Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Pertanyaannya sekarang, mengapa sampai ada seorang cewek 19 tahun yang rela melakukan “penipuan” semacam itu? Mengapa ada orang yang mau-maunya melakukan sesuatu yang tak masuk akal untuk menciptakan kehebohan demi menarik perhatian orang?
Jawabannya telah tampak pada pertanyaan di atas. Untuk mendapatkan perhatian. Kita semua adalah manusia yang lapar—bukan hanya lapar makanan, tetapi juga lapar perhatian, lapar cinta. Karenanya, lawan kata cinta bukan benci, melainkan tidak peduli. Ketidakpedulian adalah musuh cinta, dan ketidakpedulian inilah yang sering menjadi masalah kita, hingga sampai ada orang yang rela melakukan penipuan demi mendapat perhatian dan dipedulikan.
Kita semua butuh diperhatikan—diakui atau tidak. Kadar kebutuhan itu mungkin kecil, karena kita mungkin telah mendapatkan cukup perhatian. Namun, ada pula orang-orang yang sangat membutuhkan perhatian, karena mungkin selama ini jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan apalagi dipedulikan sesamanya. Pameran foto di Facebook, update status bertumpuk di Twitter, salah satunya adalah usaha kita untuk mendapatkan perhatian, untuk dipedulikan—meski mungkin dengan kadar berbeda.
Semakin besar kadar kebutuhan untuk diperhatikan, semakin besar pula upaya yang biasanya dilakukan. Untuk hal itu, ada yang sangat demonstratif memamerkan foto-fotonya, ada yang berteriak-teriak dengan lantang meneriakkan apa saja, sampai ada yang mengaku dapat mengeluarkan butiran-butiran kristal dari air mata. Semuanya sama—ingin diperhatikan, ingin dipedulikan.
Sekitar tahun 2004, ada kasus yang pernah menghebohkan Indonesia, yakni kemunculan sosok yang disebut Kolor Ijo. Makhluk misterius itu digambarkan sebagai siluman bertampang jelek, tubuhnya bulat, perutnya besar, telinganya panjang, mulutnya monyong seperti babi, mukanya bulat, dan memakai celana pendek berwarna hijau. Seorang wanita di Bekasi mengklaim didatangi makhluk itu, dan nyaris diperkosa.
Kabar itu berembus dengan cepat, makin lama makin besar. Televisi dan surat kabar berpesta pora, karena Kolor Ijo sangat laku dijual. Ketika kemudian ada wanita-wanita lain yang mengaku sama—didatangi Kolor Ijo—hampir seluruh Jakarta dicekam kengerian. Pada waktu-waktu itu, ada banyak rumah di Jakarta dan sekitarnya yang sampai memasang potongan bambu kuning dan daun kelor yang ditancapkan di depan rumah, sebagai upaya untuk “menangkal kehadiran Kolor Ijo”.
Tanpa diketahui siapa pun, pihak kepolisian melakukan penyelidikan diam-diam yang tidak diungkap ke media massa. Sejak awal kasus Kolor Ijo merebak di Jakarta, polisi sudah melihat banyak keanehan dan kejanggalan kasus itu, dan diam-diam mereka menelusuri pokok akarnya. Hasilnya terungkap bahwa tiga wanita pertama yang sengaja mengaku didatangi Kolor Ijo terbukti berbohong.
Makhluk misterius yang membuat kegemparan dan ketakutan banyak orang yang disebut Kolor Ijo itu tidak pernah ada. Wanita-wanita itu—secara terpisah—mengakui bahwa mereka telah berbohong. Kepolisian pun kemudian mengumumkan hal itu secara resmi kepada media massa, dan sejak itu masyarakat Jakarta dan sekitarnya mulai dapat bernapas lega, sementara isu keberadaan Kolor Ijo perlahan-lahan mereda.
Sekali lagi, pertanyaannya, mengapa ada orang-orang yang sampai berbohong hingga menimbulkan ketakutan bahkan kepanikan banyak orang lainnya? Sekarang kita telah mengetahui jawabannya. Kita semua lapar perhatian, kita semua ingin dipedulikan. Tetapi sayangnya, di zaman ini, perhatian dan kepedulian memiliki harga yang amat mahal, hingga ada orang-orang yang sampai melakukan hal-hal tak masuk akal untuk mendapatkannya.
