Rabu, 20 Oktober 2021

Awkarin VS Budiman Sudjatmiko

Ribut-ribut soal Awkarin dengan Budiman Sudjatmiko rupanya belum selesai, ya. Malah topik perdebatannya makin merembet ke mana-mana. Dan sekarang aku jadi gatal ingin ikut ngemeng. Mumpung TL-ku lagi sepi.

Sebagai pemuja Awkarin (dan En Sabah Nur, tentu saja), aku ingin tetap berusaha objektif mencerna twit Budiman Sudjatmiko. Dan sepenangkapanku, twit itu sebenarnya netral, dalam arti tidak bermaksud meninggikan yang satu sambil merendahkan yang lain.

Kesalahan twit Budiman Sudjatmiko—kalaupun memang bisa disebut kesalahan—adalah menggunakan kata "sensasi", menggunakan "perempuan" sebagai subjek, dan memunculkan kesan "membandingkan". Kita, khususnya akhir-akhir ini, tampaknya sensitif dengan tiga hal itu.

Istilah "sensasi" sebenarnya netral, tapi sebagian besar kita memahaminya sebagai istilah negatif. Mungkin karena selama ini terlalu sering terpapar hal-hal sensasional yang memang negatif. Akibatnya, istilah yang aslinya netral mengalami distorsi nilai, bahkan berubah makna.

Itu serupa dengan istilah lain—rekayasa. Istilah itu sebenarnya netral. Bahkan, kalau kita membaca buku/artikel teknologi, misalnya, istilah "rekayasa" pasti akan sering ditemukan, dan artinya netral; tidak terpuji juga tidak tercela. Istilah "rekayasa teknologi", misalnya.

Tetapi karena kita sering terpapar istilah "rekayasa" dalam konotasi negatif—misal "rekayasa politik" atau "rekayasa hukum"—kita pun jadi punya persepsi menyimpang; menganggap istilah yang aslinya netral menjadi istilah yang negatif.

Karenanya, ketika Budiman Sudjatmiko menyebut aksi Awkarin sebagai "sensasi", aku percaya dia memaksudkannya sebagai istilah netral, bukan sebagai upaya merendahkan. Kenyataannya Awkarin memang sensasional, kan? Dia terkenal di semua media sosial, dan jutaan orang mengenalnya.

Dengan popularitas sensasional semacam itu—dan aku memaksudkan "sensasional" di sini sebagai istilah netral—mau tak mau Awkarin pasti akan menciptakan sensasi, terlepas apa pun yang ia lakukan. Dan, sekali lagi, aku memaksudkan "sensasi" di sini sebagai istilah netral.

Awkarin, mau tidak mau, pasti akan menciptakan sensasi, terkait hal-hal yang ia lakukan, karena personalitas/popularitasnya memang sudah sensasional. Justru aneh kalau Awkarin tidak sensasional. Wong dia ngetwit sesuatu saja langsung jadi berita di banyak portal dan website!

Jadi, sepenangkapanku, itulah yang dimaksud Budiman Sudjatmiko ketika dia menempelkan istilah "sensasi" pada Awkarin. Dia memaksudkannya sebagai istilah netral, dan tidak dimaksudkan untuk merendahkan. Sayangnya, sebagian kita mungkin salah paham, atau memaknainya  negatif.

Istilah lain yang disebut Budiman Sudjatmiko dalam twitnya adalah "esensi". Berbeda dengan "sensasi" yang sering berkonotasi negatif, istilah "esensi" justru berkonotasi positif, dan inilah yang kemudian memunculkan kesan membandingkan—meski mungkin tidak dimaksudkan begitu.

Budiman Sudjatmiko menyebut yang dilakukan Tri Mumpuni sebagai "esensial". Mungkin karena dampaknya berkelanjutan, dan, di sisi lain, Tri Mumpuni tidak sesensasional Awkarin. Karena kenyataannya media (dan sebagian besar kita) lebih menyorot Awkarin daripada Tri Mumpuni.

Sekali lagi, aku ingin berusaha adil. Yang dilakukan Awkarin mungkin tidak esensial—sebagaimana "esensial" yang dimaksud Budiman Sudjatmiko—tapi yang Awkarin lakukan, bagaimana pun, memberi pengaruh positif pada lingkungannya, karena dia memiliki popularitas yang sensasional.

Di sisi lain, yang dilakukan Tri Mumpuni memang esensial, karena punya dampak berkelanjutan. Tetapi, bagaimana pun, pengaruh yang ia timbulkan tetap terbatas, karena Tri Mumpuni tidak sepopuler atau sesensasional Awkarin. (Ini dimaksudkan sebagai fakta, bukan perbandingan.)

Karenanya, Budiman Sudjatmiko menggunakan analogi "genangan air" yang melebar ke mana-mana tapi dangkal (sensasi), dan "lubang sumur" yang dalam namun sempit (esensi). Ya benar sih, karena memang begitu yang terjadi. Awkarin maupun Tri Mumpuni punya kelebihan sendiri-sendiri.

Jadi, sepenangkapanku, twit Budiman Sudjatmiko sebenarnya tidak bermasalah—dia hanya bermaksud menyampaikan pikirannya atas dua wanita itu. Tapi kita mungkin terburu-buru menyimpulkannya sebagai perbandingan atau bahkan upaya merendahkan, karena sensitif dengan istilah tertentu.

Akhirnya, terkait Awkarin dan Budiman Sudjatmiko, siapakah yang menang? Yang menang tentu saja En Sabah Nur! Pak edan opo piye?

*Lalu Budiman Sudjatmiko googling En Sabah Nur.*


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Oktober 2019.

 
;