Kalian akan menangis seperti aku menangis—akan kubuat kalian
menangis sebagaimana anak-anak kalian membuatku menangis.
—Amerigo Bonasera, dalam The Godfather
menangis sebagaimana anak-anak kalian membuatku menangis.
—Amerigo Bonasera, dalam The Godfather
Amerigo Bonasera adalah warga New York yang berprofesi sebagai pengurus mayat. Bila ada orang meninggal dunia, keluarganya akan membawa si mayat kepada Bonasera untuk dipersiapkan sebelum dikuburkan. Sebagai bagian masyarakat, Bonasera adalah warga yang baik. Ia taat hukum, selalu membayar pajak, tak pernah melanggar lalu lintas, dan percaya pada keadilan negaranya, Amerika.
Bagi Bonasera, Amerika adalah surga tempatnya membangun hidup, memperoleh penghasilan, dan membesarkan anak-anaknya. Orang yang jujur dan polos, itulah Amerigo Bonasera. Ia selalu baik pada orang lain, dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Ia pun selalu membayangkan dunia akan memperlakukannya secara baik, dengan jujur, sebagaimana ia tak pernah menyakiti siapa pun.
Tetapi bayangannya keliru. Suatu hari, anak perempuannya nyaris diperkosa dua orang pemuda berandal. Anak perempuan Bonasera berhasil melawan, tetapi tubuhnya hancur karena dihajar. Si anak perempuan masuk rumah sakit dengan luka-luka parah. Hati Bonasera hancur. Dengan segala itikad baik sebagai warga negara yang baik, ia pun melaporkan kejahatan yang menimpa putrinya ke kantor polisi.
Kantor polisi menindaklanjuti laporan Bonasera, dan dua berandal itu pun ditangkap, lalu diajukan ke pengadilan. Yang jadi masalah, berandal-berandal keparat itu rupanya anak-anak politisi Amerika. Si politisi—yang tentu tidak ingin putranya masuk penjara—mengatur supaya polisi dan hakim dan pengacara dan pengadilan membebaskan putranya.
Jadi begitulah. Dua berandal itu memang diajukan ke pengadilan, tetapi putusan hakim memberi mereka kebebasan. Bonasera patah hati. Dan sakit hati. Selama ini ia menjadi warga negara yang baik, jujur, tak pernah menyakiti siapa pun, dan percaya Amerika akan membalas semua kebaikannya. Tapi Amerika mengkhianatinya. Dua berandal yang telah merusak putrinya dibebaskan, sementara putrinya masih terkapar penuh luka di rumah sakit sambil terus mengerang.
Bonasera tahu, bajingan-bajingan itu telah menipu dirinya. Para politisi itu pasti telah menggunakan uang dan kekuasaannya, dan pengadilan yang disaksikannya hanya sandiwara.
Apa yang harus dilakukan Bonasera untuk mendapatkan keadilan? Pengadilan yang ia harapkan bisa memberinya keadilan ternyata telah menelikungnya. Dua berandal keparat yang seharusnya masuk penjara justru dibebaskan tanpa hukuman. Amerika yang dipercayainya sebagai surga telah menimpakan bencana untuknya. Apa yang harus dilakukan orang jujur dan lugu seperti dirinya?
Bonasera tidak mungkin datang ke kantor polisi, karena tugas polisi sudah selesai dan kasus itu telah dilimpahkan ke pengadilan. Ia juga tidak mungkin menuntut pengadilan yang telah berlaku curang, karena bisa jadi ia malah dituntut melakukan penghinaan pada pengadilan. Lebih dari itu, Bonasera juga tidak mungkin menemui si politisi yang anak-anaknya telah merusak putrinya, karena yang pasti dihadapinya hanyalah omong kosong birokrasi. Tak ada yang bisa ditemui Bonasera. Tak ada yang bisa diharapkannya.
Tetapi ia kemudian ingat. Masih ada Don Corleone, seorang teman yang dulu dikenalnya. Masih ada Sang Godfather. Maka ia pun datang kepada Sang Don, memohon pertolongannya. Saat itu, Bonasera percaya, dan tahu, hanya Don Corleone yang bisa memberikan keadilan untuknya.
Don Corleone adalah imigran Italia yang menetap di Amerika, dan membangun keluarga mafia. Kekuasaan Don Corleone sebagai pemimpin mafia nyaris menyamai kekuasaan petinggi negara. Ia memiliki uang dalam jumlah berlimpah, jaringan bisnis yang menjalar bagai gurita, orang-orang dalam jumlah tak terhitung yang sangat setia kepadanya, ia pun memiliki berbagai koneksi—dari kantor polisi sampai kantor menteri.
Hampir semua orang yang cukup waras di Amerika akan berpikir seribu kali jika ingin membuat masalah dengan Don Corleone. Bahkan namanya pun sudah cukup untuk membuat orang gentar mendengarnya. Kalau kau berteman dengannya, kau bisa yakin tak akan ada yang berani mengganggumu. Kalau kau mengkhianatinya, kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada hidupmu.
Kepada orang itulah Bonasera datang, untuk minta pertolongan, agar Don Corleone membalaskan sakit hatinya. Kepada pemimpin mafia itulah, Bonasera berharap memperoleh keadilan sebenarnya, keadilan yang tidak diberikan Amerika kepada warganya yang lemah.