Salah satu hal penting menyangkut psikologi manusia adalah kebutuhan untuk diperhatikan. William James menyebutnya “keinginan untuk menjadi hebat”, John Dewey menyebutnya “keinginan untuk menjadi penting”, sementara Sigmund Freud menyebutnya “keinginan untuk menjadi besar”.
Itu fitrah manusiawi, dan keinginan-keinginan itu pun manusiawi. Karena adanya keinginan-keinginan itu pula, manusia berkembang, masing-masing individu berusaha memperbaiki diri, melakukan pencapaian demi pencapaian, berusaha menjadi yang terbaik, demi untuk “menjadi hebat”, “menjadi penting”, atau “menjadi besar”, yang semuanya adalah wujud keinginan untuk diperhatikan dan dipedulikan sesamanya.
Kita melihat orang-orang yang sudah kaya-raya terus berusaha menumpuk harta kekayaannya, tak peduli meski telah disebut dalam golongan “orang paling kaya di dunia”. Kita menyaksikan atlet-atlet menguras tenaga dan berlatih habis-habisan untuk mencapai prestasi mustahil demi bisa disebut “pemecah rekor dunia”. Kita bahkan memiliki tetangga-tetangga yang terus memperbaiki dan memperbesar rumahnya yang sudah mirip istana.
Untuk apa...? “Untuk menjadi penting,” kata John Dewey. “Untuk menjadi hebat,” kata William James. “Untuk menjadi besar,” kata Sigmund Freud.
Karena keinginan-keinginan itu pulalah yang menjadikan orang mengumpulkan banyak gelar, menumpuk-numpuk uang, berbelanja barang-barang mewah, mengoleksi mobil mahal, berusaha masuk televisi dan nampang di koran-koran, sampai berupaya mendapatkan banyak follower di Twitter. Tujuannya sama saja—untuk memuaskan hasrat manusiawi kita yang lapar perhatian, butuh dipedulikan.
Semuanya, tentu saja, sah dan manusiawi. Orang berhak mendapatkan perhatian sebesar-besarnya dengan cara apa pun yang diinginkannya, selama tidak menipu atau bahkan sampai merugikan sesamanya. Bahkan, keinginan untuk diperhatikan itu pula, yang telah mengantarkan banyak orang menjadi besar dan terkenal karena dibakar oleh keinginannya.
Untuk menjadi hebat hingga mampu menarik perhatian dunia, kita tidak perlu mengaku dapat mengeluarkan butiran kristal dari air mata, karena kita dapat mengeluarkan sesuatu yang jauh lebih hebat, lebih berharga, dan lebih mulia, yang sebelumnya tersembunyi di dalam diri kita.
....
....
Lebih dari seratus tahun yang lalu, ada seorang cowok cupu bernama Albert. Lengkapnya Albert Einstein. Cowok itu sering minder di sekolahnya, karena sadar tampangnya jelek, tubuhnya tidak atletis, dan guru-guru di sekolah menganggapnya bodoh. Dengan “modal” yang ancur-ancuran itu, Albert Einstein tahu dia tidak akan mendapakan perhatian apa pun dari teman-temannya, khususnya dari cewek-cewek.
Jadi, ketika menyaksikan cowok-cowok ganteng di sekolahnya asyik bercanda dengan cewek-cewek, Einstein hanya bisa bengong. Ketika teman-temannya yang hebat menjadi pusat perhatian di sekolah, Einstein hanya bisa jadi penonton. Pendeknya, Einstein adalah sosok yang tak pernah dipedulikan, apalagi sampai menjadi perhatian orang-orang. Tetapi, diam-diam, bocah itu bersumpah untuk “balas dendam”.
Menyadari tampangnya jelek, Einstein pun tahu dia tak bisa berharap melakukan make over. Dia juga tidak suka olahraga, dan itu artinya dia tak perlu berharap bisa memiliki tubuh atletis. Einstein pun menyadari, satu-satunya modal miliknya yang masih dapat digunakan untuk menjadikannya hebat hanya otaknya. Meski guru-gurunya menganggapnya bodoh, Einstein tak peduli. Dia akan menggunakan otaknya untuk mendapatkan perhatian dunia.
