Sabtu, 20 November 2021

Pelajaran Komunikasi yang Tidak Diajarkan Kuliah Komunikasi

Ada sebagian orang yang mengira bahkan menuduhku
tidak mau berkomunikasi, padahal mereka tidak pernah
mengajakku komunikasi. Lucu, ya?


Banyak orang suka makan pizza, dan memancing ikan dengan pizza. Orang semacam itu berpikir, “Karena aku suka pizza, ikan juga pasti akan suka pizza.” Apakah dia lalu mendapat ikan dari pancingannya? Tidak! Karena ikan tidak berpikir seperti dirinya—ikan tidak makan pizza!

Saya suka merokok. Karena suka merokok, saya pun berpikir menawarkan rokok pada kucing, agar dia mau “ngobrol” dengan saya. Apakah upaya saya akan berhasil? Kemungkinan besar tidak, karena kucing tidak berpikir seperti saya. Kucing lebih tertarik pada ikan asin daripada rokok, semahal apa pun!

Dua ilustrasi di atas menunjukkan “cara berkomunikasi” yang salah kaprah, tapi anehnya dilakukan—dan terus dilakukan—jutaan orang di mana-mana. 

Di Twitter, sering ada meme terkait utang. Meme itu berupa percakapan antarteman (biasanya screen capture WhatsApp), yang isinya kira-kira seperti ini:

“Gimana kabarnya, bro? Tambah sukses saja sekarang.”

“Berapa?” 

“Duh, jangan nuduh gitu, lah. Aku cuma ingin menanyakan kabarmu.”

“Berapa?”

“Kok sinis amat sih, sekarang? Ditanya kabar malah nuduh aku mau ngutang.”

“Berapa?”

“Umm... lima ratus ribu, deh. Bulan depan aku kembalikan.”

Meme itu seolah ingin mengatakan, “Aku tahu kamu mau berutang, jadi tidak usah banyak tingkah dan banyak bacot. Langsung saja katakan maksudmu mau berutang, agar tidak perlu membuang-buang waktuku!”

Terkait komunikasi, saya punya “pegangan pribadi”. Orang cerdas suka to the point, orang tolol suka mutar-mutar. Ketika berkomunikasi, orang cerdas memprioritaskan hal-hal penting, sementara hal-hal tidak penting dibicarakan belakangan. Sebaliknya, orang tolol justru mengedepankan hal-hal tidak penting lebih dulu, sementara hal yang penting justru disampaikan belakangan.

Ketika orang cerdas punya kepentingan dengan orang lain, dia akan menemui orang itu, dan langsung mengatakan maksudnya—dia meletakkan hal penting di bagian depan. Setelah kepentingan itu ia sampaikan dan selesai dibicarakan, barulah ia dan lawan bicaranya membicarakan hal-hal lain yang tidak lebih penting.

Orang tolol sebaliknya. Ketika orang tolol punya kepentingan dengan orang lain, dia akan menemui orang itu, lalu berbasa-basi, ngalor-ngidul membicarakan hal-hal tidak jelas dan tidak penting, dan—setelah dia dan lawan bicaranya kelelahan ngobrol—barulah dia menyampaikan maksud kepentingannya menemui orang itu.

Saya lebih suka dengan orang jenis pertama; yang langsung menyampaikan maksudnya, mengedepankan hal-hal penting lebih dulu, dan baru setelah itu mengurus/membicarakan hal-hal yang tidak lebih penting. Bagi saya, orang semacam itu biasanya cerdas dan efektif, tidak banyak tingkah dan tidak banyak bacot; jenis orang yang biasanya cocok dengan saya.

Sebaliknya, saya sering tidak cocok dengan orang jenis kedua; yang datang menemui saya, mengajak ngobrol ngalor-ngidul tidak jelas, lalu—setelah saya kelelahan dan nyaris mati bosan melayani percakapan dengannya—dia baru menyampaikan maksud atau tujuannya. Benar-benar tidak efektif! Kenapa dia harus membuang-buang banyak waktu, jika bisa menyampaikannya sejak awal?

Terkait hal ini, ada kisah yang tak pernah saya lupakan, yang menunjukkan betapa “mengerikan” dampak yang bisa ditimbulkan dari percakapan yang tidak efektif.