Yang jadi masalah, selama ini Bonasera menjauhi Don Corleone. Ia tahu Don Corleone bajingan berbahaya, dan Bonasera tidak ingin tersangkut-paut dengannya. Bonasera adalah warga taat hukum, tidak pernah melakukan pelanggaran apa pun, dan selama ini ia pikir berkawan dengan Don Corleone hanya akan mendatangkan masalah. Tetapi justru itulah sekarang yang jadi masalahnya.
Ketika Amerigo Bonasera datang menemuinya, sikap Don Corleone dingin. Ia tahu si pengurus mayat selama ini menjauh darinya, meski sebenarnya mereka saling mengenal. Sekarang, Bonasera memohon pertolongan sambil menangis, agar Don Corleone menolong membalaskan sakit hatinya. Berandal-berandal keparat itu harus mendapatkan balasan setimpal, kata Bonasera, suatu balasan yang tidak diberikan pengadilan Amerika.
“Kau menganggap Amerika surga,” sindir Don Corleone pada Bonasera. “Kau mendapat pekerjaan yang baik, kehidupan yang menyenangkan, kau berpendapat dunia tempat yang tidak berbahaya, tempat kau bisa mendapat kesenangan sesuka hatimu. Kau tidak pernah mempersenjatai diri dengan sahabat sejati. Toh polisi menjagamu, ada pengadilan, kau dan keluargamu tidak mungkin mendapat celaka. Kau tidak memerlukan Don Corleone. Bagus. Aku tersinggung, tapi aku bukan jenis orang yang suka memaksakan persahabatan pada mereka yang tidak menghargainya—pada mereka yang meremehkan diriku. Dan sekarang kau datang padaku.”
Kemudian, dengan lembut, Don Corleone berujar, “Kenapa kau awalnya takut memberikan persahabatanmu kepadaku? Kau pergi ke pengadilan dan menunggu berbulan-bulan. Kau mengeluarkan uang untuk membayar pengacara yang mengetahui kau akan dibodohi. Kau menerima keputusan hakim yang menjual diri seperti pelacur paling busuk di jalanan.”
Setelah terdiam sesaat, Don Corleone melanjutkan, mengenangkan masa lalu mereka, “Bertahun-tahun lalu, kalau membutuhkan uang, kita pergi ke bank dan membayar bunga yang mencekik leher, menunggu dengan topi di tangan seperti pengemis, sementara mereka mengendus-endus ke sana kemari dan memastikan kita bisa mengembalikan pinjaman. Tapi seandainya dulu kau datang kepadaku, dompetku akan menjadi milikmu. Seandainya kau dulu datang padaku untuk meminta keadilan, sampah masyarakat yang merusak putrimu pasti sudah mengalirkan air mata getir hari ini. Seandainya karena suatu kesialan orang jujur seperti dirimu mendapat musuh, mereka akan menjadi musuhku…”
Saat itulah, akhirnya, Bonasera menundukkan kepala dan menggumam dengan suara tercekik, “Jadilah sahabat saya. Saya menerima.”
“Bagus,” ujar Don Corleone. “Kau akan mendapatkan keadilan.”
Dan “keadilan” yang dijanjikan Don Corleone benar-benar keadilan yang “setimpal”. Suatu malam, di tempat yang telah ditentukan, dua bocah berandal anak para politisi itu dihajar habis-habisan oleh anak buah Don Corleone, hingga tak bisa dikenali lagi. Wajah mereka hancur, seluruh tulang mereka remuk, tubuh mereka rusak parah, dan bisa dipastikan mereka akan menginap di rumah sakit hingga berbulan-bulan, dengan selang-selang berseliweran dan operasi tambal sulam.
Itulah keadilan, pikir Bonasera. Karena Amerika mengkhianatinya, Bonasera pun memberikan kepercayaannya kepada pemimpin mafia. Jika negaranya tak bisa dipercaya, mafia adalah sahabat yang paling dapat dipercaya. Bagi birokrasi pemerintah, siapa yang berkuasa dan punya uang akan menang. Bagi keluarga besar mafia, siapa yang setia akan mendapat penghargaan setimpal.
....
....
Kisah di atas saya adaptasi dari novel klasik karya Mario Puzo, The Godfather. Itu salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.
Selama membacanya, saya terpesona dan kagum pada tokoh-tokoh yang diciptakan Mario Puzo dalam novel itu. Selama membacanya pula, saya terus merasa dihimpit oleh paradoks—kebusukan pemerintah, dan kejujuran para bajingan. Jika kita harus memilih, manakah yang akan kita pilih? Berpihak kepada pemerintah korup yang memangsa rakyatnya, ataukah kepada para bajingan mafia yang dapat dipercaya?
Jika aparat negara yang ditugaskan mengayomi masyarakat justru menjadi monster menakutkan bagi masyarakat, jika pajak yang kita bayarkan pada negara ternyata dihambur-hamburkan dan hanya membuat kenyang segelintir orang, jika wakil rakyat yang kita pilih dan kita percaya justru berkhianat, jika pengadilan yang kita harapkan bisa memberikan keadilan ternyata menjadi tempat orang memainkan peran bayaran… masih mampukah kita mempercayai mereka?
Titik nadir sebuah negara adalah ketika lembaga yang seharusnya dihormati tak bisa menjaga kehormatan diri, ketika orang-orang yang seharusnya menjadi panutan justru menampakkan wujud bajingan, ketika uang dan kekuasaan menggerus kejujuran dan menindas si lemah, ketika para wakil rakyat justru sibuk menciptakan undang-undang untuk memeras rakyat.
Dan untuk apa pun yang telah sampai di titik nadir, sebuah paradoks tak terbayangkan selalu dimulai.