Sabtu, 20 Februari 2016

Kesadaran yang Terlambat

Pengalaman membuktikan bahwa sebagian besar waktu
sebenarnya diboroskan bukan dalam hitungan jam, tapi menit.
Sebuah ember yang dasarnya berlubang, juga akan menjadi
sama kosong seperti ember yang ditendang.
Paul J. Meyer


Pada awal 2015 (satu tahun yang lalu), di buku agenda, saya telah menulis setumpuk hal yang akan saya lakukan dalam setahun mendatang—menyangkut pekerjaan, dan hal-hal lain dalam kehidupan pribadi. Bisa dibilang, daftar yang saya susun adalah daftar penting, karena berhubungan dengan hal-hal yang memang harus saya lakukan. Dengan perhitungan waktu yang cukup akurat, saya akan mampu melakukan, mengerjakan, dan menyelesaikan banyak hal dalam daftar tersebut.

Tetapi, ironisnya, sampai setengah tahun kemudian, saya belum menghasilkan apa pun!

Kita mungkin pernah—atau bahkan sering—menghadapi kenyataan semacam itu. Di awal tahun, biasanya, kita menyusun resolusi untuk satu tahun ke depan, menumpuk daftar yang akan kita lakukan, atau yang akan kita raih. Tetapi, seiring bulan demi bulan berjalan, daftar resolusi kita hanya ada di atas kertas. Terlihat hebat, tapi tidak ada realisasinya. Mengapa hal semacam itu bisa terjadi?

Saya pun bertanya-tanya pada diri sendiri. Mengapa saya pede menulis setumpuk daftar penting yang akan saya lakukan, tapi nyatanya tidak melakukan apa-apa? Padahal, ketika menulis daftar itu, saya merasa sangat yakin bisa melakukannya. Dalam setahun, saya memiliki waktu sebanyak 365 hari, siang malam, yang bebas digunakan untuk melakukan semua yang ingin dilakukan. Tetapi, sampai setengah tahun, belum juga melakukan apa pun.

Kenyataannya, memang, harapan sering tak sesuai kenyataan. Energi yang seharusnya kita curahkan untuk mewujudkan beberapa hal penting yang seharusnya dilakukan, sering kali justru tersedot oleh hal-hal remeh dan tidak penting yang selalu menyerbu kehidupan kita setiap hari. Semuanya berlangsung tanpa terasa, hingga kemudian waktu habis, satu tahun selesai, dan kita belum melakukan apa pun.

Kenyataan itu seperti menampar kesadaran saya.

Karena mulai menyadari hal itu, saya pun berupaya introspeksi, mengoreksi kesalahan yang mungkin telah saya lakukan, hingga hidup saya berjalan tanpa menghasilkan apa pun. Hasilnya, berdasarkan koreksi, ada banyak hal yang menyita waktu, energi, dan pikiran, tanpa saya sadari. Dan hal itu berlangsung dari hari ke hari, waktu ke waktu, hingga kemudian terakumulasi selama setahun.

Dalam hidup, kita sering berkeinginan mencapai sesuatu. Keinginan itu disebut semangat. Semangat untuk mengubah sesuatu dalam hidup kita, semangat untuk mencapai sesuatu, semangat untuk melakukan sesuatu, dan lain-lain. Tetapi, ternyata, semangat semacam itu tidak permanen ada dalam diri kita. Pada waktu menyusun resolusi awal tahun, mungkin semangat masih menggunung. Tetapi, seiring berjalannya waktu, semangat yang besar itu terkikis perlahan-lahan, tanpa kita sadari.

Semangat di dalam diri kita adalah energi positif. Ketika semangat itu terbentuk pertama kali, kita merasa kuat, merasa mampu, merasa berenergi. Tetapi, ketika hari mulai berjalan, dan kita menghadapi aneka problema hidup, semangat positif itu terkikis perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya habis. Ketika kita kemudian menyadari belum melakukan apa pun sebagaimana yang kita inginkan dalam resolusi, semangat itu telah hilang sama sekali.