Saya punya teman yang memimpin institusi semacam think tank. Sebut saja namanya Adam. Kami sebenarnya berteman sejak lama, tapi, karena kesibukan masing-masing, kami jarang berkomunikasi. 

Suatu hari, bertahun lalu, Adam menghubungi saya, mengatakan ingin ketemu dan ngobrol-ngobrol. Saya menyambut dengan baik, dan kami kemudian mengobrol di rumah saya sampai larut malam, seperti umumnya teman.

Dalam percakapan itu, setelah kami mengobrol ngalor-ngidul dan bercanda tentang banyak hal, Adam menceritakan bahwa organisasinya sedang berusaha memenangkan tender untuk suatu proyek. Dia mengatakan, “Kami sedang membutuhkan orang yang bisa mengerjakan sesuatu dengan cepat, karena salah satu faktor yang dipertaruhkan di sini adalah waktu penyelesaiannya.”

Ketika dia mengatakan itu, dia menatap mata saya, seperti “mengirim kode” bahwa dia ingin saya membantunya. Saya memahami maksud “kode” itu, tapi juga ragu-ragu. Waktu itu, saya berpikir, “Apa iya, Adam ingin aku membantunya?”

Waktu itu pula, saya sebenarnya ingin mengatakan pada Adam, bahwa saya mungkin bisa membantunya—tapi saya juga ragu-ragu. Karena, kalau saya mengajukan diri dan ternyata Adam tidak menginginkan saya, bisa jadi itu akan menempatkan Adam pada posisi dilematis. Jika saya telanjur mengajukan diri, sementara Adam ternyata tidak menginginkan saya; itu akan membuatnya serbasalah. Lebih dari itu, saya juga khawatir akan mengecewakan Adam; belum tentu saya orang yang tepat untuk membantunya.

Jadi, akhirnya saya pun hanya diam, dan malah berkata, “Semoga kamu menemukan orang yang tepat.”

Sampai kami kemudian berpisah, waktu itu, Adam tidak mengatakan apa pun, selain hanya menceritakan hal tadi, dan berhenti di situ. Dia tidak meminta saya, dan akhirnya saya pun makin yakin kalau Adam memang tidak menginginkan saya membantunya—dia hanya ingin bercerita.

Sekitar dua minggu setelah itu, ada teman lain menghubungi saya. Namanya Safik. Di telepon, dia berkata, “Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang.” 

Orang yang ingin ia kenalkan adalah kakak iparnya. Namanya Fandi. Ketika kami—saya, Safik, dan Fandi—bertemu di rumah saya, Safik menjelaskan maksud dia mengenalkan Fandi kepada saya. Setelah itu, Fandi “mengambil alih”—dia berbicara dengan sangat efektif, mengatakan maksudnya dengan jelas, hingga saya benar-benar paham.

Lalu dia menyodorkan sebuah dokumen. “Kalau kamu diminta menyelesaikan ini, kira-kira berapa lama waktu yang kamu butuhkan?”

Saya melihat-lihat dokumen itu sekilas, lalu menjawab, “Mungkin sebulan.”

Fandi mengangguk puas. “Kalau aku memintamu membantuku menangani hal ini, kamu bersedia?”

Dengan nada bercanda, saya menjawab, “Kamu harus merayuku, agar aku bersedia.”

Singkat cerita, saya benar-benar membantu Fandi menangani proyek itu.

Belakangan, itu menjadi masalah antara saya dengan Adam. Karena, institusi Adam ternyata terlibat dalam tender yang sama, yang juga diperebutkan perusahaan Fandi. Dalam tender itu, Fandi mengajukan waktu pengerjaan satu bulan—seperti yang saya janjikan kepadanya—sementara Adam mengajukan waktu pengerjaan lima bulan. Singkat cerita, perusahaan Fandi memenangkan tender itu.

Ketika Adam tahu siapa orang yang membantu Fandi, dia ngamuk.

Saya masih ingat, waktu itu, ketika dia “melabrak” saya, dan menuduh saya tidak mau membantu dia, tapi malah membantu orang yang tidak saya kenal.

