Luka sebuah bangsa menjadi sejarah,
luka seorang manusia hanya menjadi cerita.
Bahkan di hadapan luka sejarah, kita mudah lupa.
—@noffret
luka seorang manusia hanya menjadi cerita.
Bahkan di hadapan luka sejarah, kita mudah lupa.
—@noffret
Akibat makin banyak kasus perkosaan yang kian hari kian mengkhawatirkan, sebagian pihak mengusulkan hukuman yang lebih berat untuk pelaku pemerkosaan. Presiden Jokowi pun sudah menandatangani keputusan tersebut, yakni menaikkan/memberatkan hukuman untuk pemerkosa.
Yang masih menjadi polemik adalah soal hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan. Sebagian pihak menganggap hukuman kebiri layak diberlakukan, sementara sebagian lain menganggap hukuman kebiri termasuk pelanggaran hak asasi manusia.
Menyangkut hukuman kebiri yang rencana akan dilakukan di Indonesia, sebenarnya bukan kebiri fisik (menghilangkan testis atau alat kelamin), melainkan kebiri kimia (menyuntikkan zat penurun libido ke tubuh pemerkosa). Tampaknya, sebagian orang yang menentang hukuman kebiri terhadap pemerkosa tidak memahami konteks seutuhnya, hingga menatap hal tersebut secara berlebihan.
Sebenarnya, kebiri kimia—sebagaimana yang akan diberlakukan di Indonesia—tidak bisa seratus persen disebut hukuman, karena proses tersebut hanya menurunkan libido si pelaku. Dengan kata lain, si pelaku tetap memiliki nafsu atau libido, meski telah dikebiri secara kimia. Lebih dari itu, kebiri kimia bahkan tidak bisa berlangsung selamanya.
Dalam jangka waktu tertentu, pengaruh zat yang disuntikkan ke tubuh akan hilang, dan taraf libido si pelaku/pemerkosa akan kembali normal seperti sedia kala. Karena itu pula, kebiri kimia harus dilakukan secara berkelanjutan. Dalam hal ini, sebenarnya, kebiri kimia lebih tepat disebut “terapi” daripada “hukuman”. Tetapi, sekali lagi, orang-orang yang meributkan itu mungkin tidak memahami konteks dan keseluruhan masalah, dan buru-buru meributkan hak asasi manusia.
Menyangkut orang-orang yang menentang kebiri kimia dengan alasan melanggar hak asasi manusia, terus terang saya bingung. Mereka yang menentang kebiri mungkin para pembela hak asasi manusia yang sangat gigih membela hak-hak manusia. Sehingga pemberlakuan hukuman yang bisa dibilang ringan (seperti kebiri kimia) pun langsung membuat mereka berteriak, “Itu melanggar hak asasi manusia!”
Lalu bagaimana komentar mereka terhadap perbuatan para pelaku pemerkosaan yang mereka bela? Apakah keparat-keparat pemerkosa itu tidak melanggar hak asasi korbannya? Kenapa para pembela hak asasi itu tidak memikirkan korban perkosaan yang hak asasinya diinjak-injak, dihina, dan dinistakan? Kenapa mereka tidak mengacungkan jari kepada para pemerkosa, dan baru berteriak hak asasi saat para pemerkosa akan dihukum?
Sebenarnya, saya tidak bermaksud meributkan hukuman apa untuk para pemerkosa. Kebiri atau bukan kebiri, bukan itu yang ingin saya persoalkan.
Yang saya khawatirkan, jika para pemerkosa tidak dihukum seberat-beratnya, maka kasus kejahatan perkosaan akan semakin menggila. Indonesia, diakui atau tidak, sedang mengalami darurat perkosaan, bahkan krisis kemanusiaan. Nyaris setiap hari, selalu ada berita perkosaan, di berbagai tempat, menimpa banyak korban, dan itu tidak juga berhenti. Siapa pun tahu, itu sangat mengkhawatirkan.
Jika kasus-kasus perkosaan terus terjadi, sementara hukuman yang diterapkan tidak berkeadilan (khususnya dilihat dari sudut pandang masyarakat luas), maka bisa jadi timbul amuk massa yang sangat mengerikan. Afrika dan India adalah contoh negara yang masyarakatnya sudah muak terhadap kasus perkosaan, sehingga mereka memutuskan untuk turun langsung menghukum para pelaku perkosaan. Ada banyak kasus pembalasan mengerikan yang menimpa para pemerkosa di India dan Afrika, yang nanti akan saya kisahkan di catatan ini.
Namun, sebelum masuk ke kisah-kisah pembalasan mengerikan di India dan Afrika, saya ingin mengisahkan hal lain terlebih dulu.
Dua minggu yang lalu, saya menikmati makan siang di tempat ini. Sendirian, saya duduk di salah satu tempat, dan kebetulan di samping saya ada dua lelaki yang juga menikmati makan siang. Seusai makan, saya menikmati rokok sendirian, sementara dua lelaki di samping saya bercakap-cakap. Karena jarak kami dekat, dan suasana di tempat itu juga hening, saya pun bisa mendengarkan percakapan mereka dengan sangat jelas, meski tidak bermaksud menguping.
