Jumat, 11 Desember 2020

Omnibus Law dan Dilema Buruh

Ada usul yang terdengar bagus; bagaimana kalau 3 juta (saja) buruh mogok, tenang di rumah, tidak usah masuk kerja?

Mungkin mengingatkan kita pada ahimsa-nya Gandhi. Dan secara teoritis, 3 juta buruh yang tidak masuk kerja bisa menghasilkan efek yang mengerikan bagi industri.

Jika 3 juta buruh benar-benar mogok kerja 30 hari, misalnya, industri akan berdarah-darah, khususnya industri padat karya. Dan polisi atau siapa pun tidak bisa melarang, wong mereka tidak melakukan aksi apa pun, cuma diam di rumah.

Tetapi, sayangnya, usul itu sulit dilakukan.

Mungkin industri memang akan kalang kabut jika 3 juta buruh benar-benar mogok kerja selama 30 hari. Tapi para buruh yang melakukan mogok kerja itu juga akan kalang kabut, karena tidak mendapat penghasilan. Karena menjadi buruh/karyawan artinya, "kerja 1 hari untuk hidup 1 hari".

Posisi tawar buruh, dalam hal ini, juga rendah. Kalau benar 3 juta buruh mogok kerja hingga menyebabkan industri kalang kabut, selalu ada kemungkinan jutaan (calon) buruh lain yang akan menggantikan. Karena faktanya tenaga kerja jauh lebih banyak dibanding lapangan kerja.

Dan, sebenarnya, menurutku, itulah akar masalahnya; jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak, tidak imbang dengan lapangan kerja yang tersedia. Dalam kondisi semacam itu, mengharapkan keadilan nyaris mirip utopia, wong ketidakadilan (ketidakseimbangan) sudah tertanam dalam masalah.

Selama jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak atau tidak imbang dengan lapangan kerja yang tersedia, selama itu pula posisi tawar buruh akan rendah, sekaligus rentan eksploitasi, dan kenyataan saat ini sudah menjadi bukti. Omnibus law bisa ada, karena kita tidak hidup di Narnia.

Kita tentu sepakat, Omnibus law—atau aturan eksploitatif apa pun namanya—adalah sesuatu yang tragis, karena menempatkan manusia (buruh) di titik nadir. Yang belum kita sepakati, mungkin, adalah bahwa kenyataan tragis ini berawal dan berasal dari masalah yang tidak kita sadari.

Tolong maafkan jika ini mungkin terdengar tidak empatik.

Di masa sebelum Black Death menghantam Eropa, posisi buruh (khususnya penggarap lahan milik para tuan tanah) hampir mirip seperti sekarang; posisi tawar rendah, rentan eksploitasi, dengan bayaran pas-pasan untuk hidup.

Kenyataan itu berlangsung bertahun-tahun, sebagian tuan tanah bahkan bisa memecut para pekerjanya seperti budak—saking rendahnya posisi tawar mereka. Lalu Wabah Hitam melanda, menghancurleburkan peradaban, dan menewaskan nyaris separuh populasi di Eropa.

Dan era baru dimulai.

Setelah Wabah Hitam itu berlalu, seiring peradaban runtuh dan nyaris separuh umat manusia di Eropa musnah, para buruh di sana menempati posisi tertinggi yang belum pernah mereka capai sebelumnya. Kali ini, bukan mereka yang butuh tuan tanah; tapi tuan tanah yang butuh mereka.

Dalam posisi semacam itu, bukan tuan tanah yang menentukan harga buruh, tapi buruh yang menentukan harga untuk dirinya sendiri—harga yang layak, harga yang bermartabat, harga yang manusiawi.

Sayang, manusia mudah terlena, dan tak belajar dari sejarah. Omnibus law menampar kita.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Oktober 2020.

 
;