مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّار
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”
(Muttafaqun ‘Alaihi, dari Abu Hurairah,
Al-Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainnya)
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.”
(Muttafaqun ‘Alaihi, dari Abu Hurairah,
Al-Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainnya)
Salah satu “hoax” di dunia hadist yang sangat terkenal, berbunyi, “Berbukalah dengan yang manis.” Hadist yang sebenarnya hoax itu menyiratkan agar umat Muslim berbuka puasa dengan makanan atau minuman yang manis-manis. Hadist hoax itu sering disebut-sebut saat bulan Ramadan tiba, dan ada banyak orang yang percaya itu benar-benar hadist. Oh, well, tampaknya itu bahkan menjadi hadist paling terkenal selama bulan puasa.
Padahal, sekali lagi, itu hanya hoax!
Saya sengaja menyebutnya “hoax”, bukan “hadist palsu”, karena kenyataannya memang tidak ada satu pun hadist yang menyatakan agar kita berbuka dengan yang manis. Sekadar catatan, “hadist palsu” adalah hadist yang bisa kita temukan, namun sebenarnya tidak pernah diucapkan Nabi Muhammad SAW. Karenanya, hadist palsu benar-benar ada, tapi tidak benar alias palsu. Sedangkan “berbukalah dengan yang manis” bukan hadist palsu, karena hadist itu tidak pernah ada. Karenanya saya sebut hoax!
Jadi, dari mana sebenarnya hoax itu bisa muncul hingga sangat terkenal?
Sebenarnya, terus terang, saya segan membahas hal-hal seperti ini. Karena saya bukan ustad, juga karena saya tidak ingin bertingkah sok ustad! Tetapi persoalan ini—dan beberapa persoalan lain terkait hadist populer di bulan puasa—telah lama menggelisahkan pikiran dan hati saya. Karenanya, sekarang, saya terpaksa menuliskannya di sini.
Mari kita mulai dengan hadist sahih berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Dari Anas bin Malik, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum shalat dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada ruthab beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada tamr beliau meminum seteguk air.”
Selain hadist di atas, ada varian hadist lain yang sama-sama sahih, dan isi hadist-hadist tersebut bisa dibilang tidak jauh berbeda dengan hadist di atas. Point penting yang perlu diperhatikan dalam hadist tersebut adalah ruthab, tamr, dan air.
“Ruthab” adalah kurma muda, atau kurma segar, yang masih berair, sehingga biasa disebut kurma basah. Sedangkan “tamr” adalah kurma kering seperti yang biasa kita lihat di pasaran. Sementara “air” yang dimaksud dalam hadist tersebut tentu air putih, bukan teh manis atau jus avokad atau kolak atau bubur kacang ijo.
Berdasarkan hadist tersebut, apakah kita menemukan kata atau kalimat atau frasa atau ungkapan “yang manis”? Tidak! Tetapi, hoax berbunyi “berbukalah dengan yang manis” berpangkal tolak dari hadist tersebut. Jadi, mari kita telusuri sumbernya.
Ar-Rauyani, seorang ulama Syafi’iyah, meng-qiyas-kan “kurma” pada hadist di atas dengan “sesuatu yang manis”. Hal itu dinyatakan Taqiyuddin Al-Hushni, saat menulis kitab Kifayatul Akhyar. Taqiyuddin Al-Hushni menyatakan kalimat berikut:
وَيسْتَحب أَن يفْطر على تمر وَإِلَّا فعلى مَاء للْحَدِيث وَلِأَن الحلو يُقَوي وَالْمَاء يطهر وَقَالَ الرَّوْيَانِيّ إِن لم يجد التَّمْر فعلى حُلْو لِأَن الصَّوْم ينقص الْبَصَر وَالتَّمْر يردهُ فالحلو فِي مَعْنَاهُ
Artinya: “Dianjurkan berbuka dengan kurma, atau jika tidak ada maka dengan air, berdasarkan hadist ini. Karena yang manis-manis itu menguatkan tubuh, dan air membersihkan tubuh. Ar-Rauyani berkata, ‘Kalau tidak ada kurma, maka dengan yang manis-manis. Karena puasa melemahkan pandangan, dan kurma menguatkan, dan yang manis-manis semakna dengan kurma’.” (Kifayatul Akhyar).
Inilah asal usul hoax “berbukalah dengan yang manis”, yaitu qiyas yang dilakukan Ar-Rauyani terhadap hadist sahih di atas. Yang menjadi masalah, qiyas tersebut telah dibantah oleh mayoritas ulama, termasuk para ulama dari kalangan Syafi’iyah sendiri. Dengan kata lain, pendapat atau qiyas Ar-Rauyani gugur.
Zainuddin Al-Malibari, dalam kitab Fathul Mu’in, menjelaskan, “Syaikhan (An-Nawawi dan Ar-Rafi’i) mengatakan: ‘Tidak ada yang lebih afdal dari kurma selain air minum’. Pendapat Ar-Rauyani bahwa makanan manis lebih afdal dari air adalah pendapat yang lemah.” Pendapat tersebut juga didukung oleh banyak ulama lain yang sama-sama menyatakan bahwa pendapat atau qiyas Ar-Rauyani lemah.