“Aku mendatangimu lebih dulu,” kata Adam waktu itu. “Aku mendatangimu, berharap kamu mau membantuku. Kita telah berteman bertahun-tahun, tapi kamu malah membantu orang lain yang tidak kamu kenal!” (Catatan: Adam dan Safik tidak saling kenal).

Saya berusaha menjelaskan, “Ketika kamu datang, kamu hanya bercerita. Kamu sama sekali tidak memintaku! Kamu hanya menjelaskan bahwa kamu sedang berusaha memenangkan tender. Apakah kamu mengatakan butuh bantuanku? Tidak! Apakah kamu memintaku agar aku membantumu? Juga tidak! Memangnya apa yang kamu harapkan?”

Adam masih marah. “AKU SUDAH MEMBERIKAN KODE KALAU AKU BUTUH BANTUANMU!”

“PERSETAN DENGAN KODE! AKU TIDAK BERKOMUNIKASI DENGAN CARA TOLOL SEMACAM ITU!” Saya menyulut rokok, lalu berkata dengan nada lebih rendah, “Kalau saja waktu itu kamu mengatakan dengan jelas bahwa kamu butuh bantuanku, aku akan senang hati membantu. Tapi kamu tidak mengatakan apa pun, dan aku juga tidak berani menawarkan diri, karena khawatir mengecewankanmu. Dulu, ketika kamu menceritakan soal tender itu, aku memang sempat ingin menawarkan untuk membantu. Tapi aku ragu-ragu. Karena, kalau ternyata kamu tidak menginginkan aku membantumu, itu bisa menempatkanmu pada posisi serbasalah. Jadi, aku memilih diam, dan menyimpulkan kalau kamu tidak butuh bantuanku.”

Sejak itu dan seterusnya, setiap kali butuh sesuatu, Adam akan mengatakannya secara jelas kepada saya. Dia akhirnya memahami pola komunikasi yang efektif; nyatakan dengan jelas maksud dan tujuan, kedepankan hal-hal penting lebih dulu, dan pastikan lawan bicara benar-benar paham maksudmu. Dalam konteks Adam, memahami pola komunikasi yang efektif semacam itu menyelamatkannya dari kerugian besar.

Dalam keseharian, dalam kehidupan yang lebih luas, banyak orang berkomunikasi dengan pola yang tidak efektif—yang dituju adalah Z, tapi mutar-mutar, membicarakan A sampai Y terlebih dulu, dengan basa-basi berbusa-busa. Setelah percakapan jadi tidak menarik karena telah menghabiskan banyak waktu, mereka baru masuk ke tujuan inti. Itu, saya pikir, berasal dari kebiasaan Homo sapiens yang doyan ngobrol ngalor-ngidul tidak jelas—warisan dari zaman nenek moyang yang tinggal di gua purba. 

Mungkin hal semacam itu bisa diterapkan pada sebagian orang—dengan dalih “sopan santun”—tapi jelas tidak akan bisa diterapkan pada semua orang. Bahkan, dalam kasus tertentu, pola komunikasi ngalor-ngidul semacam itu bisa terkesan menjebak. Serupa dengan meme soal utang tadi. 

Kalau kita datang pada seseorang dengan tujuan untuk berutang, tapi mengajaknya ngobrol ngalor-ngidul lebih dulu, dia bisa saja merasa “tertipu” atau terjebak. Dia akan berpikir, “Asu! Ngajak ngobrol panjang lebar, ternyata ujung-ujungnya mau ngutang!”

Saya termasuk yang membenci “jebakan” semacam itu, karena memunculkan kesan tidak menyenangkan, yang menyadarkan saya bahwa percakapan panjang lebar itu ternyata tidak tulus, karena ujung-ujungnya adalah ngutang. Jauh lebih baik kalau orang mengatakan maksudnya terlebih dulu, baru setelah itu kami membicarakan hal-hal lain, sehingga percakapan yang terjadi benar-benar tulus, bukan karena tendensi tertentu.

Di atas semua itu, selalu pahami lawan bicara yang kita hadapi. Kalau kita “berbicara” dengan ikan, pastikan umpan yang kita gunakan benar-benar tepat. Karena ikan lebih suka cacing, meski mungkin kita tergila-gila pada pizza. Dan, omong-omong, kucing tidak merokok, ia lebih suka ikan asin!

 
;