Jadi begitulah. Sejak itu, Einstein mengubah dirinya menjadi kutu buku, dan mendidik dirinya sendiri dengan amat keras. Ketika teman-temannya asyik bercanda di kantin, Einstein sibuk membaca buku. Ketika teman-temannya sedang pacaran, Einstein sibuk membaca buku. Ketika teman-temannya bolos sekolah, Einstein sibuk membaca buku. Ketika teman-temannya nonton opera sabun atau sedang membeli sabun atau main-main sabun, Einstein sibuk membaca buku.
Einstein mengeluarkan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi di dalam dirinya, yakni kecerdasan yang sebelumnya tak dikenal teman-teman dan para gurunya, bahkan yang sebelumnya tak dikenalnya sendiri. Dan ketika ia berhasil mengeluarkan kelebihan yang dimilikinya, efek yang ditimbulkannya jauh lebih dahsyat dari kehebohan yang diciptakan butiran kristal air mata. Seperti intan, seperti mutiara, Einstein menjelma menjadi sosok bersinar, dan sinarnya menarik perhatian dunia, bahkan hingga ia telah meninggal dunia.
Kita semua memiliki intan yang sama, mutiara yang sama, yang sekarang mungkin masih tersembunyi di dalam diri kita. Keberadaannya mungkin belum dikenali, tersembunyi jauh di dalam diri kita, dan masing-masing kita punya hak untuk mengeluarkan serta menunjukkannya kepada dunia.
Ketika masih mentah, intan dan mutiara tak ada bedanya dengan bebatuan biasa. Tampak kusam, dan tak menarik. Orang yang tidak ahli bahkan kadang tak menyadari itu batuan berharga. Tetapi, setelah digosok berulang-ulang, digosok berulang-ulang, dan digosok berulang-ulang, intan dan mutiara yang masih mentah itu pun perlahan-lahan mengeluarkan sinarnya, semakin bercahaya, dan makin mempesona. Ketika itu terjadi, tanpa diminta, dunia akan memperhatikannya.
***
Pertanyaannya sekarang, mengapa sampai ada seorang cewek 19 tahun yang rela melakukan “penipuan” semacam itu? Mengapa ada orang yang mau-maunya melakukan sesuatu yang tak masuk akal untuk menciptakan kehebohan demi menarik perhatian orang?
Jawabannya telah tampak pada pertanyaan di atas. Untuk mendapatkan perhatian. Kita semua adalah manusia yang lapar—bukan hanya lapar makanan, tetapi juga lapar perhatian, lapar cinta. Karenanya, lawan kata cinta bukan benci, melainkan tidak peduli. Ketidakpedulian adalah musuh cinta, dan ketidakpedulian inilah yang sering menjadi masalah kita, hingga sampai ada orang yang rela melakukan penipuan demi mendapat perhatian dan dipedulikan.
Kita semua butuh diperhatikan—diakui atau tidak. Kadar kebutuhan itu mungkin kecil, karena kita mungkin telah mendapatkan cukup perhatian. Namun, ada pula orang-orang yang sangat membutuhkan perhatian, karena mungkin selama ini jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan apalagi dipedulikan sesamanya. Pameran foto di Facebook, update status bertumpuk di Twitter, salah satunya adalah usaha kita untuk mendapatkan perhatian, untuk dipedulikan—meski mungkin dengan kadar berbeda.
Semakin besar kadar kebutuhan untuk diperhatikan, semakin besar pula upaya yang biasanya dilakukan. Untuk hal itu, ada yang sangat demonstratif memamerkan foto-fotonya, ada yang berteriak-teriak dengan lantang meneriakkan apa saja, sampai ada yang mengaku dapat mengeluarkan butiran-butiran kristal dari air mata. Semuanya sama—ingin diperhatikan, ingin dipedulikan.
Sekitar tahun 2004, ada kasus yang pernah menghebohkan Indonesia, yakni kemunculan sosok yang disebut Kolor Ijo. Makhluk misterius itu digambarkan sebagai siluman bertampang jelek, tubuhnya bulat, perutnya besar, telinganya panjang, mulutnya monyong seperti babi, mukanya bulat, dan memakai celana pendek berwarna hijau. Seorang wanita di Bekasi mengklaim didatangi makhluk itu, dan nyaris diperkosa.
