Minggu, 10 Oktober 2021

Jam Dua Dini Hari, di Rumah Sakit

Senikmat-nikmatnya makan di kantin rumah sakit,
masih lebih nikmat makan di kaki lima.
@noffret


Rumah sakit bukan tempat favorit saya, dan mungkin juga bukan tempat favorit banyak orang. Karena rumah sakit memang bukan tempat refresing—itu tempat merawat orang-orang sakit. Kita masuk rumah sakit karena sakit, atau karena ada anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit. Saya termasuk yang kedua.

Adik saya mengalami kecelakaan, dan harus dirawat di rumah sakit. Karena hal itu, saya pun harus sering ke rumah sakit, menjagai adik saya di sana, bergantian dengan anggota keluarga yang lain. Beberapa hari menjelang dia diizinkan pulang, saya dapat giliran jaga malam hari. Jadi, usai magrib, saya datang ke rumah sakit, dan baru pulang sekitar jam sembilan pagi keesokan harinya.

Tugas saya di rumah sakit tidak berat-berat amat, cuma menemani adik saya di sana, mengambilkan minum kalau dia haus, berkomunikasi dengan dokter atau perawat kalau ada kunjungan khusus, dan semacamnya. Kondisi adik saya terus membaik, sehingga saya juga bisa mengobrol dengannya.

Selama di rumah sakit, yang terasa berat bukan tugas menemani adik saya, tapi tidak bisa merokok! Kita tahu, selalu ada larangan merokok di rumah sakit, dan saya tidak ingin melanggar aturan itu. Karenanya, yang bisa saya lakukan hanya menunggu adik saya tertidur lelap, lalu saya turun ke kantin, dan baru menikmati rokok di sana.

Biasanya, adik saya baru tertidur sekitar pukul 01.00. Saya tunggu sampai satu jam, untuk memastikan dia benar-benar lelap. Pada pukul 02.00, saya mulai keluar ruangan, dan melangkah menuju lift untuk turun. (Di kamar adik saya ada pasien lain, dan ada anggota keluarga yang menjaga 24 jam tanpa henti, jadi saya juga tidak terlalu khawatir).

Kantin (pujasera) ada di lingkungan rumah sakit. Tapi jaraknya sekitar 100 meter. Saya pun melangkah santai ke sana, sambil menikmati suasana dini hari yang sunyi. Di tengah antara rumah sakit dan kantin, ada musala dengan halaman cukup luas. Di halaman itu kadang ada dua atau tiga orang menggelar karpet, lalu duduk-duduk sambil menikmati kopi dan udud. Sepertinya mereka juga orang-orang yang menunggui keluarganya yang tengah dirawat di rumah sakit.

Di kantin ada cukup banyak warung yang berjajar melingkar. Kalau siang, semua warung itu buka, dan menyediakan aneka makanan, minuman, jajan, juga barang-barang kebutuhan semisal tisu, pasta gigi, sampai sedotan. Tetapi, menjelang tengah malam, warung-warung itu tutup, dan hanya ada satu warung yang tetap buka—itu satu-satunya warung yang buka 24 jam di sana.

Saya pun menuju warung itu, dan memesan teh hangat. Kadang di sana ada orang lain, tapi sering kali saya sendirian. Saya menyeruput teh, dan menikmati udud. Kalau pas ada jajan enak, saya juga ngemil. Rasanya nikmat sekali—maksudnya udud dan teh hangat yang dinikmati sendirian di dini hari.

Setiap malam saya melakukan kegiatan itu—turun pukul 02.00 dini hari, lalu menyusuri koridor-koridor rumah sakit yang sepi, menuju kantin untuk menikmati teh hangat dan merokok.

Saat siang, hampir semua bagian rumah sakit penuh orang—mereka yang datang untuk berobat, untuk mengecek kesehatan, untuk perawatan rutin, dan lain-lain. Tapi ketika malam, khususnya dini hari, semua keramaian itu lenyap. Kemana pun saya melangkah, yang ada hanya sunyi. Koridor-koridor rumah sakit lengang, bunyi langkah kaki saya menggema. Di depan kamar-kamar perawatan kadang ada beberapa orang, tapi mereka tampak tertidur. Mungkin kelelahan menunggui anggota keluarganya yang sakit.

Rumah sakit bukan tempat favorit saya—sejujurnya, saya lebih suka menginap di hotel! Tetapi, di rumah sakit, saya menyaksikan realitas kemanusiaan yang paling dasar. Tentang orang-orang yang bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan energi, dan pikiran, dan lainnya, untuk saudara atau anggota keluarga yang sedang sakit.

