Terpujilah orang-orang yang tersenyum.
Dan terberkatilah mereka yang tersenyum kepada kita.
Senyum memberitahu, dunia masih baik-baik saja.
—@noffret
Dan terberkatilah mereka yang tersenyum kepada kita.
Senyum memberitahu, dunia masih baik-baik saja.
—@noffret
Akhir bulan Mei kemarin, ada yang ramai di internet. Yaitu kisah pelecehan pramugari maskapai Garuda Indonesia rute Jakarta-Yogyakarta. Kisahnya, sebagaimana yang kita tahu, seorang pramugari menawari minuman pada penumpang. Si penumpang menjawab ingin susu. Lalu penumpang sebelahnya menimpali, “Susu kanan atau kiri?” Kemudian keduanya tertawa-tawa. Kedua penumpang itu tentu saja laki-laki.
Si pramugari merasa dilecehkan. Ia pun melaporkan peristiwa tak menyenangkan itu kepada pimpinan penerbangan. Saat pesawat mendarat di bandara Adisucipto, Yogyakarta, kedua penumpang tadi dijemput petugas keamanan penerbangan (Aviation Security) dan tim Garuda Indonesia. Keduanya sempat diperiksa, meski kemudian kasus dinyatakan selesai secara kekeluargaan, setelah kedua penumpang tadi meminta maaf dan mengakui kesalahan.
(Catatan: Saya sengaja menuliskan kalimat pelecehan itu secara jelas, dengan tujuan untuk dapat dijadikan tolak ukur dalam memahami kalimat pelecehan, agar orang lain tidak mencoba meniru atau membuat variannya).
Dari kisah itu, kita dapat berbaik sangka, bisa jadi penumpang pesawat tadi tidak bermaksud melecehkan. Bisa jadi mereka hanya ingin bercanda atau melontarkan lelucon. Apalagi pramugari pesawat Garuda juga terkenal ramah. Ditawari minuman oleh pramugari cantik yang ramah dan murah senyum, kedua lelaki tadi bisa jadi iseng, dan melontarkan lelucon tersebut.
Tetapi bahkan umpama seperti itu pun, keduanya tetap bersalah, karena melontarkan lelucon yang tidak pantas. Pramugari—dalam hal ini pramugari Garuda—bersikap ramah dan murah senyum, karena mereka dituntut begitu! Keramahan telah menjadi ciri khas bahkan standar dalam layanan penerbangan, karena mereka ingin penumpang nyaman. Artinya, senyum dan keramahan pramugari tidak dimaksudkan untuk hal lain, semisal mengundang kenakalan atau keisengan.
Keramahan memang kadang mengundang salah sangka, apalagi keramahan terhadap lawan jenis yang “kurang pengalaman”. Dalam kehidupan sosial, seseorang kadang bersikap ramah karena murni ingin bersikap ramah—atau dia memang orang yang ramah—tapi orang lain bisa mengartikan keramahan itu sebagai “hal lain”. Laki-laki bersikap ramah pada perempuan, dan si perempuan bisa mengartikannya sebagai upaya pendekatan. Perempuan bersikap ramah pada laki-laki, dan si laki-laki bisa mengartikannya sebagai “undangan”.
Dalam kehidupan sosial yang luas, hal-hal semacam itu kadang tak terhindarkan. Karena orang memang bisa salah sangka. Tetapi, dalam lingkungan terbatas, semisal interaksi dengan pramugari dalam pesawat, interaksi dengan pramuniaga di swalayan, atau interaksi dengan pegawai di bank, keramahan seharusnya dipahami secara dewasa, bahwa mereka—pramugari, pramuniaga, atau pegawai—bersikap ramah semata-mata karena mereka, secara profesional, dituntut bersikap semacam itu.
Dengan kata lain, bahkan jika kita tidak bermaksud melecehkan, kita tetap dapat dituduh melecehkan jika “menyalahtafsirkan” keramahan mereka, dan menggunakannya sebagai bahan lelucon, humor, atau semacamnya.
Karenanya, hati-hati dalam bersikap dan berucap adalah “rumus suci” yang seharusnya diingat siapa pun, di mana pun, kapan pun, dalam kesempatan apa pun. Karena pramugari memang harus ramah. Karena pramuniaga memang harus ramah. Karena pegawai bank memang harus ramah. Bahkan kita pun sebenarnya juga dituntut ramah pada orang lain. Dalam hal ini, kita juga tentu tidak ingin keramahan kita disalahtafsirkan orang lain.
Hati-hati dalam bersikap, hati-hati dalam berucap. Karena tidak setiap orang bisa menerima lelucon, apalagi yang bernada melecehkan.
Sebenarnya, “pelecehan” verbal—sebagaimana yang terjadi pada pramugari Garuda—tidak hanya bisa dilakukan kaum lelaki kepada perempuan. Dalam banyak kesempatan, pelecehan semacam itu bisa pula dilakukan laki-laki kepada laki-laki, atau perempuan kepada perempuan, atau perempuan kepada laki-laki. Cuma, karena istilah “pelecehan” selama ini lekat dengan aksi lelaki kepada perempuan, kita pun mengartikan pelecehan secara sempit.
Di televisi, aksi-aksi pelecehan semacam itu sering terjadi. Di suatu acara audisi musik, misalnya, saya pernah menyaksikan seseorang dilecehkan. Ceritanya, ada peserta audisi (laki-laki) bertubuh kurus. Ketika peserta ini naik ke panggung, pembawa acara—yang semuanya juga di atas panggung—meledek penampilan fisiknya. Salah satu dari mereka berkata, “Ini penyanyi apa stik drum?”
