Penilaian yang baik datang dari pengalaman.
Pengalaman penting datang dari keputusan keliru.
—@noffret
Pengalaman penting datang dari keputusan keliru.
—@noffret
Ternyata, selera makan tidak selalu sama dengan selera baca. Ada orang yang selara makannya sangat mewah, tapi selera bacanya sederhana. Atau, ada pula yang selera makannya sederhana, tapi selera bacanya sangat mewah. Saya termasuk yang kedua. Selera makan saya sederhana, tapi selera bacaan saya (mungkin) tidak sederhana.
Dalam hal makan, saya tidak macam-macam. Asal nasinya keras (tidak lembek), makan dengan lauk apa pun rasanya sudah cukup. Bahkan, sejujurnya, saya tidak terlalu paham—dan mungkin juga tidak doyan—makanan-makanan yang namanya aneh-aneh itu. Karena itulah saya sangat jarang—itu pun kalau terpaksa—masuk ke restoran-restoran mewah.
Pengetahuan dan “kedoyanan” saya seputar makanan sangat sederhana—mungkin hanya sebatas sayur sop, soto ayam, sayur asem, pecel lele, lalapan, dan semacamnya. Di luar itu, mungkin saya akan kebingungan, dan agak ragu-ragu untuk memakannya. Sekadar catatan, saya termasuk orang yang “sulit” dalam hal makan. Jika tidak benar-benar doyan, sering kali saya memang tidak doyan. Dalam hal makan, saya sangat sederhana.
Tapi “sayangnya” kesederhanaan semacam itu tidak terjadi dalam selera baca saya. Membaca buku apa pun, saya akan cepat bosan kalau materinya terlalu mudah, tidak menawarkan hal baru, dan sebagian besar isinya sudah saya tahu. Bahkan, tidak jarang saya sudah mulai bosan ketika baru membaca kalimat pembuka di awal bab, karena menggunakan kata atau kalimat klise.
Kata dan kalimat adalah “alat vital” tulisan. Tulisan bagus tidak hanya ditunjang isi atau materi yang bagus, tetapi juga penggunaan kata serta kalimat yang sama bagusnya, dan tidak klise. Segala yang klise sudah kuno, dan tidak menarik. Jika kita menggunakan kalimat klise, apalagi di bagian awal tulisan, selera pembaca pun segera lenyap.
Bagaimana kita tahu suatu kata atau kalimat tergolong “klise” atau “tidak klise”? Mudah saja, semakin banyak kita membaca, semakin kita tahu mana yang klise dan mana yang tidak klise. Karena itulah semua penulis (atau yang ingin jadi penulis) wajib banyak membaca.
Balik ke selera baca. Dalam membaca novel pun, selera saya agak “sulit”. Semakin rumit plot dan alur kisahnya, saya justru makin bergairah. Saya paling suka novel yang beralur cepat, multi-plot, dengan banyak karakter, setting yang kaya, dan jalan cerita yang berbelit serta tidak mudah diduga. Pokoknya, semakin rumit sebuah cerita, saya makin suka. Contoh sempurna untuk hal ini tentu novel-novel Dan Brown dan Sidney Sheldon.
Sebaliknya, saya sering kali “tersiksa” kalau kebetulan membaca novel yang alurnya datar, ceritanya lambat, bertele-tele, jumlah tokohnya segelintir (sehingga yang diceritakan hanya itu-itu saja), serta jalan ceritanya mudah ditebak—happy ending. Omong-omong, saya lebih suka kisah yang sad ending tapi hebat, daripada happy ending tapi klise dan mudah ditebak.
Klise—inilah musuh utama para penulis. Klise—inilah yang paling dibenci para pembaca, khususnya yang telah banyak membaca. Seorang teman yang berprofesi sebagai editor bahkan sampai bilang, “Untuk tahu apakah sebuah naskah ditulis penulis pemula atau bukan, lihat saja kalimat pembukanya. Jika klise, kemungkinan besar ditulis penulis pemula.”
Seperti apa contoh kata atau kalimat pembuka yang klise? Jika kita membaca sebuah novel, dan bab awalnya diawali dengan suara atau dering telepon, itu klise! Atau si tokoh bangun tidur dan mau sekolah. Atau diawali dengan kalimat “Pada zaman dahulu kala”, atau semacamnya. Bahkan, tulisan yang diawali dengan “Beberapa waktu yang lalu,” saat ini sudah mulai klise—karena seringnya digunakan dan terus-menerus digunakan banyak orang.
Intinya, sesuatu akan dianggap klise apabila telah sering dan banyak digunakan orang. Artinya, untuk membuat tulisan yang baik, kita harus benar-benar orisinal. Untuk dapat orisinal, tentu kita harus banyak belajar, banyak membaca, banyak latihan, dan menulis dengan ciri khas kita sendiri. Kata atau kalimat yang mungkin hebat ketika digunakan orang lain, belum tentu akan hebat pula jika digunakan kita.
Apakah tulisan bagus harus berisi hal-hal hebat? Tidak mesti! Tulisan bagus bukan tentang apa isinya, tetapi lebih pada cara kita menyuguhkannya.
