Jumat, 05 Februari 2016

Maaf

Yang merasa kirim e-mail tapi belum juga dibalas,
mohon maaf, ya. Yang masuk makin banyak,
tapi waktuku makin sedikit. Jadi tolong dimaklumi.
@noffret


Teman-teman, saya menulis catatan ini dengan perasaan tidak enak. Namun, saya terpaksa menulisnya sekarang, karena saya pikir harus diungkapkan, demi kenyamanan kita bersama.

Ini tentang e-mail yang kalian kirim kepada saya. Selama ini, saya selalu berusaha membalas setiap e-mail yang dikirim ke alamat e-mail saya. Sebisa mungkin, di sela-sela kesibukan, saya berusaha membalas setiap e-mail secara pribadi, sebagaimana yang diharapkan oleh si pengirim. Selama ini pula, meski sedikit repot, saya mampu membalas banyak e-mail yang dikirim dari banyak orang. Tetapi, tampaknya, makin hari jumlah e-mail di inbox saya makin menumpuk, dan saya makin kewalahan.

Sebelum saya ngoceh panjang lebar, silakan lihat skrinsut berikut. Ada 7.506 e-mail yang menumpuk di inbox saya, yang belum terbaca.


Tujuh ribu lima ratus enam e-mail! Cobalah pikirkan, itu kira-kira saya bacanya gimana? Bahkan untuk membacanya saja, dibutuhkan waktu sangat lama. Belum lagi jika harus membalas satu per satu.

Selama ini, biasanya saya membalas e-mail di sela-sela kesibukan. Misalnya, saat di kafe atau warung makan, dan menunggu pesanan disiapkan, saya membuka ponsel dan membalas e-mail-e-mail yang tidak membutuhkan jawaban panjang. Sementara e-mail yang membutuhkan jawaban atau balasan panjang membutuhkan waktu tersendiri, karena saya tentu harus menjawab dengan baik, sekaligus ramah, dan menyenangkan.

Yang jadi masalah, lebih banyak e-mail yang membutuhkan jawaban panjang, daripada e-mail yang bisa dijawab sekadarnya. Akibatnya, banyak e-mail yang telah saya buka dan baca, tapi kemudian menumpuk tanpa bisa saya balas, karena saya harus meluangkan waktu khusus untuk membalas e-mail-e-mail tersebut. Susahnya, waktu saya makin hari makin sedikit, sementara kesibukan saya—di dunia nyata—makin hari makin banyak.

Selain waktu yang makin terbatas, problem lain menyangkut hal ini adalah emosi saya yang sering tidak stabil. Pekerjaan dan aktivitas saya sehari-hari menuntut konsentrasi yang tinggi, dan itu sering membuat saya sangat stres. Ketika stres, emosi jadi tidak stabil, dan saya kadang mudah marah. Ketika itu terjadi, saya tidak mungkin membalas e-mail—jangankan membalas, melihat inbox saja sudah malas.

Karena itu, selama ini, saya hanya membalas e-mail ketika sedang fresh. Kenapa ini penting? Karena emosi sering mengalir ke dalam tulisan!

Jika saya memaksakan diri membalas e-mail dalam kondisi stres, yang artinya sedang mudah marah, maka emosi kemarahan saya akan mengalir ke dalam tulisan, dan emosi itu akan terbaca (terasa) oleh si penerima e-mail. Saya tidak menginginkan hal semacam itu terjadi. Saya ingin, ketika orang membaca balasan e-mail saya, dia merasakan keramahan yang menyenangkan.

Karena itulah, saya hanya membalas e-mail ketika pikiran benar-benar fresh, sehingga bisa membalas dengan nada ramah, akrab, dan menyenangkan. Itu upaya saya dalam menghormati si pengirim e-mail. Dia telah menyempatkan diri untuk menyapa saya, dan saya pun berkewajiban membalas sapaannya dengan baik. Itu cara kita memanusiakan manusia.

