak, sedang menyulut bom waktu, dan menyimpan bara dalam sekam. Akan tiba suatu masa ketika masyarakat tak mampu lagi menahan kemarahan, dan mereka memutuskan untuk menggunakan tangan mereka sendiri untuk menghukum para bajingan... demi menghentikan kejahatan yang telanjur memuakkan.