Tulisan bagus bisa berisi hal-hal sederhana, bahkan remeh-temeh, tapi disampaikan dengan baik, dituturkan dengan runtut, sistematis, menggunakan kata dan kalimat yang terpilih, tidak berlebihan (baca: norak), serta sesuai dengan karakter khas kita. Memang akan lebih bagus jika tulisan itu dapat memberikan nilai tambah bagi pembaca—misal wawasan, pengetahuan, inspirasi, atau setidaknya menghibur.
Kadang ada yang menyatakan, “Tidak ada tulisan yang baik atau buruk, yang ada hanya selera masing-masing orang.”
Mungkin memang benar, bahwa selera orang bisa berbeda-beda. Tulisan yang bagus bagi satu orang, belum tentu bagus pula bagi orang lainnya. Tapi dalam standar ukuran profesional, tentu ada batasan yang jelas. Begitu pula dalam standar penilaian tulisan yang bagus. Kalau tidak ada standar yang jelas, dunia penerbitan akan kacau.
Ini tak ubahnya dengan benar dan salah, kan? Bisa saja kita menyatakan, “Tidak ada perbuatan yang benar atau salah, yang ada hanya penilaian masing-masing orang.”
Sekilas, ucapan semacam itu terdengar benar. Tapi jika memang begitu kenyataannya, maka pengadilan akan bubar, pengacara akan jadi pengangguran, polisi dan hakim dan jaksa dan hansip dan satpam akan alih profesi jadi seniman, sementara moral masyarakat akan sampai di tepi jurang. Dalam hidup, tentu ada batasan antara perbuatan benar dan perbuatan salah.
Begitu pula dalam dunia literasi dan penerbitan. Tentu saja ada tulisan bagus dan tulisan buruk. Kalau kita menulis dengan buruk dan ngotot bahwa “tidak ada tulisan baik atau buruk, karena yang ada hanya selera masing-masing orang”, maka sampai kiamat pun kita tidak akan bisa menulis dengan baik. Untuk dapat menulis dengan baik, pertama-tama kita harus mengakui terlebih dulu adanya sistem nilai, dan secara objektif menerimanya.
Jangankan yang masih pemula, bahkan yang telah bertahun-tahun menulis pun kadang masih terjebak menulis dengan buruk. Contohnya saya.
Saya telah menulis secara profesional sejak SMA, karena sejak SMA sudah mulai menulis untuk majalah yang diterbitkan secara profesional, dan saya dibayar secara profesional. Itu artinya sudah lebih dari sepuluh tahun saya menulis. Pengalaman selama sepuluh tahun menulis tentu memberikan banyak pelajaran bagi saya, kan? Nyatanya saya kadang masih menulis dengan buruk.
Apa buktinya? Buktinya saya kadang masih ditolak penerbit. Setiap kali menerima penolakan, dan menerima penjelasan atas kekurangan naskah yang saya tulis, saya pun melihat dan menyadari bahwa saya belum luput dari kekurangan. Dan saya berusaha belajar dari situ, untuk memperbaiki diri, memperbaiki tulisan, sehingga dapat mengurangi—atau bahkan menghilangkan—yang minus, dan mempertahankan—atau kalau bisa meningkatkan—yang sudah bagus.
Mungkin saya punya hak untuk berteriak pada penerbit yang menolak, misalnya dengan mengatakan, “Hei, pal, tidak ada tulisan baik atau tulisan buruk, yang ada hanya selera pembaca!”
Tetapi kalau itu yang saya lakukan, saya akan jadi penulis paling konyol sedunia. Lebih dari itu, saya tidak akan pernah belajar, karena tidak mau menerima dan menyadari kekurangan saya sendiri. Daripada mengutuk penolakan, saya lebih memilih untuk belajar kepadanya. Meski penolakan mungkin menyakitkan, tetapi—jika kita mau berbesar hati menerimanya—akan membuka pikiran kita yang mungkin sebelumnya tertutup karena kita keras kepala.
Nah, omong-omong, kalau kalian ingin melihat contoh konkrit seperti apa tulisan yang buruk, tulisan inilah contohnya. Tulisan yang sedang kalian baca ini adalah salah satu contoh nyata tulisan yang buruk.
Bagaimana tidak buruk? Tulisan ini berjudul Selera Makan, Selera Baca. Di paragraf awal, saya konsisten menjaga tulisan agar sesuai judul. Tapi makin ke bawah, saya makin ngelantur, sehingga makin tidak konsisten dengan judulnya. Ngelantur, kita tahu, adalah hal buruk dalam tulisan.
Sekarang, daripada makin ngelantur dan tidak jelas, sebaiknya saya akhiri saja tulisan ini. Sepertinya saya sudah perlu makan karena perut keroncongan. Dan, seperti yang tertulis di atas, selera makan saya sederhana. Mungkin sebentar lagi saya akan makan pecel lele dengan sambal terasi dan lalapan. Dan segelas teh hangat.
Oh, well, dunia ini rasanya indah sekali jika bisa menikmati nasi keras yang hangat, pecel lele, sambal terasi, lalapan, dan teh hangat dengan jeruk nipis. Apalagi kalau ditemani Maria Ozawa dan Anri Suzuki. Ya, ya, ini makin ngelantur!