(Penjelasan mengenai hal ini—qiyas dan segala macam terkait hadist—sebenarnya bisa panjang lebar. Tetapi catatan ini bisa sangat panjang sekali jika saya harus menjelaskannya sampai detail, dan saya ingat bahwa blog ini bukan forum bahtsul masa’il).
Sekarang, kita masuk poin penting mengenai hoax “berbukalah dengan yang manis”. Kenapa “hadist hoax” itu perlu dibahas dan dipikirkan? Karena “hadist hoax” itu sesat dan menyesatkan!
Ketika berpuasa seharian, dan tidak makan serta tidak minum apa pun, kadar gula dalam tubuh kita turun. Jika kita berbuka puasa dengan yang manis-manis, kadar gula kita akan langsung melonjak, dan itu tidak baik, karena sangat tidak sehat. Karenanya, hoax yang menyatakan “berbukalah dengan yang manis” adalah hoax yang sesat sekaligus menyesatkan.
Lalu bagaimana dengan kurma? Bukankah kurma juga manis? Kurma adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate). Ketika dimakan saat berbuka puasa, kurma—yang merupakan karbohidrat kompleks—membutuhkan proses pencernaan yang lama. Karenanya, kadar gula dalam tubuh kita tidak langsung melonjak.
Sebaliknya, makanan atau minuman manis—yang umumnya menggunakan gula—adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate) yang sangat cepat tercerna. Ketika makanan atau minuman semacam itu digunakan untuk berbuka puasa, maka gula darah dalam tubuh kita seketika melonjak. Dan, sekali lagi, itu tidak sehat, bahkan merusak kesehatan.
Jadi, kita lihat, “berbukalah dengan yang manis” itu hoax! Sesat sekaligus menyesatkan!
Lalu kenapa ungkapan itu dipercaya banyak orang sebagai hadist? Jawabannya merujuk pada penjelasan di atas. Yang menjadi masalah di sini, ada ustad seleb yang kebetulan menggunakan qiyas atas hadist di atas, dalam ceramah-ceramahnya di televisi. Ustad seleb tersebut sama sekali tidak paham—atau tidak tahu—bahwa qiyas terhadap hadist sahih itu telah dibantah mayoritas ulama, sehingga tidak bisa digunakan. Yeah, namanya juga ustad seleb!
Dari ustad seleb itu pulalah, orang-orang kemudian percaya bahwa “berbukalah dengan yang manis” benar-benar hadist. Kita lihat...? Hanya karena ada orang yang tidak belajar dengan benar—tapi terkenal—ada jutaan orang yang tersesat!
Ustad seleb itu—dan para pengikutnya—mungkin tidak tahu bahwa:
كَفَى بِالمَرْءِ إِثْمًا أنْ يُحَدِّثَ بكلِّ ما سمعَ
“Cukuplah seseorang dikatakan pendusta, jika ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.” (Hadist riwayat Abu Daud, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah)
Maksud hadist tersebut adalah, "Sebelum menyampaikan sesuatu kepada orang lain, lakukan klarifikasi terlebih dulu, agar yang kita sampaikan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, sehingga bukan malah menyesatkan." Karena benar dan tampak benar adalah dua hal yang berbeda.
“Cukuplah seseorang dikatakan pendusta, jika ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.” (Hadist riwayat Abu Daud, disahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah)
Maksud hadist tersebut adalah, "Sebelum menyampaikan sesuatu kepada orang lain, lakukan klarifikasi terlebih dulu, agar yang kita sampaikan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, sehingga bukan malah menyesatkan." Karena benar dan tampak benar adalah dua hal yang berbeda.
Selain hadist hoax di atas, ada cukup banyak hadist lain, yang bisa dibilang sangat populer—khususnya di bulan puasa—padahal hadist-hadist palsu, atau setidaknya hadist lemah. Orang-orang yang sok ustad sering menggunakan hadist-hadist palsu itu dalam ceramah mereka, tanpa menyadari bahwa itu sebenarnya hadist palsu atau hadist lemah (dhaif).
Sekali lagi, uraian dan penjelasan mengenai apa itu hadist palsu serta hadist lemah, dan konsekuensi serta implikasinya, bisa sangat panjang sekali jika saya harus menjelaskannya di sini. Jadi, mari kita langsung melihat hadist-hadist populer, yang diyakini banyak orang sebagai hadist sahih, tapi sebenarnya palsu atau lemah. Kita mulai dari hadist ini:
Sekali lagi, uraian dan penjelasan mengenai apa itu hadist palsu serta hadist lemah, dan konsekuensi serta implikasinya, bisa sangat panjang sekali jika saya harus menjelaskannya di sini. Jadi, mari kita langsung melihat hadist-hadist populer, yang diyakini banyak orang sebagai hadist sahih, tapi sebenarnya palsu atau lemah. Kita mulai dari hadist ini:
صُومُوا تَصِحُّوا
“Berpuasalah, maka kalian akan sehat.” (HR. Abu Nu’aim)
“Berpuasalah, maka kalian akan sehat.” (HR. Abu Nu’aim)
Hadist ini lemah atau dhaif. Kenyataan itu telah ditegaskan oleh Al-Hafidz Al-Iraqi dalam kitab Takhrijul Ihya, juga oleh Al-Albani dalam kitab Silsilah Adh-Dha’ifah. Ash-Shaghani bahkan mengatakan hadits itu maudhu (palsu) dalam kitabnya, Maudhu’at Ash-Shaghani.