Mengapa semangat yang begitu bagus bisa hilang tanpa kita sadari? Dalam Rediscovering the Greatest Human Strength, Roy Baumeister menjelaskan bahwa semangat positif yang kita miliki tak jauh beda dengan cadangan air dalam tangki—punya jumlah terbatas. Dan cadangan itu akan terkuras ketika kita berhadapan dengan tantangan sehari-hari yang selalu datang dalam kehidupan. Dari jalanan macet, kesibukan di sekeliling kita, sampai berita-berita buruk yang kita baca, lihat, dan dengar.

Setiap kali kita menghadapi sesuatu yang menguras emosi, saat itu juga kita mengambil cadangan semangat yang kita miliki. Menghadapi kemacetan, kita menguras emosi. Menghadapi internet lemot, kita menguras emosi. Menghadapi tugas menumpuk, kita menguras emosi. Menghadapi berita buruk di koran atau televisi, kita menguras emosi. Menghadapi hal-hal remeh tapi menjengkelkan di Twitter, kita juga menguras emosi.

Bayangkan sebanyak apa emosi yang harus kita gunakan untuk menghadapi hal-hal semacam itu. Tampaknya sepele, tidak terasa, tapi berlangsung setiap hari, setiap saat, setiap waktu, hingga tanpa terasa pula cadangan semangat kita kian menipis, terus terkikis, hingga akhirnya habis. Ketika satu tahun berlalu, kita tidak melakukan apa pun. Kemudian bengong, dan bertanya-tanya, “Apa yang telah kulakukan...?”

Ketika sampai pada kesadaran semacam itu, saya pun memahami bagaimana waktu saya terbuang dan habis tanpa saya sadari. Ketika asyik di timeline Twitter, menit demi menit berjalan tanpa terasa. Ketika menonton video di YouTube, jam-jam sering kali terbuang tanpa terasa. Ketika asyik berselancar di internet, waktu sering kali berjalan tanpa terasa. Waktu saya hilang. Tapi sesungguhnya bukan hanya waktu yang hilang, namun juga semangat saya, energi saya. Ending-nya, saya tidak melakukan apa-apa.

Saya menyadari, saya yang dulu jauh lebih produktif dari saya yang sekarang. Dulu, saya bisa menulis lebih banyak, bisa membaca buku lebih banyak, dan bisa melakukan lebih banyak hal bermanfaat dalam hidup. Sekarang, saya menulis dalam jumlah sedikit, membaca dalam jumlah sedikit, dan melakukan hal-hal lain yang bermanfaat dalam jumlah sedikit.

Mengapa bisa begitu...?

Jika saya introspeksi, sekali lagi, salah satu hal yang sangat menyita waktu dan energi adalah aktivitas di internet—membaca timeline Twitter, menonton video di YouTube, dan semacamnya. Padahal saya tidak seaktif orang-orang lain yang memiliki banyak akun sosial media. Tetapi bahkan seperti itu pun, waktu saya sudah tersita banyak. Karena itu, saya pun memaklumi ketika sastrawan Eka Kurniawan sampai menutup hingga menghapus akun Twitter-nya, karena menyadari banyaknya waktu yang tersita.

Kini, berdasarkan kenyataan dan kesadaran semacam itu pula, saya terpaksa harus membatasi kebiasaan-kebiasaan yang hanya akan menguras emosi, waktu, dan energi. Dan di waktu-waktu mendatang, mungkin saya akan semakin mengurangi kebiasaan-kebiasaan tersebut, agar bisa lebih produktif. Saya kangen saat-saat bisa menulis puluhan halaman setiap hari. Saya kangen bisa mengkhatamkan banyak buku seperti dulu. Saya pun kangen bisa mengerjakan banyak hal bermanfaat yang memberi kepuasan batin.  

Mungkin kesadaran ini telah terlambat. Tetapi, saya pikir, jauh lebih baik terlambat daripada sama sekali tidak pernah menyadari.

 
;