Minggu, 20 Desember 2020

Sejarah Ringkas Dunia dan Umat Manusia

Aku lahir dari kematian. 
Aku ada untuk memercik api kebangkitan seorang manusia, 
untuk memutar roda peradaban. Dan ketika hutan mulai rimbun 
hingga memerlukan pembersihan untuk tumbuh, 
aku ada di sana untuk membakarnya.


Apakah manusia dilahirkan untuk bekerja? Jawabannya tentu tidak! Secara alami, atau kita bisa menyebutnya secara biologi, manusia lahir untuk bersenang-senang dan menikmati kehidupan. Dua hal yang paling penting, sekali lagi secara biologi, adalah kawin dan beranak-pinak.

Ratusan ribu tahun lalu, manusia bisa menikmati kehidupan semacam itu—hanya kawin dan beranak-pinak—sesuai kodratnya sebagai makhluk biologis. Di sela-sela aktivitas kawin dan mengurusi anak, mereka bercocok tanam, memelihara hewan, dan menjalin persahabatan.

Manusia zaman dulu bisa menikmati kehidupan tenang tanpa kerja keras, karena dunia masa lalu memang memungkinkan mereka untuk begitu. Tanah-tanah masih subur dan luas, populasi bumi masih minim, kekerabatan antarmanusia masih rekat, dan uang belum jadi hal penting.

Di masa itu, manusia tidak butuh kerja, apalagi kerja keras—karena buat apa? Kerja bertujuan untuk mendapat uang, dan uang digunakan membeli hal-hal untuk melanjutkan hidup. Di masa itu, manusia bisa menikmati kehidupan tenteram tanpa uang, jadi tidak perlu kerja.

Lalu kehidupan terus berkembang, populasi semakin banyak, tanah-tanah kian menyempit. Hasil bumi yang semula berlimpah, perlahan-lahan surut, makanan mulai sukar diperoleh. Puncaknya, lahir era industri yang mengubah sistem pertanian, manufaktur, transportasi, dan lain-lain.

Era industri memulai zaman baru, era ketika manusia tidak bisa lagi leyeh-leyeh dan rebahan seperti semula, karena kini mereka harus bekerja untuk menghasilkan uang. Karena uang, sejak zaman itu, memiliki nilai tinggi, sebab memungkinkan mereka melanjutkan hidup.

Era industri bukan hanya mengubah wajah dunia, tapi juga mengubah manusia. Dunia yang semula damai, tenang, dan tenteram, berubah hiruk-pikuk dan penuh kesibukan. Manusia yang semula asyik kawin dan beranak-pinak, kini harus meluangkan waktu untuk bekerja demi uang.

Dan era industri terus berevolusi, seperti manusia yang menggerakkannya. Salah satu evolusi penting yang lahir dari era industri adalah sistem kapitalisme. Sistem ini mengubah pedang dan penundukan wilayah dengan kekerasan, menjadi mata uang dan jerat utang berbunga.

Sebelum era industri, sebagian manusia menjadi budak yang diperjualbelikan. Setelah era industri, sebagian manusia adalah sekrup-sekrup yang membantu menggerakkan perdagangan. Setelah lahir sistem kapitalisme, sebagian manusia adalah sapi perah yang diperas untuk keuntungan.

Kapitalisme adalah sistem yang cerdik sekaligus licik. Sistem ini memungkinkan sebagian orang mendapatkan sangat banyak, sekaligus menjadikan sebagian lain hanya mendapat sedikit. Karenanya, dalam kapitalisme, pemodal selalu menang, karena uang telah menjadi tuhan.

Sejak era kapitalisme itulah, manusia berubah menjadi makhluk pekerja, dalam arti harfiah—berangkat pagi, pulang petang, memeras keringat, banting tulang—demi mendapat uang yang merupakan sarana menikmati kehidupan, yang, menurut Sigmund Freud, demi libido.

Manusia sekian ribu tahun lalu, dan manusia yang hidup saat ini, sebenarnya jenis manusia yang sama, yang ingin terus menikmati kesenangan dan bereproduksi. Bedanya, manusia di zaman sekarang terjebak oleh “kebodohan” manusia di zaman ribuan tahun lalu.

