Forgiveness is between them and God.
It’s my job to arrange the meeting.
—Man on Fire
It’s my job to arrange the meeting.
—Man on Fire
Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.
***
Berdasarkan percakapan dengan bibinya siang itu, Amran sempat berteriak pada ayahnya yang terbaring sekarat, menanyakan apa yang dulu dilakukan ayahnya. Amran ingin ayahnya menjelaskan siapa orang yang dulu bermasalah dengannya, agar Amran bisa menemui keluarganya sekarang. Tapi ayah Amran tidak menjawab, dia tidak mampu menjawab. Dia telah menjadi semacam mayat hidup—masih mampu merasa, melihat, mendengar, tapi tak bisa melakukan apa pun.
Akhirnya, berdasarkan informasi dari sang bibi, Amran mulai melacak ke masa lalu, mencari identitas orang-orang yang dulu bermasalah dengan ayahnya. Melalui cerita tetangga dan famili, akhirnya Amran mengetahui siapa orang yang dimaksud bibinya. Orang yang tanahnya dulu dirampas ayahnya memang telah meninggal, begitu pula istrinya. Tapi orang itu punya satu anak yang masih hidup, bernama Busli. Nama itulah yang kemudian membawa Amran kepada saya, hingga dia menceritakan semua kisah ini.
Dunia ini sempit, kalau dipikir-pikir. Dan Amran tahu, saya mengenal Busli. Dia berharap saya bisa mempertemukan mereka secara baik-baik. Tetapi, sayangnya, Amran tidak tahu siapa Busli.
....
....
Busli adalah lelaki lajang yang antisosial, dan—seperti yang telah saya ceritakan di sini—memiliki perangai yang mengerikan. Saya mengenal Busli melalui Firman, yang pernah saya ceritakan di sini. Sebelum Firman bekerja dengan saya, dia bekerja dengan Busli. Firman dan Busli bersabahat, lalu saya masuk ke dalam persahabatan mereka. Busli tinggal sendirian di sebuah rumah mirip benteng, di kompleks yang terasing. Karena itulah, orang kesulitan menemuinya secara langsung, kecuali saling kenal.
Berbeda dengan Amran yang hangat dan ramah, Busli adalah sosok yang dingin. Bahkan, saya tahu, dia juga pendendam. Busli adalah tipe orang yang dapat menikam seseorang hari ini, karena suatu masalah yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Dan dia mengakui hal itu terang-terangan. Saya bahkan tahu dia berkali-kali berurusan dengan polisi akibat tindak kekerasan yang dilakukannya, meski akhirnya dia selalu dilepas. Semboyan hidupnya adalah kata-kata Don Corleone, “Pembalasan dendam adalah makanan lezat jika disajikan dalam keadaan dingin.”
Firman, orang yang sangat dekat dengan Busli, pernah menyatakan bahwa Busli sebenarnya orang baik. “Selama bertahun-tahun menjadi temannya,” ujar Firman suatu kali, “aku mengenal Busli sebagai orang baik, setia, bisa dipercaya, dan teman yang selalu bisa diandalkan. Tetapi, kalau kau mencari masalah dengannya, kau bisa mengucap selamat tinggal pada hidupmu.”
Kepada orang itulah, Amran—atau ayah Amran—punya masalah. Dari cerita Amran, saya pun akhirnya tahu bahwa Busli adalah anak orang yang dulu tanahnya dirampas ayah Amran. Orangtua Busli memang telah lama meninggal, tapi Busli tidak pernah menceritakan kasus itu, khususnya kepada saya.
Ketika Amran menceritakan kisah itu, dan meminta saya mempertemukannya dengan Busli, saya mengkhawatirkan satu hal. Meski Busli tidak pernah menceritakan kasus itu kepada saya, tapi saya yakin dia masih mengingatnya, dan tidak menutup kemungkinan masih menyimpan dendam pada keluarga Amran. Jadi, untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan, saya pun berkata pada Amran biar saya menemui Busli sendirian dulu, untuk membicarakan hal itu.
