Sejak pandemi muncul dan terus meningkat, khususnya di Indonesia, narasi yang sering terdengar adalah, “ini cobaan”, atau, “ini ujian”. Narasi semacam itu seperti melepas tanggung jawab kita seenaknya, seolah semua kekacauan dan kerusakan ini bukan karena ulah kita sendiri.
Pandemi yang sekarang mengacaukan dunia dan negara kita bukan ujian atau cobaan, tapi hasil konsekuensi dari ulah dan kegilaan yang kita lakukan sendiri. Menyatakan semua ini sebagai ujian atau cobaan, seperti menyatakan kita makhluk tanpa dosa yang tak tahu apa-apa.
Hubungan antara manusia dan alam terikat oleh perjanjian tak tertulis, “Kalau manusia tidak mau mengatur dirinya sendiri, alam yang akan mengatur.” Dan jika alam yang mengatur, hasilnya adalah petaka bagi manusia. Sekarang kita telah menyaksikan buktinya yang nyata.
Sejak ribuan tahun lalu, manusia sudah diingatkan bahwa bumi adalah tempat terbatas, dengan kekayaan terbatas. Karenanya, kendalikan populasi, agar semua dapat hidup tenang, dan bumi tetap menjadi tempat yang nyaman dihuni. Tapi berbagai kepentingan merusak aturan itu.
Ada banyak pihak yang punya kepentingan terkait populasi manusia, dan mereka justru ingin manusia beranak-pinak sebanyak-banyaknya. Kapitalisme punya kepentingan meningkatkan pasar dan produksi, serta menurunkan upah. Agama punya kepentingan menambah jumlah pengikut.
Dan negara-negara di dunia, yang mayoritas menggunakan sistem demokrasi, juga punya kepentingan terkait populasi manusia, karena demokrasi membutuhkan jumlah suara. Di tengah berbagai kepentingan itu, kita kemudian harus berhadapan dengan amukan alam yang murka.
Manusia adalah pemimpin di muka bumi, katanya. Oh, well, pemimpin di muka bumi...