Selasa, 01 Desember 2020

Bisa Menelan Pil Itu Privilese

Kalau kau bisa menelan pil dengan mudah, kau patut bersyukur.
Itu kemampuan yang tidak kumiliki, meski telah berlatih bertahun-tahun.


Gastroesophageal reflux disease atau GERD adalah salah satu masalah kesehatan yang “populer”, akhir-akhir ini, karena menyerang banyak orang, lebih khusus anak-anak muda. Bisa jadi, penyakit ini sebenarnya sudah menyerang banyak orang sejak lama, namun kebanyakan kita mungkin lebih mengenalnya sebagai “asam lambung”.

GERD memang berkaitan dengan asam lambung, yaitu naiknya asam lambung di tubuh kita. Meski mungkin terdengar ringan, naiknya asam lambung bisa menimbulkan aneka keluhan, dari nyeri dada, tenggorokan panas, sesak napas, sering bersendawa, atau bahkan mungkin lebih parah dari itu. Kerusakan gigi, bahkan, salah satunya disebabkan oleh naiknya asam lambung, karena cairan asam ini mengerosi gigi serta gusi penderitanya—khususnya jika naiknya sudah sampai tenggorokan.

Saya akrab dengan GERD, karena menjadi salah satu penderitanya. Lebih dari setahun yang lalu, saya terserang penyakit ini, sudah ke dokter, sudah diberi obat, dan sudah sembuh. Saya pikir akan sehat seterusnya, dalam arti tidak akan terkena GERD lagi. Tapi ternyata saya keliru.

Sekitar dua bulan lalu, saya merasakan asam lambung sering naik. Mula-mula saya tidak mempedulikan, karena saya pikir itu cuma efek kekenyangan—karena nyatanya naiknya asam lambung memang sering terjadi tak lama setelah makan. Tetapi, lama-lama, naiknya asam lambung ini membuat saya tidak nyaman.

Berusaha menjadi bocah yang baik dan sadar kesehatan, saya pun akhirnya memutuskan ke dokter yang dulu merawat saya. Di sana, saya menyampaikan keluhan yang dirasakan, lalu organ-organ dalam tubuh saya diperiksa. 

“Organ-organ dalam Anda sehat semua,” kata dokter, “cuma lambung sedikit bermasalah.”

Dokter menulis resep obat, dan saya menebusnya ke apotek. Obatnya beda dengan yang dulu, dan saya baru tahu itu setelah menerima bungkusan obat di apotek. Kalau dulu dua jenis pil, sekarang pil dan kapsul. Modyar, pikir saya.

Saya punya masalah dengan urusan obat, karena tidak bisa menelan, apalagi jika obatnya berbentuk kapsul. Kalau pil, saya masih bisa mengunyahnya, meski harus nyengir-nyengir—campur misuh-misuh tak karuan—ketika merasakan pahit pil meledak di dalam mulut. Tapi mengunyah kapsul terdengar seperti “mission impossible”, dan saya tidak yakin Ethan Hunt sekalipun bisa melakukannya.

Yang bisa saya lakukan pada kapsul adalah membuka cangkangnya, menuang isinya ke sendok, mencampurkan sedikit teh, lalu “menyantapnya”. Setelah itu saya akan minum banyak teh manis, untuk mengusir rasa “mengerikan” yang timbul dari isi kapsul tadi.

So, itulah yang saya lakukan pada kapsul yang diresepkan tadi. Di rumah, saya buka cangkang kapsul itu hati-hati, menuang isinya ke sendok, mencampurkan sedikit teh, lalu memasukkannya ke mulut... sambil berharap rasanya seperti gula-gula. Tapi harapan saya tak terkabul. Begitu isi kapsul itu menyentuh lidah, seketika mulut seperti terbakar. Rasanya ngujubilah setan!

Buru-buru saya meminum teh hangat manis di gelas, berharap bisa mengusir rasa tidak enak di mulut akibat kapsul itu. Tapi sia-sia. Sebegitu keras rasa obat itu, sampai teh manis tidak mampu mengusir bekas rasanya dari lidah. 

Dengan panik, saya mencari aneka makanan dan jajan di rumah, berharap ada sesuatu yang bisa saya gunakan untuk mengusir rasa tidak nyaman di mulut. Nemu bungkusan keripik pedas. Akhirnya saya memakan keripik pedas itu banyak-banyak, meminum teh lagi, dan pelan-pelan rasa pahit-sialan kapsul tadi lenyap. Setelah itu udud, tentu saja, biar tidak muntah.

Sambil udud, saya tercenung. Ini baru satu kali saya mengonsumsi kapsul tadi, dan rasanya sudah menyiksa. Padahal saya harus mengonsumsi kapsul itu [dan pil yang disertakan] dua kali sehari, dan bisa jadi urusan konsumsi obat ini akan cukup lama, sampai masalah GERD saya teratasi. 

Urusan pil bisa saya atasi dengan mudah, karena bisa mengunyahnya langsung, dan lenyap begitu diguyur minum. Tapi kapsulnya... sangat tidak environmental.

Mungkin karena tubuh saya “kaget” gara-gara minum kapsul tadi, besoknya saya meriang, dan terkapar di tempat tidur. Sampai beberapa hari.

Well, setiap orang tampaknya punya kekurangan yang khas, dan salah satu kekurangan saya yang menjengkelkan—khususnya bagi saya sendiri—adalah tidak bisa menelan obat. Terdengar sepele, tapi sangat merisaukan, khususnya saat terkena sakit dan harus minum obat. Seperti sekarang.