Dua lelaki itu membicarakan kasus-kasus perkosaan yang tengah ramai di Indonesia, termasuk kasus Yuyun, Eno, dan lainnya. Setelah cukup lama bercakap-cakap seputar kasus itu, Lelaki Pertama berkata, “Menurutmu, apa hukuman terbaik bagi para pemerkosa yang bejat itu?”
Lelaki Kedua menjawab serius, “Jika aku diberi wewenang memberi hukuman bagi para pemerkosa, inilah yang akan kulakukan. Aku akan mengumpulkan para pemerkosa di Monas, mengikatkan petasan besar ke penis mereka, membiarkan petasan-petasan itu meledak, lalu lihat hasilnya. Jika mereka mati, bagus. Jika mereka masih hidup, tidak apa-apa. Itu hukuman setimpal bagi para pemerkosa. Kalau pun mereka masih hidup, toh mereka tidak akan bisa lagi memperkosa, karena tentu penis mereka telah hancur akibat ledakan.”
Saya mengisap rokok di samping mereka, sambil diam-diam membayangkan para pemerkosa diarak ke Monas, masyarakat berduyun-duyun menonton, kamera-kamera televisi menyorot, dan hukuman itu dilakukan. Oh, well, pasti menyenangkan kalau saya bisa menggelar tikar di Monas, duduk damai sambil merokok, lalu menyaksikan selangkangan para pemerkosa meledak. Saya janji tidak akan memalingkan muka meski menyaksikan darah bermuncratan... kalau itu benar-benar terjadi.
Kalau itu benar-benar terjadi... oh, well, pasti akan menjadi shock therapy yang ampuh bagi siapa pun. Orang akan berpikir seribu kali, bahkan sejuta kali, sebelum nekat melakukan perkosaan. Menyaksikan selangkangan meledak dan penis hancur berantakan, pasti akan menjadi pemandangan “mempesona” yang akan terus membayangi siapa pun, sehingga orang akan lebih berhati-hati menjaga diri.
Apakah yang saya uraikan di atas terdengar mengerikan? Tunggu, kalian belum mendengar kelanjutannya.
Dua lelaki di samping saya masih bercakap-cakap. Kali ini, Lelaki Kedua yang bertanya, “Umpama—sekali lagi, umpama—ada anggota keluargamu, atau pacarmu, yang diperkosa, apa yang akan kamu lakukan?”
Lelaki Pertama menjawab, “Aku akan membunuh si pemerkosa, bagaimana pun caranya. Jika aku bisa menemukannya sebelum dia tertangkap polisi, aku akan langsung membantainya. Perkara aku kemudian dihukum karena pembunuhan, persetan! Membunuh pemerkosa, bagiku, lebih mulia daripada menjadi pelaku pemerkosaan. Bajingan-bajingan di penjara pun pasti memahami hal itu.”
Lelaki Kedua kembali bertanya, “Bagaimana kalau ternyata si pemerkosa keburu tertangkap polisi, sebelum kamu menemukannya?”
“Maka aku akan menunggu si pemerkosa keluar dari penjara, lalu menghabisinya,” jawab Lelaki Pertama. “Jika itu terlalu lama, maka aku yang akan masuk ke penjara, dan menghabisinya di sana.”
Saya hanya mendengarkan... membiarkan dua lelaki itu bercakap-cakap. Oh, saya tidak mengenal mereka, sebagaimana mereka tidak mengenal saya.
Sebagian orang mungkin menilai dua lelaki itu berpotensi melanggar hak asasi manusia. Tetapi, pernahkah kita membayangkan bahwa bisa jadi banyak orang yang berpikir seperti mereka?
Dalam banyak kasus perkosaan yang terus terjadi di Indonesia, ada dua hal yang patut dikhawatirkan. Pertama, jika para pemerkosa tidak dihukum seberat-beratnya, maka kasus-kasus perkosaan bisa jadi akan terus muncul. Sekali lagi, Afrika dan India, juga Pakistan, bisa menjadi contoh nyata dalam hal ini. Sebagai ilustrasi, pada 2012 terjadi 24.923 kasus pemerkosaan di India, dan hampir sepertiga korban berusia di bawah 18 tahun. Angka itu menunjukkan bahwa di India ada 68 kasus perkosaan yang terjadi setiap hari!
Di India, pemerkosaan bisa dibilang “menu harian” akibat banyaknya kasus perkosaan yang terjadi di sana. Setali tiga uang dengan Afrika. Sementara di Pakistan, pelaku pemerkosaan menganggap perkosaan terhadap wanita sebagai “olahraga ringan”. Itu contoh-contoh nyata sekaligus mengerikan yang telah terjadi, akibat pemerkosa merasa “aman-aman saja” melakukan kejahatan perkosaan.
Lanjut ke sini: Hukuman untuk Pemerkosa (2)