Amran setuju.
Jadi, suatu malam, saya pun menemui Busli, dan kami kemudian terlibat pembicaraan kasus itu. Saya menceritakan semua yang terjadi pada keluarga Amran, selengkap dan sedetail mungkin, sampai keputusan Amran yang ingin menemui dan meminta maaf kepadanya. Seperti yang sudah saya duga, Busli tak terpengaruh. Dia justru berkata dengan dingin, “Jadi, orang tua itu sekarang sekarat? Kalau begitu, mungkin aku akan menemuinya di neraka.”
Dari Busli pulalah, akhirnya saya memahami bagaimana kasus perampasan tanah itu terjadi. Kisah berikut ini telah dikonfirmasi oleh Amran yang membenarkan, melalui kesaksian beberapa orang yang dulu menyaksikan peristiwa tersebut.
....
....
Waktu itu Busli masih SMP. Keluarga Busli menempati sebuah rumah di atas tanah milik ayahnya. Selama bertahun-tahun tidak ada masalah yang terjadi, karena kenyataannya memang keluarga Busli memiliki tanah dan membangun rumah secara sah. Sampai kemudian, tiba-tiba, ayah Amran menggugat tanah mereka. Entah bagaimana caranya, ayah Amran menunjukkan seritifikat kepemilikan tanah milik ayah Busli, dan menuntut agar keluarga Busli pergi dari sana.
“Ayahku orang bodoh, juga miskin,” ujar Busli saat menceritakan kisah itu. “Meski dia telah memiliki tanah beserta rumah itu secara sah, tapi dia tidak pernah terpikir untuk membuat sertifikat. Dia orang baik dan jujur, yang percaya bahwa orang lain sebaik dan sejujur dirinya. Tapi rupanya dia keliru. Di dunia ini ada bangsat-bangsat yang bisa merampas milikmu, karena kau bodoh dan miskin. Itulah yang terjadi pada ayahku.”
Jadi, seperti yang diceritakan bibi Amran, ayah Amran waktu itu bersekongkol dengan beberapa pejabat terkait, hingga mampu menerbitkan sertifikat palsu atas nama ayah Amran. Dengan sertifikat itu, keluarga Busli terusir dari tanah dan rumahnya sendiri, dan sejak itu tanah mereka dikuasai ayah Amran. Oleh ayah Amran, tanah itu lalu dijual pada orang lain.
Setelah terusir dari tanah dan rumahnya sendiri, keluarga Busli mengontrak sebuah rumah petak sangat sederhana. Ayah Busli bekerja sebagai buruh pabrik dengan upah pas-pasan. Tidak lama setelah itu, ayah Busli meninggal, bertepatan dengan lulusnya Busli dari SMP. Busli mengatakan, “Ayahku meninggal bukan karena sakit atau karena tua. Dia meninggal karena tekanan batin akibat miliknya dirampas orang lain.”
Sampai di sini, ada hal penting yang juga perlu diungkapkan. Setelah terusir dari tanah mereka sendiri, ayah Busli sering tertekan. Tentu saja dia marah karena miliknya dirampas orang lain. Tetapi dia tidak sanggup melawan orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya. Dorongan kemarahan itu lalu mengubah perangainya, yang semula baik menjadi buruk. Sejak itu pula, Busli sering dianiaya ayahnya.
Untuk hal itu, Busli menyatakan, “Aku tahu, ayahku tidak membenciku—sebelumnya, dia bahkan ayah yang baik. Tetapi, dia marah pada orang-orang yang telah merampas miliknya. Karena dia tidak mampu membalas keparat-keparat yang menjahatinya, dia melampiaskan kemarahannya kepadaku.”
Jadi, sejak itu pula, Busli menjalani hari demi hari dengan kekerasan demi kekerasan yang dilakukan ayahnya. Busli masih dapat mengingat saat kepalanya bocor dihantam plastik berisi kerikil, saat ayahnya tiba-tiba marah suatu hari. Busli juga masih ingat segala luka dan lebam yang pernah ada di tubuhnya, akibat penganiayaan ayahnya.
