Salah satu berita asmara paling hangat di Indonesia akhir-akhir ini adalah hubungan yang dijalin Raffi Ahmad dengan Yuni Shara. Sebenarnya sih berita percintaan antar artis bukan hal istimewa, karena beberapa artis sepertinya memang suka gonta-ganti pacar agar infotainment selalu punya berita. Tapi hubungan percintaan antara Raffi dengan Yuni jadi terkesan istimewa, karena latar belakang usia mereka.
Yuni Shara lahir pada 3 Juni 1972, dengan nama Wahyu Setyaning Budi. Sementara Raffi Ahmad lahir pada 17 Februari 1987, dengan nama Raffi Faridz Ahmad. Tak usah pedulikan nama asli atau nama lahir mereka, tapi perhatikan perbedaan tanggal lahirnya. Selisih usia antara Yuni dengan Raffi sekitar 15 tahun—Yuni jauh lebih tua (well, atau lebih dewasa) dibanding Raffi.
Karena perbedaan usia yang terlampau jauh itu pulalah yang menjadikan banyak orang gatal membicarakan hubungan mereka—termasuk saya. Umumnya, seperti kita tahu, cowok menjalin hubungan dengan cewek yang usianya relatif lebih muda darinya, atau setidaknya yang seumuran. Yeah, kalaupun tua ceweknya, paling-paling lebih tua satu atau dua tahun.
Raffi Ahmad “melanggar” aturan itu. Dia menjalin hubungan dengan perempuan yang lima belas tahun lebih tua darinya. Tentu saja Raffi tidak salah, karena—setidaknya sejauh ini—belum ada peraturan pemerintah yang menyatakan cowok harus pacaran dengan cewek yang lebih muda. Lebih dari itu, Yuni Shara oke-oke saja jalan sama Raffi, jadi apa salahnya?
Jika kita melihat “track record” Raffi Ahmad, kita tahu dia sebelumnya pernah “jalan bareng” dengan Laudya Chintya Bella, Bunga Zainal, Ratna Galih, Tyas Mirasih, Velove Vexia, dan beberapa lain yang mungkin terlewat dari ingatan saya. Cewek-cewek yang barusan disebutkan itu rata-rata usianya seimbang dengan Raffi—kalau tidak lebih muda, ya seumuran. So, kenapa kemudian Raffi “banting setir” memilih Yuni Shara yang usianya jauh di atasnya?
Sejujurnya, saya tertarik memperhatikan hubungan Raffi dengan Yuni, karena... itu seperti cermin tempat saya melihat diri sendiri. Jauh di lubuk hati, sebenarnya saya juga lebih tertarik pada wanita-wanita dewasa. Ya, ya, mungkin saya berbakat jadi berondong yang budiman. Tetapi, kata Agnes Monica, “Cinta kadang-kadang tak kenal logika.”
Wanita dewasa, di mata saya, entah mengapa jauh lebih mempesona dibanding cewek yang baru lahir kemarin. (Ya iyalaaaaah!). Maksud saya, wanita dewasa yang telah matang sepertinya lebih menarik dibanding cewek ABG yang masih alay. Umpama buah, wanita dewasa tuh seperti buah yang benar-benar matang. Sementara cewek ABG adalah buah yang masih hijau. Jika buah matang rasanya manis, buah yang masih hijau kadang-kadang masih kecut.
Tentu saja bayangan saya bisa keliru. Bisa saja ada cewek ABG yang benar-benar sudah matang dan dewasa melampaui umurnya. Tapi kebanyakan cewek ABG yang pernah saya lihat rata-rata masih alay. Jangankan bisa bersikap dewasa, bahkan menulis dengan baik dan benar pun mereka belum mampu. Mereka sepertinya masih rancu membedakan huruf dan angka, sehingga sering kali mencampur-campurkan keduanya. C0NtohNy4 5Ep3rti 1nI.