Yang merusak kehidupan manusia saat ini, hingga melemparkan banyak orang ke posisi sangat rendah, adalah sistem kapitalisme. Sistem ini tidak hanya membangun dan meruntuhkan negara-negara di dunia, tapi juga menggerogoti moral, sistem nilai, dan akal sehat manusia. 

Dan sistem kapitalisme bisa berjaya, bahkan jadi penguasa, karena adanya era industri. Sementara era industri bisa ada, bahkan menguasai manusia, karena tingginya populasi. Andai populasi manusia tetap rendah, era industri tidak akan laku, dan kapitalisme bisa pergi ke neraka.

Karena itulah, seperti yang disebut tadi, manusia di zaman sekarang terjebak oleh “kebodohan” manusia di zaman ribuan tahun lalu. Mereka, nenek moyang kita, tidak mikir bahwa kalau mereka terus beranak-pinak tanpa terkendali, keberadaan manusia akan serupa hama di bumi.

Omong-omong soal hama. Kita mungkin menganggap belalang sebagai hewan yang lucu, dan bisa jadi kita senang bermain-main dengannya. Jika hanya satu atau dua—atau setidaknya sepuluh—mungkin belalang masih tampak lucu. Tapi bagaimana dengan ratusan juta belalang?

Tempo hari, Afrika Timur diserang ratusan juta belalang—kalian bisa mencari beritanya lewat Google—dan “hewan yang lucu” itu seketika berubah menjadi hama mengerikan yang menghancurkan pertanian, yang mestinya bisa menghidupi 35.000 orang. Itu benar-benar wabah!

Secara biologi, makhluk hidup mana pun akan menjadi hama, jika jumlahnya tak terkendali, dan keberadaannya merusak bumi. Belalang dalam jumlah terkendali adalah populasi. Tapi belalang yang jumlahnya tak terkendali, apalagi merusak, adalah hama. Begitu pun manusia.

Kita telah mendapat kutukan itu, gara-gara manusia zaman kuno tidak mau mikir untuk mengendalikan populasi sejak dini. Mereka terlena oleh aktivitas kawin, leyeh-leyeh, beranak-pinak, kawin lagi, leyeh-leyeh lagi, dan beranak-pinak lagi, dan begitu seterusnya, lalu populasi meledak.

Dampak populasi yang tak terkendali adalah menyempitnya tanah-tanah yang diubah jadi tempat hunian, rusaknya alam karena dieksploitasi habis-habisan, serta berjayanya sistem industri dan kapitalisme yang kini menjerat kita semua dalam kerja keras nyaris tanpa usai, demi uang.

Miliaran orang menjadi pekerja keras, mungkin termasuk kita di antaranya, karena memang dikutuk untuk melakukannya. Kita bukan makhluk pekerja, tapi sistem yang berlaku dalam kehidupan kita sekarang mewajibkan siapa pun untuk bekerja, demi uang untuk melanjutkan hidup.

Jadi, orang-orang yang senang kerja keras bisa jadi karena memang tidak punya pilihan lain. Karena jika tidak bekerja, mereka tidak mendapat uang. Dan kalau tidak mendapat uang, mereka akan kesulitan melanjutkan hidup. Bagi mereka, bekerja keras adalah satu-satunya pilihan.

Kalau kau bisa mendapat uang dan melanjutkan hidup dengan nyaman sambil leyeh-leyeh dan bermalas-malasan, itu privilese! Karena tidak semua orang bisa seperti itu. Terlepas kau benar-benar punya privilese atau dasarnya memang cuma malas kerja, itu urusanmu.

Kenyataannya, kita semua telah terjebak. Terjebak dalam over-populasi, terjebak dalam mesin-mesin industri, terjebak dalam sistem kapitalisme. Akui saja, kita tidak berdaya berhadapan dengan semua itu, dan pilihannya cuma dua; mengikuti sistem, atau berupaya meruntuhkannya.

Mengikuti sistem mungkin terdengar cemen bagi sebagian orang, karena isinya kerja keras, dan aneka hal yang mungkin terdengar seperti omong kosong sekaligus melelahkan, bahkan ketika baru mendengarnya. Jelas tidak cocok bagi orang yang merasa dirinya Che Guevara.