Kabar itu berembus dengan cepat, makin lama makin besar. Televisi dan surat kabar berpesta pora, karena Kolor Ijo sangat laku dijual. Ketika kemudian ada wanita-wanita lain yang mengaku sama—didatangi Kolor Ijo—hampir seluruh Jakarta dicekam kengerian. Pada waktu-waktu itu, ada banyak rumah di Jakarta dan sekitarnya yang sampai memasang potongan bambu kuning dan daun kelor yang ditancapkan di depan rumah, sebagai upaya untuk “menangkal kehadiran Kolor Ijo”.
Tanpa diketahui siapa pun, pihak kepolisian melakukan penyelidikan diam-diam yang tidak diungkap ke media massa. Sejak awal kasus Kolor Ijo merebak di Jakarta, polisi sudah melihat banyak keanehan dan kejanggalan kasus itu, dan diam-diam mereka menelusuri pokok akarnya. Hasilnya terungkap bahwa tiga wanita pertama yang sengaja mengaku didatangi Kolor Ijo terbukti berbohong.
Makhluk misterius yang membuat kegemparan dan ketakutan banyak orang yang disebut Kolor Ijo itu tidak pernah ada. Wanita-wanita itu—secara terpisah—mengakui bahwa mereka telah berbohong. Kepolisian pun kemudian mengumumkan hal itu secara resmi kepada media massa, dan sejak itu masyarakat Jakarta dan sekitarnya mulai dapat bernapas lega, sementara isu keberadaan Kolor Ijo perlahan-lahan mereda.
Sekali lagi, pertanyaannya, mengapa ada orang-orang yang sampai berbohong hingga menimbulkan ketakutan bahkan kepanikan banyak orang lainnya? Sekarang kita telah mengetahui jawabannya. Kita semua lapar perhatian, kita semua ingin dipedulikan. Tetapi sayangnya, di zaman ini, perhatian dan kepedulian memiliki harga yang amat mahal, hingga ada orang-orang yang sampai melakukan hal-hal tak masuk akal untuk mendapatkannya.
Salah satu hal penting menyangkut psikologi manusia adalah kebutuhan untuk diperhatikan. William James menyebutnya “keinginan untuk menjadi hebat”, John Dewey menyebutnya “keinginan untuk menjadi penting”, sementara Sigmund Freud menyebutnya “keinginan untuk menjadi besar”.
Itu fitrah manusiawi, dan keinginan-keinginan itu pun manusiawi. Karena adanya keinginan-keinginan itu pula, manusia berkembang, masing-masing individu berusaha memperbaiki diri, melakukan pencapaian demi pencapaian, berusaha menjadi yang terbaik, demi untuk “menjadi hebat”, “menjadi penting”, atau “menjadi besar”, yang semuanya adalah wujud keinginan untuk diperhatikan dan dipedulikan sesamanya.
Kita melihat orang-orang yang sudah kaya-raya terus berusaha menumpuk harta kekayaannya, tak peduli meski telah disebut dalam golongan “orang paling kaya di dunia”. Kita menyaksikan atlet-atlet menguras tenaga dan berlatih habis-habisan untuk mencapai prestasi mustahil demi bisa disebut “pemecah rekor dunia”. Kita bahkan memiliki tetangga-tetangga yang terus memperbaiki dan memperbesar rumahnya yang sudah mirip istana.
Untuk apa...? “Untuk menjadi penting,” kata John Dewey. “Untuk menjadi hebat,” kata William James. “Untuk menjadi besar,” kata Sigmund Freud.
Karena keinginan-keinginan itu pulalah yang menjadikan orang mengumpulkan banyak gelar, menumpuk-numpuk uang, berbelanja barang-barang mewah, mengoleksi mobil mahal, berusaha masuk televisi dan nampang di koran-koran, sampai berupaya mendapatkan banyak follower di Twitter. Tujuannya sama saja—untuk memuaskan hasrat manusiawi kita yang lapar perhatian, butuh dipedulikan.
