Seks dan perkawinan itu biasa saja.
Cuma glorifikasinya yang luar biasa.
Hidup dan segala glorifikasinya, meminjam istilah anak sekarang, "B aja".
Yang menjadikan Homo sapiens mampu bertahan dan beradaptasi, sementara makhluk-makhluk lain punah, karena Homo sapiens bisa bercerita. Kemampuan bercerita memungkinkan mereka membangun fantasi, bahkan glorifikasi. Dan pada satu titik, glorifikasi itu terlalu ndakik-ndakik.
Dalam contoh yang mudah, kita bisa melihat aktivitas seks. Sebenarnya, aktivitas seks hanyalah peristiwa alami di antara makhluk hidup—sama sekali tidak istimewa. Yang menjadikannya istimewa, karena ia diglorifikasi sedemikian rupa, meski mungkin tujuannya baik.
Makhluk hidup, khususnya manusia, membutuhkan seks untuk berkembang biak. Evolusi mengiming-imingi bahwa "seks itu nikmat". Sementara Homo sapiens melembagakan aktivitas seks dengan perkawinan. Agar semua pihak patuh dengan aturan itu, fantasi dan glorifikasi diciptakan.
Karenanya, kita lebih sering mendengar "perkawinan itu indah" daripada sebaliknya—meski mungkin realitasnya berkebalikan—karena slogan-slogan semacam itu dibutuhkan Homo sapiens agar kita patuh, dan bersedia menikah, demi bisa beraktivitas seks secara legal. Padahal ya B aja.
Maksudku, perkawinan tidak—atau belum tentu—seindah yang diglorifikasikan. Begitu pula seks, yang menjadikan banyak orang ngebet kawin, belum tentu senikmat (atau mungkin harus kukatakan; sedahsyat) yang mungkin kita khayalkan. Karena semua glorifikasi itu nyatanya memang B aja.
Bertahun lalu, seorang cowok remaja di Manhattan kepergok ngintip perempuan yang sedang mandi. Oleh tetangganya (yang menurutnya bijak), cowok ABG itu diajak ke klub malam di pinggir kota untuk "memuaskan rasa ingin tahunya". Peristiwa itu mengubahnya secara total hingga dewasa.
Bertahun-tahun kemudian, ketika dewasa, dia menceritakan peristiwa itu, dan dengan jujur mengatakan, "Ternyata, seks tidak seindah dan senikmat yang kubayangkan. Aku sampai terkejut, ketika mendapati sesuatu yang diglorifikasi sedemikian rupa, ternyata biasa saja."
Aku percaya.
Dan dia tidak berhenti di situ. Di kampusnya (dia kuliah di sebuah kampus tua terkenal di Manhattan), dia melakukan riset terkait pengalaman seks teman-temannya (semuanya pria). Riset itu untuk menjawab pertanyaan sederhana; apakah pengalaman dia juga dialami para pria lainnya?
Ada 500-an mahasiswa yang menjadi responden penelitian itu, dengan setumpuk pertanyaan serupa, yang semuanya memberi jawaban secara anonim. Hasilnya mungkin mencengangkan. Rata-rata mereka sama; menganggap seks "tidak senikmat yang kubayangkan".
Apa kabar para pria sedunia?
Saat menjawab pertanyaan dalam lembar riset, "Apa yang kaupikirkan dan kaurasakan ketika pertama kali ML?", rata-rata mereka menjawab, "Kok cuma gini?", "Kok biasa-biasa saja?", "Apakah aku keliru? Kenapa rasanya cuma begini?", dan, "What the hell, sepertinya aku tertipu!"
Kenyataannya, seks—khususnya dalam kepala pria—adalah campuran antara fantasi dan sensasi. Dua hal itu pula yang menjadikan mereka terus terobsesi. Selebihnya... B aja. Karena "B aja" itu pula, seks lalu diglorifikasi sedemikian rupa, hingga mereka bersedia melembagakannya.
Kalau kita nonton bokep, kita pasti melihat bahwa si wanita tampak sangat "ekspresif" dengan segala desah dan rintih, sementara si pria kelihatan biasa saja. Kenapa? Jawabannya panjang, tapi salah satunya karena... memang si wanita yang merasakan kenikmatan. Si pria? B aja.
Saat aktivitas seks berlangsung, sejak foreplay sampai intercourse, si wanita merasakan kenikmatan, dalam arti sesungguhnya. Sementara yang dirasakan pria hanya fantasi dan sensasi—bukan kenikmatan. Terkait seks, kenikmatan pria baru terjadi saat ejakulasi. Selebihnya, B aja.
Jika ingin membuktikan ocehan ini, sila tanyakan pada teman-teman pria yang telah menikah—yang tentu melakukan aktivitas seks secara rutin—dan minta mereka menjawab secara jujur. Karena itulah, aktivitas seks dalam pernikahan disebut "nafkah batin", karena itu "hak si wanita".
Jika didefinisikan, nafkah batin adalah "kewajiban suami untuk memberikan kenikmatan seksual pada istri". Dan dalam hal itu, aturannya—meminjam istilah di akad nikah—“muasyarah bil ma'ruf”. Maksudnya ya dengan foreplay dan sebagainya, yang semua kenikmatannya UNTUK si wanita.
Jadi, dalam perspektifku sebagai bocah, ada paradoks yang aneh terkait urusan ini, yang sekali lagi membuktikan betapa licinnya evolusi. Pria terobsesi pada seks dan pada wanita, dengan segala fantasi dan glorifikasi, padahal yang paling menikmati aktivitas itu justru si wanita.
Wanita merasakan kenikmatan—dalam arti sesungguhnya—sejak foreplay sampai afterplay, masih ditambah dengan multiorgasme bahkan squirt. Sementara pria? Multiorgasme pria itu cuma wacana, dan kenikmatan pria cuma sebatas ejakulasi, plus tipu-tipu fantasi di kepala. Intinya B aja.
Jadi, apa kesimpulan ocehan mbuh ini? Kesimpulannya ya B aja. Bahwa semua glorifikasi yang biasa kita dengar, khususnya terkait seks dan perkawinan, sebenarnya B aja. Dan kelak, kapan pun waktunya, saat telah membuktikan, kau akan menyadari bahwa semua fantasimu ternyata B aja.
Ironis, kalau dipikir-pikir. Kita dibuai oleh fantasi, didikte oleh glorifikasi, hanya untuk menyadari bahwa semuanya B aja. Oh, well, bahkan aku yang telah menyadari semua ini B aja, ya masih terobsesi. Terobsesi apppeeeuuuuh...*
*Padahal ya aku sadar, appeeeeuuh itu B aja.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Januari 2020.