Tentu ada pula orang dewasa (dalam hal ini wanita) yang tetap saja alay. Secara umur mungkin dia sudah dapat dibilang dewasa, tapi secara sikap—dan mungkin pikirannya—masih sangat alay. Margaret Thatcher, wanita yang menjadi Perdana Menteri Inggris terkenal itu, pernah bilang, “Menjadi wanita dewasa tidak perlu dikatakan. Orang akan tahu apakah kau wanita dewasa atau bukan.”
I love you, Mrs. Thatcher. Dia merangkum penjelasan psikologi yang membutuhkan berlembar-lembar makalah dalam sebuah kalimat yang simpel. Menjadi wanita dewasa tidak perlu dikatakan, orang akan melihat dari sikap dan perbuatan yang dilakukan. Tak peduli seseorang gembar-gembor sudah dewasa, tapi orang akan mencibir jika sikapnya masih norak dan kekanak-kanakan. Orang dewasa, dalam hal ini wanita dewasa, mampu bersikap elegan.
Elegan—itulah sesuatu yang hanya dimiliki wanita dewasa.
Dan di hadapan wanita dewasa yang elegan, oh well, saya sering merasa... meleleh. Dulu saya tidak tahu apa yang menjadikan saya punya pikiran atau perasaan seperti itu, tapi entah kenapa saya selalu “meleleh” setiap kali bertemu atau berhadapan dengan wanita yang seperti itu—dewasa, dan elegan.
Dalam teori psikoanalisisnya, Sigmund Freud menyatakan bahwa kecenderungan terhadap wanita yang secara usia lebih dewasa dapat digolongkan sebagai oedipus complex. Itu, menurut Freud, adalah desakan dari bawah sadar seorang anak lelaki terhadap kecintaan pada ibunya. Saya pikir, Freud sedang ingin lebay ketika menyatakan teori itu. Kenyataannya dia kemudian meralat teorinya sendiri. Tetapi teori itu pula yang kemudian menuntun saya untuk instrospeksi, dan bertanya pada diri sendiri, mengapa saya punya kecenderungan terhadap wanita dewasa.
Jika saya introspeksi, mungkin dorongan yang membuat saya tertarik pada wanita yang secara usia lebih dewasa, adalah karena jauh di lubuk hati saya menginginkan seorang kakak perempuan. Dalam bayangan saya—yang mungkin keliru—kakak perempuan adalah sosok ideal bagi seorang bocah lelaki.
Seorang ibu mungkin wanita sempurna untuk bocah lelaki, tetapi hubungan antara ibu dengan anaknya pasti terpaut umur yang (sangat) jauh. Berbeda dengan kakak perempuan. Dengan usia yang tak terlalu jauh, seorang kakak perempuan dapat lebih memahami kehidupan adik lelakinya karena hidup pada zaman yang sama, dan menghadapi fenomena sosial yang sama. So, sekali lagi dalam bayangan saya, kakak perempuan adalah tempat sempurna untuk mendapatkan nasihat, juga pelajaran berharga, khususnya dalam hal hubungan antar lawan jenis.
Itulah yang tidak pernah saya miliki, yang sungguh-sungguh ingin saya miliki. Seorang kakak perempuan. Tempat saya dapat bertanya tentang perempuan. Tempat saya bisa memperoleh jawaban yang benar tentang perempuan. Tempat saya belajar untuk dapat benar-benar mengerti dan memahami perempuan. Juga tempat saya bisa curhat menumpahkan beban pikiran dan perasaan tanpa rasa sungkan.
Sejak dulu, saya selalu iri jika melihat teman-teman saya bisa asyik bercanda dengan kakak perempuannya. Saya tidak pernah mengalami pengalaman manis semacam itu karena tidak memiliki kakak, khususnya kakak perempuan. Meski kadang teman-teman saya bercerita mereka lagi dongkol pada kakak perempuannya, tapi saya pikir jauh lebih baik punya kakak perempuan daripada tidak punya. Kakak perempuan, bagi saya, adalah figur wanita ideal.
