Senin, 01 November 2021

Bukan Pacar yang Baik

Akhir pekan, dan tak punya pacar.
Aku bersyukur, karena bisa menggunakan akhir pekan 
untuk hal-hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat.


Keputusan-keputusan [besar] yang kita lakukan dalam hidup, biasanya terkait dengan cara kita berpikir. Cara kita berpikir biasanya terkait dengan kepribadian yang kita miliki. Dan kepribadian yang kita miliki biasanya terkait dengan realitas/pengalaman hidup yang kita jalani. 

Di antara keputusan-keputusan besar yang kita lakukan dalam hidup, salah satunya adalah menjalin hubungan dengan seseorang, entah pacaran atau menikah. Meski semua orang mungkin butuh memiliki hubungan dengan seseorang, tapi cara kita melakukannya bisa berbeda.

Sebagian orang memutuskan pacaran, entah serius atau sekadar pacaran, biasanya karena memiliki modal paling penting untuk melakukannya: Waktu. Orang-orang itu pun bisa menjalani aktivitas pacaran dengan relatif baik, karena mereka punya modal yang paling utama: Waktu.

Mungkin ini jarang dipahami kebanyakan orang. Modal utama pacaran itu sebenarnya bukan uang, tapi waktu. Semakin lama dan semakin intens pacaran yang dilakukan, semakin banyak pula waktu yang akan dihabiskan.

Modal paling penting dalam pacaran adalah waktu, karena pacaran—setidaknya dalam pikiran saya—adalah aktivitas yang sangat menghabiskan waktu. Dari sekadar say hello pada pacar via ponsel, chatting berjam-jam, menanyakan kabar setiap saat, sampai aktivitas ketemuan yang bisa lama sekali.

Itu pun sering kali masih ditambah dengan aneka hal lain yang sama menguras waktu dan emosi, misal pertengkaran, kecemburuan, merasa diabaikan, dan lain-lain. Semua itu, sekali lagi dalam pikiran saya, sangat... sangat... sangat... menguras waktu, dan kadang juga emosi serta pikiran

Di Twitter, misalnya, sering ada tweet viral soal ini. Salah satunya, yang masih saya ingat, adalah sepasang pacar yang bertengkar gara-gara footstep motor. Berdasarkan yang saya tangkap dari gambar di timeline Twitter, ada cowok “melapor” ke ceweknya, kalau dia sudah pulang (sampai rumah). Sebagai bukti, si cowok melampirkan foto sepeda motor yang parkir di depan rumah.

Di luar dugaan, si cewek malah ngamuk. Dia mencurigai cowoknya barusan memboncengkan seseorang, gara-gara footstep motor yang jatuh (dalam posisi dipijak, bukan dalam posisi berdiri). 

Si cowok menjelaskan panjang lebar, bahwa footstep motor itu memang sudah tidak kencang bautnya, hingga selalu dalam posisi jatuh. Jadi itu bukan karena barusan dia memboncengkan seseorang. Si cowok sampai memvideokan bagaimana dia mencoba memasang footstep dengan benar, tapi jatuh lagi karena memang bautnya sudah kendur.

Akhir kisah, si cowok akhirnya membeli footstep baru untuk ia pasang pada sepeda motornya, agar tidak lagi dicurigai/dicemburui ceweknya.

Ketika mendapati tweet viral itu di Twitter, saya membatin, “Aku tidak akan punya waktu untuk melakukan hal-hal seperti ini. Aku bahkan tidak akan punya kesabaran untuk melakukan hal-hal seperti ini. Eman-eman waktunya!”

Waktu. Itulah modal utama sekaligus paling penting dalam urusan menjalin hubungan dengan seseorang, atau pacaran. Dan saya tidak punya modal utama itu, karena waktu saya sudah habis untuk mengurusi kesibukan saya sendiri. Boro-boro membuang waktu untuk pacaran, saya justru merasa sangat kekurangan waktu.

Itu alasan utama yang membuat saya tidak—atau belum—tertarik pacaran dan menjalin hubungan dengan siapa pun. Karena tidak punya waktu untuk melakukannya. Dan jika saya memaksa melakukannya, saya khawatir hanya akan menyakiti perasaan pacar, karena tak punya waktu untuknya.

Seumur hidup, sampai saat ini, saya hanya pacaran dua kali. Dan dua perempuan yang pernah jadi pacar saya dulu memiliki keluhan yang sama; merasa diabaikan, karena saya hanya punya sedikit waktu untuk mereka. 

Malam Minggu, misalnya, kadang saya tidak mengunjungi mereka. Alasannya sepele; saya lupa atau tidak sadar itu malam Minggu, karena khusyuk belajar atau karena keasyikan bekerja.