Karenanya, jika memang penelitian ilmiah dari para ahli medis atau ilmuwan menemukan bahwa puasa memang dapat menyehatkan tubuh, maka makna hadist ini benar. Meski begitu, hadist ini tidak boleh dianggap atau disebut sebagai hadist Nabi, karena para ulama telah menegaskan itu hadist dhaif. (Perhatikan, bahkan umpama memiliki makna atau kandungan yang benar, sesuatu tidak bisa disebut hadist, jika kadar kesahihannya meragukan.)
Sekarang, lihat hadist yang sangat populer ini:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalannya akan dilipatgandakan pahalanya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Sama seperti hadist sebelumnya, hadist ini juga dhaif atau lemah. Al-Hafidz Al-Iraqi dalam Takhrijul Ihya, dan Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah telah menegaskan hadist itu dhaif.
Selain hadist di atas, ada pula riwayat lain:
Karenanya, jika memang penelitian ilmiah dari para ahli medis atau ilmuwan menemukan bahwa puasa memang dapat menyehatkan tubuh, maka makna hadist ini benar. Meski begitu, hadist ini tidak boleh dianggap atau disebut sebagai hadist Nabi, karena para ulama telah menegaskan itu hadist dhaif. (Perhatikan, bahkan umpama memiliki makna atau kandungan yang benar, sesuatu tidak bisa disebut hadist, jika kadar kesahihannya meragukan.)
Sekarang, lihat hadist yang sangat populer ini:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalannya akan dilipatgandakan pahalanya.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Sama seperti hadist sebelumnya, hadist ini juga dhaif atau lemah. Al-Hafidz Al-Iraqi dalam Takhrijul Ihya, dan Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dha’ifah telah menegaskan hadist itu dhaif.
Selain hadist di atas, ada pula riwayat lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa senantiasa dalam ibadah, meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
“Orang yang berpuasa senantiasa dalam ibadah, meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam, dan telah dinyatakan sebagai hadist dhaif oleh Al-Albani dalam kitab Silsilah Adh-Dhaifah.
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Karenanya, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa pasti bernilai ibadah. Orang yang tidur karena memang malas, tidak bisa disebut ibadah. Malas kok ibadah!
Lanjut. Perhatikan hadist populer ini:
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَة كُلّهَا
“Seandainya hamba-hamba itu tahu apa yang ada pada bulan Ramadan (keutamaannya), niscaya umatku akan berangan-angan bahwa satu tahun adalah bulan Ramadan seluruhnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Pernah mendengar hadist itu? Kemungkinan besar pernah, karena hadist itu biasa diocehkan ustad-ustad seleb di televisi saat bulan puasa tiba. Padahal, itu hadist palsu!
Dalam sanad hadist di atas terdapat nama Jarir bin Ayyub, sebagai salah satu rawi (orang yang meriwayatkan hadist). Dia tidak bisa dipercaya sebagai rawi. Ibnul Jauzi, dalam kitab Al-Maudhu’at, dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah, menghukumi Jarir bin Ayyub sebagai perawi yang suka memalsukan hadist (pendusta). Lebih lanjut mengenai hal ini bisa dilihat di dalam kitab Lisanul Mizan karya Ibnu Hajar.
Lanjut ke sini: Hadist-hadist Palsu di Bulan Puasa (2)
Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Karenanya, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa pasti bernilai ibadah. Orang yang tidur karena memang malas, tidak bisa disebut ibadah. Malas kok ibadah!
Lanjut. Perhatikan hadist populer ini:
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ السَّنَة كُلّهَا
“Seandainya hamba-hamba itu tahu apa yang ada pada bulan Ramadan (keutamaannya), niscaya umatku akan berangan-angan bahwa satu tahun adalah bulan Ramadan seluruhnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
Pernah mendengar hadist itu? Kemungkinan besar pernah, karena hadist itu biasa diocehkan ustad-ustad seleb di televisi saat bulan puasa tiba. Padahal, itu hadist palsu!
Dalam sanad hadist di atas terdapat nama Jarir bin Ayyub, sebagai salah satu rawi (orang yang meriwayatkan hadist). Dia tidak bisa dipercaya sebagai rawi. Ibnul Jauzi, dalam kitab Al-Maudhu’at, dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah, menghukumi Jarir bin Ayyub sebagai perawi yang suka memalsukan hadist (pendusta). Lebih lanjut mengenai hal ini bisa dilihat di dalam kitab Lisanul Mizan karya Ibnu Hajar.
Lanjut ke sini: Hadist-hadist Palsu di Bulan Puasa (2)