Mungkin bayangan saya di atas keliru. Tapi mungkin pula karena bayangan itulah kemudian sosok wanita dewasa begitu mengendap di bawah sadar saya, hingga kemudian menciptakan dorongan-tak-sadar untuk selalu “jatuh hati” pada wanita dewasa. Ketika mulai pacaran, saya pun ingat bahwa daya tarik paling besar yang menjadikan saya memilih mereka sebagai pacar adalah karena faktor kedewasaan yang mereka miliki, meski usianya sepadan atau di bawah saya.
Wanita dewasa itu menenteramkan, itulah kesan saya. Tentu saja mereka mungkin masih keluar manjanya—namanya juga wanita. Tapi bahkan kemanjaannya pun terlihat mempesona bagi saya. Mereka itu... oh, well, elegan. Ya, ya, mungkin saya memang berbakat jadi berondong idaman.
So, ketika mendengar berita Raffi Ahmad menjalin hubungan dengan Yuni Shara, saya pun sempat terpikir, “Apakah mungkin Raffi juga merasakan sesuatu seperti yang saya rasakan?”
Mungkin—sekali lagi, mungkin!—Raffi tidak mendapatkan kedamaian yang ia harapkan dari cewek-cewek sebaya yang pernah jalan bareng dengannya. Dan kemudian, dia menemukan Yuni Shara, dan menyaksikan sosok yang sebenarnya ingin ia temukan—sesosok yang entah bagaimana mengendap di bawah sadarnya. Dan menyaksikan Yuni Shara, mungkin Raffi menyadari bahwa itulah sesungguhnya sosok wanita yang diinginkannya.
Yuni Shara tentu berbeda jauh dengan cewek-cewek yang sebelumnya pernah jalan dengan Raffi. Bukan hanya dalam usia, tetapi juga dalam kematangan sikap dan cara menjalani hubungan yang elegan.
Cewek ABG, kau tahu, suka mengirim SMS ke pacarnya hingga berpuluh kali dalam sehari hanya untuk bilang, “Kangeeeeen.” Sekali dua kali mungkin menyenangkan. Tapi setelah puluhan kali, SMS seperti itu benar-benar menjengkelkan juga membosankan. Nah, saya pikir, wanita dewasa mengetahui kenyataan itu, sehingga mereka akan menelepon sepantasnya, mengirim SMS secukupnya, dan bilang kangen tanpa membuat bosan pasangannya.
Wanita dewasa itu mendamaikan. Seperti yang terlihat dalam puluhan foto di internet, saya mendapatkan kesan ekspresi Raffi Ahmad begitu “tenteram” di sisi Yuni. Perhatikan kata dalam tanda kutip itu—tenteram, bukan bangga atau sekadar cengengesan.
Itu berbeda sekali dengan foto-foto pasangan artis yang sebaya. Mereka memang tampak bahagia, mungkin berpose sambil tertawa-tawa—tapi hanya itu. Dalam foto-foto yang membingkai Raffi dan Yuni, memancar aura ketenteraman. Raffi Ahmad tampak lebih dewasa dari umurnya, dan Yuni Shara terlihat matang serta bijaksana. Jika saya menjadi juri pasangan ideal Indonesia, saya akan memilih mereka.
Tapi kemudian saya mendengar hubungan mereka merenggang. Tak tahulah. Dan kemudian muncul berita lagi kalau hubungan mereka kembali erat seperti semula. Tak tahu juga saya. Yang jelas, di antara banyak orang yang mungkin merestui hubungan mereka, saya termasuk yang ikut bahagia di dalamnya. Dan jika mereka memang berjodoh, saya pun berharap dan berdoa, semoga mereka dapat melangsungkan ikatan itu hingga akhir hayat nanti.
Jadi, omong-omong, bagaimana kabar hubungan Raffi dengan Yuni?