Dalam kehidupan banyak orang—khususnya kaum lelaki—bokep memiliki tempat yang cukup spesial. Khususnya bagi yang masih remaja atau anak muda. Statistik terbaru bahkan menyebutkan bahwa 97 persen remaja SMP dan SMA di Indonesia pernah melihat bokep. Saya tidak bermaksud membicarakan moral. Saya sedang bicara fakta. Dan, sejujurnya, saya tidak terkejut mendapati fakta itu.
Negeri yang kita tinggali ini—dan mungkin sebagian masyarakatnya—bisa saja bertingkah sok alim dan sok suci, tetapi fakta selalu berbicara lebih keras dibanding slogan dan pencitraan. Berbagai upaya dilakukan untuk memblokir situs porno dari akses internet masyarakat, tetapi—bagi banyak orang—pemblokiran semacam itu hanya sebentuk pemubaziran, atau bahkan semacam kemunafikan.
Saya masih ingat, dulu ketika masih remaja, kadang keluyuran ke Glodok untuk mencari VCD bokep. Oh, well, pemerintah Indonesia, bahkan Gubernur DKI Jakarta, tahu peredaran bokep di sana, jadi saya tidak malu mengakui kalau saya juga kadang keluyuran ke sana. Lebih dari itu, ada banyak orang selain saya yang juga mendatangi tempat itu.
Dulu, ketika pertama kali membeli bokep di sana, per keping VCD dijual seharga dua belas ribu perak. Beberapa waktu kemudian, harga itu turun, menjadi sepuluh ribu perak per keping. Lalu turun lagi menjadi lima ribu, hingga akhirnya sepuluh ribu perak dapat tiga keping. Sekarang era VCD sudah berlalu, dan cakram DVD menggantikannya. Saya tidak tahu berapa harganya, karena tak pernah lagi keluyuran ke sana.
Sekarang, orang tidak perlu susah-susah mendapatkan bokep, karena internet mampu memberikannya tanpa harus keluar rumah. Silakan saja situs-situs porno diblokir, tapi industri pornografi bagaikan aliran air—ia selalu mampu menyelusup melalui celah-celah sesempit apa pun. Memblokir situs porno, seperti yang dituliskan di atas, adalah pekerjaan sia-sia, tanpa membenahi moral masyarakat pengaksesnya terlebih dulu.
Di internet, seperti yang kita tahu, ada ribuan situs yang menawarkan film bokep. Seseorang bisa menjadi member dengan membayar iuran yang disepakati, dan kemudian bebas mengunduh film sebanyak apa pun—dengan identitas anonim. Jika ingin gratisan, ribuan situs serupa juga menyediakannya. Jika tidak ingin repot men-download, orang dapat membeli yang sudah “matang” alias dalam bentuk cakram DVD.
Belum lama, saya “kesasar” ke sebuah situs yang menawarkan bokep yang telah dikemas dalam sebuah harddisk eksternal atau portabel. Di masa sekarang, harddisk tidak lagi berukuran besar sehingga sulit dibawa-bawa. Keberadaan harddisk eksternal yang ramping bahkan kecil telah melakukan revolusi dalam hal penyimpanan data. Selain itu, harddisk eksternal juga memiliki kapasitas ruang penyimpanan dalam jumlah raksasa. Ukurannya tidak lagi mega atau giga, tapi sudah tera. Bagi yang mungkin belum tahu, satu tera sama dengan seribu giga.
Nah, di situs itu, saya melongo mendapati tawaran bokep yang telah dikemas dalam harddisk berbagai ukuran—rata-rata berkapasitas satu tera, dan berisi ribuan judul bokep yang isinya bisa dipesan. Melihat trafik yang tinggi di situs tersebut, hampir dapat dipastikan pengunjungnya cukup banyak, begitu pula peminat dan pembelinya. Industri pornografi, kau tahu, setua umur manusia.
Mengapa orang menyukai bokep? Jika statistik menyatakan bahwa penonton bokep sebagian besar lelaki, maka psikologi dapat menjawabnya cukup mudah. Lelaki senang menonton bokep, karena mereka makhluk visual. Itulah kenapa lelaki selalu cenderung dengan wanita cantik, karena indra visual mereka yang lebih banyak berbicara. Dalam hal ini, bokep memanjakan indra visual lelaki.
Wanita juga menyukai hal-hal indah—dalam banyak hal, mereka bahkan memuja keindahan. Tetapi dalam konteks ketertarikan pada lawan jenis, wanita (disadari atau tidak) lebih mengandalkan hal lain selain visual—bisa pendengaran, perasaan, ataupun faktor lain. Ada banyak wanita yang jatuh cinta karena ketertarikan fisik, tetapi jauh lebih banyak wanita yang jatuh cinta karena hal-hal di luar ketertarikan fisik.
Back to bokep.
Berdasarkan statistik pula, konsumen terbesar bokep adalah kaum remaja—atau mereka yang baru puber. Itu bisa dimaklumi, karena usia puber adalah usia ketika seseorang sedang “panas-panasnya”. Bahkan, menurut makalah-makalah kedokteran yang saya baca, lelaki paling mudah ereksi ketika ia masih puber atau remaja. Seiring bertambah usianya, tingkat kemampuan ereksi pria akan menurun, dan terus menurun—meski nafsu seks mereka mungkin tidak pernah mati.
Lanjut ke sini.