Seperti yang saya alami. Karena adik saya harus dirawat di rumah sakit, saya pun merelakan waktu, energi, dan pikiran saya untuknya. Tumpukan pekerjaan dan semua urusan lain terpaksa berhenti sementara, sampai adik saya benar-benar pulih. Uang yang hilang bisa dicari kembali, pekerjaan yang terputus bisa disambung lagi, tapi kita tidak bisa menggantikan saudara kita dengan apa pun.

Suatu malam, seperti biasa, saya keluar dari kamar adik saya, pukul 02.00 dini hari. Seperti biasa pula, koridor rumah sakit sunyi tanpa seorang pun. Saya melangkah perlahan-lahan menuju lift untuk turun—jadwal yang biasa, kesunyian yang sama, menuju kantin untuk minum teh dan merokok.

Ketika saya mulai mendekat ke arah lift, seorang wanita berkerudung tiba-tiba muncul, dan tampak mempercepat langkah menuju ke arah saya. Usianya mungkin 50-an, dan saya melihat wajahnya sembab—mungkin dia baru menangis.

Dia mengikuti saya ke arah lift. Ketika pintu lift terbuka, dan saya melangkah masuk, wanita itu ikut masuk. Lalu pintu lift menutup.

Sambil bersiap memencet tombol lift, saya bertanya, “Ke lantai berapa, Bu?”

Dia tampak bingung, dan menjawab seperti orang linglung. “Saya diminta ke basement, itu di lantai berapa?”

Rumah sakit tempat kami berada memiliki lima lantai dengan satu basement. Waktu itu kami ada di lantai dua. Ketika saya pertama kali masuk ke rumah sakit, dan membaca denah yang tertempel di pintu masuk, memori saya telah merekam semua yang ada di rumah sakit itu. Saya tahu apa yang ada di lantai satu, di lantai dua, lantai tiga, empat, dan saya pun tahu apa yang ada di basement—tanpa harus mendatangi satu per satu.

Dalam rekaman memori saya, lantai basement adalah tempat laboratorium, refleksiologi, radiologi, beberapa ruang untuk urusan medis lain... dan pengurusan jenazah. Waktu itu pukul 02.00 dini hari, dan wanita di depan saya sepertinya tidak mungkin bermaksud mendatangi laboratorium atau bagian refleksiologi. Kemungkinan, dia butuh memastikan keberadaan ambulans untuk membawa jenazah anggota keluarganya pulang ke rumah. 

Jadi, dengan hati-hati, saya bertanya, “Maaf, ada anggota keluarga yang meninggal?”

Dia seperti akan terisak, dan mengangguk, lalu mengulang pernyataan tadi, “Saya diminta ke basement, itu di lantai berapa?” 

“Biar saya antar.”

Dia tampak lega.

Saya memencet tombol B, dan lift mulai turun. Wanita itu hanya membisu, dan saya tidak tahu harus ngomong apa. 

Sesaat kemudian, kami sampai di basement, dan pintu lift membuka. Saya melangkah keluar, diiringi wanita tadi, lalu kami menuju tempat yang—saya perkirakan—harus ditujunya. 

Di tempat itu tampak seorang petugas rumah sakit sedang menekuri kertas di depannya, dan saya membawa wanita tadi pada orang itu. Setelah si wanita menyampaikan maksudnya pada si petugas, dan ditanggapi dengan baik, saya pun pamit.

Saya kembali melangkah menuju lift, kali ini naik ke lantai satu. Di lantai satu, pintu lift membuka, dan saya keluar... lalu melangkah perlahan keluar rumah sakit, menuju kantin yang biasa saya datangi, untuk menyeruput teh hangat dan menyulut udud.

Suasana sekitar rumah sakit sepi seperti biasa, karena dini hari, dan orang-orang telah terlelap—yang sakit maupun yang sehat. Di halaman musala rumah sakit, seperti biasa, tampak tiga orang duduk-duduk di atas karpet sambil menikmati kopi dan rokok—mereka bercakap perlahan-lahan, seolah tak ingin merusak hening malam.

Saya terus melangkah menuju kantin yang lengang. Ibu pemilik warung melihat saya datang, dan menyiapkan teh hangat seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya. Sekian waktu yang lalu, sebelum adik saya dirawat di rumah sakit, ibu pemilik warung tak pernah melihat saya. Tapi kini dia hafal kedatangan saya, dari malam ke malam. Sekian waktu mendatang, mungkin dia tidak akan pernah melihat saya lagi, karena adik saya sudah bisa pulang.

Jam dua dini hari, waktu itu, sambil menikmati udud, saya seperti merasakan kesadaran baru; betapa tipisnya batas kita dari kehidupan dan kehilangan.

 
;