Sementara pilihan kedua, jika kita memang tidak ingin mengikuti sistem, adalah meruntuhkan sistem yang telah ada; sistem industri dan kapitalisme. Sejujurnya, itu bukan urusan yang mudah, karena kita membutuhkan Infinity Stones—atau kekuatan yang setara dengan itu.

Untuk bisa meruntuhkan sistem kapitalisme, kita harus meruntuhkan sistem industri, karena kapitalisme adalah anak emas sistem industri. Tanpa sistem industri, sistem kapitalisme akan rapuh. Jika sistem industri telah diruntuhkan, kapitalisme juga akan bisa dilenyapkan.

Tetapi... untuk bisa meruntuhkan sistem industri, kita harus memulai dari akarnya, yakni over-populasi. Fakta tak terbantahkan; sistem industri dan kapitalisme bisa berjaya, karena adanya over-populasi. Selama populasi manusia tak terkendali, industri dan kapitalisme akan tetap mencengkeram.

Karena itulah, seperti tadi disebutkan, untuk bisa meruntuhkan sistem industri dan kapitalisme, kita membutuhkan Infinity Stones, karena kita harus memulainya dengan meruntuhkan over-populasi terlebih dulu. Lenyapkan separo populasi, baru kita ngomong soal meruntuhkan kapitalisme.

Tapi itu tidak mungkin, karena akan... well, tidak beradab. Kita tidak mungkin memusnahkan sesama manusia, apa pun alasannya. Karenanya, yang bisa kita lakukan—dan yang mestinya kita lakukan—adalah menyampaikan kesadaran tentang hal ini pada sesama, dan bukan malah memprovokasi mereka cepat kawin dan beranak-pinak.

Saat ini, jika kita memang ingin meruntuhkan sistem yang telah mencengkeram peradaban—yakni sistem industri dan kapitalisme—satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah “mengerem” laju reproduksi, dan itu artinya menyebarkan kesadaran bahwa “menikah tidak menjamin kebahagiaan, dan punya anak tidak menjamin rezeki lancar”—karena nyatanya memang begitu. Penyebaran kesadaran ini akan berhadapan dengan doktrin usang tapi terkenal... dan itulah tugas siapa pun yang ingin meruntuhkan peradaban.

Akar masalah bumi, dan dunia seisinya—beserta sistem-sistem di dalamnya—adalah populasi manusia yang tak terkendali. Tanpa kesadaran penting ini, semua wacana menumbangkan kapitalisme hanyalah omong kosong, dan aksi meruntuhkan kediktatoran industri bisa dibilang sia-sia. Industri hanyalah batang pohon, dan kapitalisme hanyalah ranting yang tumbuh di sisi-sisinya. Tapi akar dari semuanya adalah over-populasi. 

Bumi akan menjadi surga bagi manusia, jika populasi terkendali. Semua kenikmatan hidup yang kita kenal akan dapat diraih. Karena tanah-tanah subur begitu luas, lautan jernih tanpa sampah, udara murni tanpa polusi, dan tidak ada sistem-sistem yang mencekik serta membelenggu.

Sebaliknya, bumi akan menjadi neraka—dan sekarang kita mengalaminya—ketika populasi tak terkendali, dan mengubah manusia menjadi hama. Tanah-tanah menyempit dan tandus, alam dieksploitasi habis-habisan, polusi mencemari, bumi kian tak ramah, dan bencana datang silih berganti.

“Manusia adalah pemimpin di muka bumi”—itu benar, selama populasinya terkendali. Jika populasi liar tak terkendali, manusia adalah hama di muka bumi, karena manusialah yang merusak dan memperkosa alam, menghancurkan tempat tinggalnya sendiri.

Sekarang kita mulai memahami kenapa ada orang seperti Thanos, yang rela melakukan dan mengorbankan apa pun demi mengumpulkan Infinity Stones. Bumi membutuhkan Thanos. Sayangnya, jika Thanos benar-benar tiba, kita mungkin akan keliru mengenalinya.

 
;