Pagi bising, siang bising, sore bising, malam bising.
Ya Tuhan, di manakah Keheningan?
—Twitter, 9 Juni 2016
Ujian terbesar bulan puasa, bagiku, bukan apa pun.
Tapi kebisingan luar biasa yang ditimbulkannya.
—Twitter, 20 Juni 2016
Selama bulan puasa, aku sulit sekali menikmati keheningan, karena
setiap waktu, setiap saat, udara dikepung suara, TOA, dan kebisingan.
—Twitter, 20 Juni 2016
Dari pagi sampai pagi lagi, nyaris tidak ada jeda. Semuanya terus
menerus diserbu kebisingan, kebisingan, dan kebisingan.
—Twitter, 20 Juni 2016
Aku khawatir, lama-lama orang akan memaknai bulan puasa sebagai waktu
untuk mengumbar kebisingan, sehingga makin jauh dari keheningan.
—Twitter, 20 Juni 2016
Anak-anak meledakkan petasan, orang-orang dewasa mengambil TOA
dan mengumbar kebisingan, sementara teriakan-teriakan terus memecah malam.
—Twitter, 20 Juni 2016
Ramadan pasti akan jauh lebih khusyuk, kalau saja manusia bisa
menikmatinya dalam keheningan, dan menjalaninya dengan keheningan.
—Twitter, 20 Juni 2016
Hakikat puasa sebenarnya ibadah hening, karena tidak membutuhkan
suara atau apa pun, selain urusan internal manusia dengan Tuhannya.
—Twitter, 20 Juni 2016
Tapi manusia tampaknya telah mencandu kebisingan, sehingga ibadah
yang hening sekali pun harus dirayakan dengan aneka suara dan kebisingan.
—Twitter, 20 Juni 2016
Manusia sepertinya belum merasa hidup, bahkan belum merasa beribadah,
sebelum memekakkannya dalam aneka suara dan kebisingan.
—Twitter, 20 Juni 2016
Ya Tuhan, aku merindukan heningku. Aku merindukan keheninganku.
—Twitter, 20 Juni 2016
*) Ditranskrip dari timeline @noffret.