Busli mengakui, dia membenci ayahnya karena hal itu. Tetapi, dia juga menyadari, bahwa ayahnya melakukan semua kekerasan dan kejahatan itu karena kemarahan pada orang lain yang tak bisa dilampiaskan. Dengan segala kepolosan sebagai bocah waktu itu, Busli berpikir, “Aku adalah korban dari sebuah keadaan terkutuk.”
Setelah ayahnya meninggal, Busli tidak melanjutkan pendidikan, karena tidak ada biaya. Dia membantu ibunya menyambung hidup. Ibu Busli bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tiap sore, ibunya juga menjajakan kue ke kampung-kampung, sementara Busli bekerja apa adanya. Empat tahun setelah ayahnya meninggal, ibunya menyusul. Sejak itu pula, Busli sebatangkara.
Busli mengenang saat-saat itu dengan getir, “Waktu itu, semua familiku menutup mata dan memalingkan muka, seolah tak mengenalku.”
Sendirian, tanpa pengetahuan dan pengalaman, dan tanpa orangtua atau keluarga yang mengayomi, Busli kemudian hidup di jalanan. Dia melakukan apa saja di jalanan demi bisa makan—menjadi pengamen, karnet angkot, calo, juru parkir, sampai mengemis.
Selama hidup di jalanan itu pulalah, Busli mulai mengenal dan mempelajari kekerasan dalam arti sebenarnya. Dia menyadari tidak bisa mengandalkan siapa pun, jadi dia mengandalkan diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, dia pun tumbuh menjadi sosok yang bukan hanya pemberani, tapi juga berbahaya. Dan karena latar belakang hidupnya yang amat getir—dengan segala luka dan amarah—dia juga tumbuh menjadi sosok pendendam.
Jadi, selama bertahun-tahun, dia terus bertahan hidup sendirian, dan pengalaman itu pulalah yang kemudian mempengaruhi bahkan membentuk kepribadian Busli hingga seperti sekarang—dingin, pendendam, berbahaya. Dia pernah mengatakan, “Tidak ada yang kutakuti di dunia ini. Aku tidak punya siapa pun—tidak orangtua, tidak saudara, tidak famili, tidak keluarga. Kesendirian ternyata memungkinkanku untuk melakukan apa pun, tanpa harus mengkhawatirkan siapa pun.”
Selama enam tahun Busli menjalani hidup yang keras di jalanan, sampai suatu peristiwa terjadi, dan mengubah nasibnya.
Waktu itu, Busli terlibat perkelahian di jalanan. Singkat cerita, Busli menikam lawannya, dan kasus itu masuk kantor polisi. Sebenarnya, Busli sudah bolak balik masuk kantor polisi, tapi sebelumnya kasus-kasus yang terjadi bisa dibilang ringan. Kasus penikaman itu merupakan yang terberat, dan Busli harus mendekam di penjara hingga lima bulan.
Sekeluar dari penjara, seseorang menemuinya. Waktu itu, Busli adalah bocah berusia 20-an tahun, tidak punya orangtua, tidak punya keluarga, tidak memiliki teman, dan tidak berhubungan dengan famili mana pun. Dia benar-benar bocah sebatangkara, dalam arti sesungguhnya, dan satu-satunya “keahlian” yang ia miliki hanyalah bertahan hidup di jalanan.
Kepada Busli, orang yang menemuinya menawari pendidikan dan hidup yang layak. “Kalau kau mau,” ujar orang itu, “kami akan menyekolahkanmu sampai perguruan tinggi, dan kami akan membiayai kehidupanmu.”
Tidak ada makan siang gratis, pikir Busli. Jadi, dia pun bertanya, “Dan apa yang harus kulakukan?”