Orang yang bisa dan biasa menelan obat sering sesumbar kalau menelan pil/kapsul itu “mudah sekali”. Tiap kali mendengar ocehan jumawa semacam itu, saya jadi dongkol. Mudah mbahmu, pikir saya. Kalau mudah, saya pasti sudah bisa melakukannya sejak zaman Firaun!

Nyatanya, mungkin, menelan obat (pil/kapsul) memang mudah—bagi yang bisa! Wong tinggal memasukkan obat ke dalam mulut, guyur pakai air minum, dan, tara... obat itu langsung lenyap! Sudah berpindah dari mulut ke perut. Seperti sulap! Tetapi, seperti sulap pula, kemampuan itu juga hanya bagi yang bisa.

Dalam perspektif medis, ada fenomena yang disebut disfagia, yaitu kondisi kesulitan menelan, khususnya menelan obat (pil/kapsul). Kondisi ini biasanya telah muncul sejak kecil, dan nyatanya saya memang tidak bisa menelan obat sejak kecil. Sedari balita, sampai sekarang menjadi bocah, saya harus mengunyah obat apa pun yang saya konsumsi. Tabik untuk pencipta Bodrexin!

Disfagia terjadi, biasanya, karena adanya trauma atau ketakutan tertentu. Bisa karena pernah mengalami tersedak dalam proses menelan pil, atau ketakutan kalau pil/obat itu akan menimbulkan hal-hal tidak nyaman, seperti rasa pahit, dan semacamnya. Intinya, orang yang mengalami disfagia akan kesulitan menelan obat, karena otot-otot kerongkongannya otomatis akan mengencang, sehingga obat akan kesulitan masuk.

Memasukkan obat ke mulut itu kan proses oral, dan proses oral membutuhkan “kerelaan”—dalam arti; jika dipaksa, kita akan tersedak. 

Kita bisa memakan banyak hal, aneka makanan, karena kita “rela”, sehingga organ-organ tubuh kita, khususnya otot-otot kerongkongan, membuka dengan baik, hingga makanan yang kita masukkan ke mulut bisa mengalir ke dalam dan menuju pencernaan. Tapi jika kita “tidak rela” atau “tidak nyaman” saat memakan sesuatu, proses ini bisa bermasalah. Muntah adalah salah satu akibatnya.

Ini tak jauh beda dengan, well... vaginismus. Yaitu kondisi mengencangnya otot-otot vagina—sebegitu kencang, hingga tidak bisa dimasuki penis. Dan jika penis telanjur masuk, ia tidak bisa ditarik/dicabut/dikeluarkan, karena saking kencangnya otot-otot vagina mencengkeram. Fenomena ini, oleh orang awam, disebut gancet.

Dalam konteks menelan obat, orang yang mengalami disfagia sebelas dua belas dengan orang yang mengalami vaginismus. Otot-otot kerongkongan akan kejang atau mengencang, sehingga tidak bisa dimasuki obat (pil/kapsul). Dan jika obat telanjur masuk atau dimasukkan, biasanya obat itu akan terjepit atau macet di kerongkongan. Yang saya alami, saya akan tersedak atau muntah jika mencoba melakukannya.

Jadi, aneka nasihat dan tip “cara menelan obat yang baik dan benar”—sebagaimana yang sering diocehkan orang-orang di sekitar kita—itu tidak relevan-relevan amat. Orang yang tidak bisa menelan obat, karena disfagia, bukan karena terlalu idiot sehingga tidak bisa melakukannya, tapi semata-mata karena masalah tertentu pada tubuhnya.

“Caranya begini,” kata mereka, “kamu makan pisang atau roti, kunyah sampai halus. Setelah halus di mulut, masukkan pil dan tempelkan ke lidah. Lalu telan bersama makanan yang halus tadi. Mudah.”

Mudah mbahmu! 

Teori itu mungkin benar untuk orang-orang yang memang bisa menelan obat. Artinya, mereka memang bisa menelan pil/kapsul dengan baik, tapi tidak/belum tahu cara melakukannya. Sementara bagi orang-orang yang kebetulan mengalami disfagia, teori itu cuma omong kosong. Seratus kali mencoba, seratus kali gagal. Saya sudah mencobanya—tak perlu berdebat.

So, kalau kamu kebetulan bisa menelan obat, entah pil atau kapsul, dan bisa melakukannya dengan enjoy, kamu perlu tahu bahwa itu privilese. Tidak semua orang punya kemampuan seperti itu. Dan seperti umumnya privilese, pemiliknya sering kali tak menyadari. 

Bisa menelan pil atau kapsul itu privilese, karena tak perlu mengunyahnya, tak perlu merasakan pahitnya yang ngujubilah, tak perlu khawatir ketika sewaktu-waktu kena sakit, karena bisa enjoy minum obat. Saya tidak punya kemampuan seperti itu. Setiap kali sakit, saya harus menghadapi dua masalah sekaligus. Masalah pertama ya sakitnya itu sendiri. Sementara masalah kedua, saya harus merasakan pahitnya obat. Wong sakit saja sudah tidak enak, masih ditambah obat yang tidak enak.

Bisa menelan obat dengan mudah, itu privilese. Punya kesehatan yang selalu terjaga, itu privilese. Lebih baik lagi; bisa menelan obat dengan mudah, kesehatan selalu terjaga, dan punya duit banyak! 

 
;