Nah, yang jadi masalah, seperti yang dibilang tadi, waktu saya sangat terbatas, dan kondisi fresh saya juga makin jarang. Sementara e-mail terus datang nyaris tanpa henti, dan semuanya tentu meminta atau membutuhkan balasan. Semula, meski stres menghadapi inbox, saya masih berusaha komitmen untuk membalas setiap e-mail yang masuk, tapi komitmen itu sekarang tampaknya harus berbenturan dengan realitas. Bagaimana pun, saya manusia biasa—bukan mesin.

Akhir-akhir ini, karena sulitnya meluangkan waktu untuk membalas setiap e-mail, saya kadang baru bisa membalas e-mail yang datang enam bulan lalu. Ada pula e-mail yang telah dikirim setahun lalu, baru bisa saya balas. Sejujurnya, saya merasa sangat tidak enak.

Jadi, Kawan-kawan, melalui catatan ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal, agar kita sama-sama nyaman.

Pertama, saya mempersilakan siapa pun untuk tetap berkirim e-mail kepada saya, tapi sekarang saya tidak bisa menjamin akan membalas setiap e-mail yang masuk. Saya minta maaf untuk hal ini, dan sangat berharap kalian dapat memaklumi. E-mail yang berjumlah puluhan mungkin masih bisa saya tangani. Tapi ribuan e-mail... well, bisa-bisa saya tua di depan G-Mail!

Kedua, saya berjanji untuk membaca semua e-mail kalian (khususnya yang saat ini telah masuk inbox saya). Rencananya, karena saya tidak bisa membalas satu per satu, saya akan mengambil benang merah dari banyak e-mail yang ada, untuk kemudian menjadikannya bahan tulisan di blog. Misalnya soal menulis, soal belajar, dan lain-lain. Jadi, seiring waktu, ada kemungkinan hal-hal yang kalian tanyakan di e-mail akan muncul sebagai posting di blog ini. Saya pikir itu cukup fair.

Ketiga, jika e-mail pertamamu tidak/belum dibalas, sebaiknya tidak usah mengirim e-mail lain berisi hal sama. Itu cuma akan menambah tumpukan e-mail di inbox, dan membuat saya makin stres.

Keempat, saya telah beberapa kali menjelaskan di blog, bahwa saya sudah mengundurkan diri dari aktivitas publik sejak 2006. Artinya, sejak 2006, saya tidak bisa lagi menerima undangan berbicara atau tampil di hadapan publik di mana pun, kapan pun, dengan alasan apa pun, tak peduli siapa pun yang mengundang.

Jangankan undangan dari orang atau lembaga yang tidak saya kenal, bahkan undangan dari kampus saya sendiri pun terpaksa saya tolak. Permintaan dari penerbit saya untuk berbicara di depan publik juga tidak bisa saya penuhi, karena saya telah memutuskan untuk menjalani hidup seperti yang saya jalani sekarang—dalam sunyi, tanpa publisitas, dan menjadi orang biasa yang tak dikenal.

Karena itu, tidak perlu repot-repot berkirim e-mail jika isinya undangan semacam itu, sebab saya pasti tidak akan bisa memenuhi. Dan, tolong dicatat, saya bukan orang yang menggilai publisitas. Karenanya pula, tidak usah menjanjikan macam-macam—seperti liputan koran atau televisi—karena sama sekali tidak akan menarik hati saya. Bahkan umpama Kick Andy atau Mata Najwa mengundang saya pun, saya tidak tertarik!

Jadi, Kawan-kawan, saya berharap catatan ini bisa dipahami, dan permintaan maaf saya bisa kalian maklumi. In fact, saya sangat menghargai e-mail kalian, dan—seperti yang telah dinyatakan di atas—saya berjanji untuk membaca setiap e-mail yang telah kalian kirim. Namun, karena saya manusia biasa, dengan waktu terbatas, dengan energi terbatas, dengan pikiran terbatas, tolong pahami dan maafkan keterbatasan saya.

 
;