Orang yang menemuinya menjawab, “Aku mewakili sebuah institusi, dan institusi itulah yang akan membiayaimu. Jadi, kalau kau menerima tawaranku, satu-satunya hal yang perlu kaulakukan hanyalah bekerja di institusi kami, begitu kau lulus dari pendidikanmu.”
Busli kembali bertanya, “Kenapa aku harus percaya kepadamu?”
“Kami tahu siapa kau, Nak. Kami tahu semua yang terjadi denganmu.” Lalu orang itu menjelaskan seluruh kehidupan Busli dengan lancar, dari kecil sampai besar, dengan segala peristiwa dan kejadian, hingga Busli benar-benar terkesan.
Peristiwa itu menjadi titik balik dalam kehidupan Busli. Dia lalu masuk SMA, melanjutkan pendidikannya yang terputus, hingga kuliah di perguruan tinggi. Seperti janji sebelumnya, dia lalu bekerja di institusi yang telah membiayainya. Di institusi itulah, dia bertemu dan kenal dengan Firman, hingga mereka bersahabat sampai sekarang.
....
....
Ketika saya menyatakan bahwa Amran ingin menemuinya, Busli mengatakan, “Aku tidak punya masalah dengan Amran, temanmu itu. Toh dia juga belum lahir saat kasus itu terjadi. Tapi aku masih mendendam pada ayahnya, karena dialah penyebab kehancuran keluargaku. Setelah mendengar ceritamu, kupikir dia telah mendapat balasan setimpal.”
Saya bertanya, “Jadi, kau tidak bersedia memaafkan ayah Amran?”
Busli tertawa sumbang. “Yang benar sajalah! Kalau kau menempati posisiku, dan mengalami kehidupan seperti yang kujalani, apakah kau akan memaafkannya?”
Saya terdiam.
Ketika akhirnya Busli dan Amran bertemu, Busli berkata kepada Amran, “Aku tidak punya masalah denganmu, tapi ayahmu punya masalah denganku. Kalau kau meminta aku memaafkannya, terus terang aku tidak bisa. Aku tidak akan pernah memaafkan ayahmu, bahkan kelak sampai di neraka. Oh, kau tentu boleh marah kepadaku, dan itu hakmu. Tapi yang dilakukan ayahmu telah begitu merusakku, hingga aku tak punya apa pun selain luka, dendam, dan kepahitan.”
....
....
Saat saya menulis kisah ini, saya membayangkan Amran dan Busli. Mereka, sebenarnya, anak-anak tak bersalah... sama seperti anak-anak lain yang terlahir murni. Tapi orangtua mereka mewariskan sesuatu—bukan hanya gen dan darah daging, melainkan juga sesuatu yang kemudian membentuk bahkan mempengaruhi takdir mereka.
Orangtua Amran mewariskan luka, begitu pula orangtua Busli. Ayah Amran mungkin mengira perbuatan yang ia lakukan puluhan tahun lalu tidak akan meninggalkan bekas apalagi dampak. Tapi rupanya dia keliru. Sesuatu yang ia rampas dari kehidupan orang lain kemudian berbalik, dan alam semesta merampas apa pun miliknya hingga tidak ada lagi yang tersisa. Bukan hanya dia yang kemudian menanggung akibatnya, tapi juga anak-anaknya yang sebenarnya tak bersalah.
Begitu pula orangtua Busli—sama mewariskan luka meski dari sudut berbeda. Busli, seperti anak-anak murni yang lain, tidak dilahirkan untuk menjadi sosok yang keras apalagi pendendam. Tapi luka yang diwarisi dari orangtuanya kemudian membentuk dirinya, hidupnya, dan pikirannya. Seperti yang dikatakannya kepada Amran, “...yang dilakukan ayahmu telah begitu merusakku, hingga aku tak punya apa pun selain luka, dendam, dan kepahitan.”
Jika Busli dan Amran di masa depan punya anak, saya bertanya-tanya... akan seperti apakah anak-anak mereka kelak?