Mereka tertawa-tawa. Dan penonton di studio juga tertawa. Sementara pihak yang diledek tampak salah tingkah.
Tidak lama setelah itu, peserta lain naik ke panggung. Kali ini laki-laki bertubuh gemuk. Sekali lagi ledekan seperti tadi muncul. Salah satu pembawa acara melontarkan ledekan, “Ini penyanyi apa kaleng biskuit?”
Sekali lagi mereka tertawa-tawa. Dan penonton kembali tertawa.
Hal-hal semacam itu biasa muncul di televisi, dalam banyak acara. Para pembawa acara maupun penonton mungkin menganggap itu baik-baik saja. Tetapi lelucon kasar yang menjadikan fisik seseorang sebagai ledekan semacam itu sebenarnya sudah masuk dalam ranah pelecehan, meski dilakukan laki-laki kepada laki-laki, atau perempuan kepada laki-laki, atau perempuan kepada perempuan. Artinya, definisi pelecehan tidak terbatas pada “kata-kata atau sikap kurang ajar” yang dilontarkan laki-laki kepada perempuan.
Lelucon kasar tampaknya menjadi salah satu masalah di televisi, yaitu lelucon yang menjadikan fisik seseorang sebagai bahan humor yang bersifat merendahkan. Padahal, lelucon semacam itu bukan hanya tidak baik—karena bisa membuat si objek lelucon tersinggung—tapi juga mencerminkan sikap tidak berpendidikan. Kalau mau menggunakan kalimat kasar, lelucon yang menjadikan fisik seseorang sebagai sarana humor untuk merendahkan adalah lelucon kampungan!
“Sikap tidak berpendidikan” bukan berarti pelakunya tidak mengenyam bangku pendidikan. “Sikap tidak berpendidikan” artinya kurang bisa menjaga moral, sikap, dan ucapan, di hadapan orang lain.
Menyalahgunakan keramahan orang lain untuk melecehkan, menggunakan kekurangan fisik orang lain untuk lelucon yang merendahkan, itu ciri orang tidak berpendidikan. Kalau memang bertujuan melontarkan humor atau lelucon, carilah yang netral, yang tidak akan menimbulkan masalah, yang tidak akan membuat orang lain tersinggung. Pelawak bukanlah pelawak jika materi humornya masih menggunakan kekurangan orang lain sebagai sasaran lelucon.
Beberapa humor internal—humor yang hanya dilontarkan di lingkungan terbatas—kadang memang kasar atau bahkan vulgar. Khususnya humor di kalangan laki-laki. Itu masih tidak masalah, selama humor itu benar-benar hanya dilontarkan di kalangan internal, yang sama-sama menyadari itu sebatas humor. Tetapi humor kasar atau vulgar bisa membuat orang lain tersinggung atau tidak nyaman, jika dibawa atau digunakan di lingkungan lain.
Karenanya, hati-hatilah dalam bersikap, hati-hatilah dalam berucap. Tidak selamanya yang kita anggap lucu juga dianggap lucu oleh orang lain.
Sebenarnya, kasar atau halus, sopan atau vulgar, bisa jadi sangat relatif. Artinya, sebagian orang bisa saja menganggap sesuatu sebagai kasar atau vulgar, sementara sebagian yang lain menganggapnya biasa. Dalam hal ini, jika kita memang ingin melontarkan sesuatu yang mungkin kasar atau vulgar, jangan menggunakan seseorang sebagai sasaran yang memungkinkan dia tersinggung.
Ada banyak lagu yang liriknya mengandung kata-kata kasar atau makian. Ada banyak tulisan yang di dalamnya mengandung kata-kata kasar atau makian. Ada materi lawakan yang mengandung kata-kata kasar atau makian. Bahkan ada ceramah yang mengandung kata-kata kasar atau makian. Jika kita memang ingin menggunakan kata-kata kasar atau makian semacam itu, gunakanlah secara bijak dan hati-hati, sehingga kata-kata kasar atau makian yang kita gunakan tidak sampai menyinggung perasaan orang lain.
Seperti kisah yang terjadi di pesawat Garuda. Kalau saja lontaran humor seperti di atas hanya diucapkan dua penumpang secara internal—tanpa ada pramugari atau orang lain di dekat mereka—mungkin tidak akan jadi masalah. Yang menjadikannya masalah, karena lontaran humor itu diucapkan di depan orang lain, dengan cara menggunakan orang lain (pramugari) sebagai sasaran humor. Mungkin bagi si pelontar humor terasa lucu. Tapi tentu tidak bagi si pramugari.
Dalam hal keramahan, Garuda Indonesia punya reputasi yang baik—para pramugari dan awak kabin mereka memang terkenal ramah. Tahun lalu, pada 2015, Garuda Indonesia mendapat penghargaan “The World’s Best Cabin Crew 2015” dari Skytrax, lembaga konsultan asal Inggris yang melakukan riset dan menyusun peringkat maskapai-maskapai penerbangan di dunia. Penghargaan serupa juga dimenangkan Garuda Indonesia pada tahun sebelumnya.
Karenanya, kita pun yakin para pramugari dan awak pesawat Garuda akan tetap tersenyum ramah pada penumpang, meski ada insiden tempo hari yang kurang menyenangkan. Bagaimana pun, selain tuntutan profesionalitas, senyum dan keramahan adalah bahasa universal yang bisa dipahami manusia, terlepas apa pun bahasa yang digunakan.