Siang harinya, ketika pasangan lain asyik menikmati akhir pekan dengan berkencan, saya juga asyik sendiri dan lupa kalau punya pacar. Kalaupun ingat, saya cuma mengirim pesan ke ponsel pacar, memastikan dia baik-baik saja—lalu melanjutkan kesibukan saya sendiri. 

Memang, pacar saya waktu itu kelihatan baik-baik saja. Tapi diam-diam, sebenarnya, mereka dongkol karena merasa diabaikan.

Pacar saya yang pertama, pernah mengatakan dengan marah, ketika kami bertengkar, “Kamu tahu apa masalahmu? Kamu terlalu sibuk belajar, terlalu sibuk bekerja, sampai lupa kewajibanmu yang lain! Aku pacaran denganmu, tapi aku sering merasa jauh darimu, karena kamu terlalu asyik dengan duniamu sendiri.”

Dia menangis waktu mengatakan itu, dan saya merasa sangat bersalah. Tidak lama setelah itu, kami putus, karena berpikir itu yang terbaik bagi kami.

Pacar saya yang kedua, juga punya keluhan yang sama. Dia masih kuliah, waktu itu, sementara saya sudah drop out dari kampus. Selama pacaran dengannya, kami lebih sering berpisah daripada bersama. Waktu itu, karena tuntutan pekerjaan, saya harus sering bepergian. Kami hanya mengobrol lewat ponsel sewaktu-waktu, kalau saya selo, atau bertukar pesan lewat SMS. 

Selama itu, dia tidak pernah marah, meski diam-diam sebenarnya sangat tertekan. Dan saya baru tahu hal itu, ketika kami menjelang putus.

Setelah dia lulus kuliah dan mulai bekerja, orang tuanya meminta agar dia segera menikah. Dia memberitahu saya, dan saya mengatakan kepadanya, “Aku harus menyelesaikan pekerjaanku. Tidak lama lagi. Setelah urusan ini selesai, kita menikah.”

Dia berkata dengan halus, “Aku percaya kepadamu. Tapi orang tuaku belum tentu.” 

Setelah itu, sambil menahan isak, dia menyatakan sesuatu yang tak pernah saya lupakan. “Kamu tak pernah datang. Kamu terus sibuk dengan urusanmu sendiri, dan selama ini aku percaya kepadamu. Aku tidak pernah marah, meski sangat tertekan, merasa diabaikan, tak dipedulikan, karena aku sangat mencintaimu. Tapi sekarang... aku tak bisa menunggu lebih lama lagi.”

Itu pertama kali saya menyaksikan dia menangis... dan juga terakhir kali. Karena setelah itu, kami putus. Sejak itu, saya bersumpah pada diri sendiri, untuk tidak pernah pacaran lagi.

Saya telah pacaran dua kali, dan telah melakukan kesalahan dua kali. Saya tidak ingin menyakiti perasaan perempuan lain. 

Dalam pikiran saya, pacaran hanya akan mengulang kesalahan saya, dan itu artinya akan ada perempuan lain yang tersakiti. Karena saya belum siap melakukannya, dan memaksa diri melakukannya hanya akan mengulang kesalahan yang sama. Saya bukan pacar yang baik, dan kesadaran itu membuat saya cukup tahu diri.

Saya tidak akan punya waktu menelepon sampai berjam-jam, tidak akan punya waktu membalas chat setiap hari, tidak akan punya waktu rutin mengunjungi atau berkencan, dan itu akan membuat perempuan mana pun yang jadi pacar saya akan tertekan, tersakiti, merasa diabaikan. 

Saya tidak akan mengulang kesalahan yang sama—setidaknya untuk saat ini. Dan itu artinya saya tidak akan memberanikan diri menjalin hubungan dengan perempuan mana pun... meski saya mungkin jatuh cinta kepadanya. Saya akan lebih memilih untuk menahan diri. Karena menjalin hubungan dengannya, hanya akan membuka kemungkinan saya akan menyakitinya. 

Well. 

Selain pacaran, keputusan besar lain dalam hidup biasanya pernikahan (memutuskan untuk menikah). Sama seperti pacaran, saya juga sadar belum mampu melakukannya, dan saya memilih untuk tidak buru-buru melakukan. Itu pula alasan saya menjauhi pacaran, agar juga jauh dari pernikahan.

Saya bukan pacar yang baik, bukan pasangan yang baik. Setidaknya untuk saat ini.

Ketika jatuh cinta, mencintai seseorang, kita pasti berpikir dan berharap yang terbaik untuk orang yang kita cintai. Begitu pun saya. Dan saya tidak yakin bisa menjadi yang terbaik untuk perempuan yang saya cintai. Karenanya, saya pun lebih memilih memendam perasaan diam-diam, mencintainya diam-diam... daripada membuatnya terluka. 

 
;