Semuanya, tentu saja, sah dan manusiawi. Orang berhak mendapatkan perhatian sebesar-besarnya dengan cara apa pun yang diinginkannya, selama tidak menipu atau bahkan sampai merugikan sesamanya. Bahkan, keinginan untuk diperhatikan itu pula, yang telah mengantarkan banyak orang menjadi besar dan terkenal karena dibakar oleh keinginannya.
Untuk menjadi hebat hingga mampu menarik perhatian dunia, kita tidak perlu mengaku dapat mengeluarkan butiran kristal dari air mata, karena kita dapat mengeluarkan sesuatu yang jauh lebih hebat, lebih berharga, dan lebih mulia, yang sebelumnya tersembunyi di dalam diri kita.
....
....
Lebih dari seratus tahun yang lalu, ada seorang cowok cupu bernama Albert. Lengkapnya Albert Einstein. Cowok itu sering minder di sekolahnya, karena sadar tampangnya jelek, tubuhnya tidak atletis, dan guru-guru di sekolah menganggapnya bodoh. Dengan “modal” yang ancur-ancuran itu, Albert Einstein tahu dia tidak akan mendapakan perhatian apa pun dari teman-temannya, khususnya dari cewek-cewek.
Jadi, ketika menyaksikan cowok-cowok ganteng di sekolahnya asyik bercanda dengan cewek-cewek, Einstein hanya bisa bengong. Ketika teman-temannya yang hebat menjadi pusat perhatian di sekolah, Einstein hanya bisa jadi penonton. Pendeknya, Einstein adalah sosok yang tak pernah dipedulikan, apalagi sampai menjadi perhatian orang-orang. Tetapi, diam-diam, bocah itu bersumpah untuk “balas dendam”.
Menyadari tampangnya jelek, Einstein pun tahu dia tak bisa berharap melakukan make over. Dia juga tidak suka olahraga, dan itu artinya dia tak perlu berharap bisa memiliki tubuh atletis. Einstein pun menyadari, satu-satunya modal miliknya yang masih dapat digunakan untuk menjadikannya hebat hanya otaknya. Meski guru-gurunya menganggapnya bodoh, Einstein tak peduli. Dia akan menggunakan otaknya untuk mendapatkan perhatian dunia.
Jadi begitulah. Sejak itu, Einstein mengubah dirinya menjadi kutu buku, dan mendidik dirinya sendiri dengan amat keras. Ketika teman-temannya asyik bercanda di kantin, Einstein sibuk membaca buku. Ketika teman-temannya sedang pacaran, Einstein sibuk membaca buku. Ketika teman-temannya bolos sekolah, Einstein sibuk membaca buku. Ketika teman-temannya nonton opera sabun atau sedang membeli sabun atau main-main sabun, Einstein sibuk membaca buku.
Einstein mengeluarkan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi di dalam dirinya, yakni kecerdasan yang sebelumnya tak dikenal teman-teman dan para gurunya, bahkan yang sebelumnya tak dikenalnya sendiri. Dan ketika ia berhasil mengeluarkan kelebihan yang dimilikinya, efek yang ditimbulkannya jauh lebih dahsyat dari kehebohan yang diciptakan butiran kristal air mata. Seperti intan, seperti mutiara, Einstein menjelma menjadi sosok bersinar, dan sinarnya menarik perhatian dunia, bahkan hingga ia telah meninggal dunia.
Kita semua memiliki intan yang sama, mutiara yang sama, yang sekarang mungkin masih tersembunyi di dalam diri kita. Keberadaannya mungkin belum dikenali, tersembunyi jauh di dalam diri kita, dan masing-masing kita punya hak untuk mengeluarkan serta menunjukkannya kepada dunia.
Ketika masih mentah, intan dan mutiara tak ada bedanya dengan bebatuan biasa. Tampak kusam, dan tak menarik. Orang yang tidak ahli bahkan kadang tak menyadari itu batuan berharga. Tetapi, setelah digosok berulang-ulang, digosok berulang-ulang, dan digosok berulang-ulang, intan dan mutiara yang masih mentah itu pun perlahan-lahan mengeluarkan sinarnya, semakin bercahaya, dan makin mempesona. Ketika itu terjadi, tanpa diminta, dunia akan memperhatikannya.