Aku suka—dengan kadar yang membuat otakku terusik dan ingin ngoceh—tagline film Kim Ji-young: Aku adalah seorang anak. Seorang istri. Seorang ibu. Tapi di atas semua itu, aku adalah seorang perempuan.
Mumpung sudah mandi, aku ingin ngoceh. Sekalian mumpung TL mulai sepi.
Berdasarkan data Mahkamah Agung, antara 2005-2010, satu dari sepuluh pasangan suami istri di Indonesia bercerai. Satu dari sepuluh! Jika ada seribu pernikahan, seratus di antaranya bercerai. Itu pun yang tercatat.
Bukan ending yang tepat untuk “and they lived happily ever after”.
Dari kasus-kasus perceraian yang terjadi, sebagian besar—mencapai 70 persen dari semua kasus—gugatan perceraian diajukan pihak istri. Angka itu naik jadi 80 persen saat memasuki periode 2010-2015.
Pernikahan akan membuatmu bahagia, katanya. Oh, well, statistik bahagia!
Mengapa ada banyak wanita (istri) menggugat cerai suaminya, padahal—jika dipikir menggunakan pola pikir standar masyarakat kita—perkawinan justru memungkinkannya hidup nyaman karena adanya nafkah yang terjamin?
Dalam teori memang iya, tapi dalam realitas... tidak.
Terkait perkawinan, masalah kita adalah doktrin yang penuh omong kosong! Perkawinan disodor-sodorkan ke muka kita sebagai dongeng khayalan sorga, padahal ia adalah hubungan yang bisa saja penuh konflik, penuh kerja keras, serta modal dan kesadaran dan kearifan dan tanggung jawab.
Menjalin hubungan—dalam hal ini menikah—artinya bekerja keras untuk kelangsungan hubungan itu. Dan kerja keras itu harus dari dua pihak, suami dan istri. Untuk bisa memberikan “kerja keras” yang cukup, artinya keduanya harus sama-sama mampu melakukan. Plus dengan tanggung jawab.
Sebagai bocah, aku ingin mengakui secara jujur bahwa aku tidak/belum berminat menikah, karena tidak akan punya waktu mengurusi pernikahan yang, kenyataannya, membutuhkan kerja keras dan tanggung jawab.
Kembali ke urusan perceraian di Indonesia, yang datanya sangat jelas menunjukkan betapa mereka sungguh bahagia—oh, well, bahagia!
Satu dari sepuluh pernikahan berakhir perceraian, itu pun yang terdata di MA. Padahal yang bercerai diam-diam tanpa terdata tentu juga sangat banyak.
Jadi, mengapa ada banyak wanita (mencapai 80 persen dari semua kasus perceraian) yang menggugat cerai suaminya?
Jawabannya sangat sederhana, karena—dalam kultur patriarki, seperti di Indonesia—wanita akan menanggung beban luar biasa ketika memasuki pernikahan.
Ketika masih lajang, wanita hanya menjadi dirinya sendiri, dan hanya mengurus hidupnya sendiri—atau mungkin hal lain, semisal keluarganya. Bebannya bisa dihitung, dan bisa ditanggung dengan cukup mudah. Selama dia melakukannya dengan baik, bisa dibilang tidak ada masalah.
Tapi ketika menikah, beban wanita akan bertumpuk-tumpuk. Dari menjadi istri (untuk suaminya), menjadi ibu (untuk anak-anaknya), menjadi anak (bagi orang tuanya), menjadi individu (bagi lingkungan sosialnya), sampai menjadi “pembantu” (untuk rumah tangganya).
Menghadapi beban luar biasa semacam itu, mungkin tidak akan terlalu bermasalah jika suaminya baik, penuh pengertian, sekaligus punya penghasilan cukup. Artinya, beban-beban tadi akan dipikul bersama, sehingga tidak ada salah satu yang [terlalu] keberatan menanggungnya.
Masalah mulai terjadi, ketika beban rumah tangga—seperti yang disebut tadi—hanya dipikul satu pihak, dalam hal ini pihak istri. Itulah yang melatari kenapa banyak sekali wanita yang sampai memilih bercerai. Karena mereka sadar, hidup sendiri jauh lebih mudah daripada bersuami.
Ada fakta lain yang mungkin jarang diperhatikan kebanyakan orang terkait hal ini. Ketika seorang wanita menikah, ia tidak hanya berpotensi menghadapi tumpukan beban dari rumah tangganya, tapi juga berpotensi kehilangan pekerjaan yang telah ia miliki ketika masih lajang.
Ada banyak wanita yang semula punya pekerjaan dengan gaji lumayan, ketika masih lajang, terpaksa harus kehilangan pekerjaan itu ketika menikah—karena ada perjanjian dengan pihak perusahaan bahwa hubungan kerja akan berhenti, begitu si wanita menikah.
Memang tidak semua perusahaan menerapkan kebijakan semacam itu, tapi ada, banyak mungkin banyak. Ironisnya, perusahaan yang menerapkan kebijakan semacam itu adalah mereka yang mempekerjakan para wanita dengan pendidikan minim. Contoh mudah, misalnya, SPG.
Dalam pikiranku, itu semacam “jebakan maut” yang melemparkan wanita ke dalam mulut buaya. Kau menikah, pekerjaanmu hilang. Dan itu artinya, kau akan bergantung (secara khusus dalam hal ekonomi) pada suamimu. And you know what? Kultur patriarki akan bertepuk tangan!
Di dalam kondisi semacam itu, ada banyak wanita yang merasa tidak punya pilihan. Mereka sudah terjebak dalam perkawinan—dan bergantung pada suami (khususnya dalam hal ekonomi)—hingga mereka pun terpaksa menanggung beban-beban luar biasa tanpa henti. Bahkan kadang sampai mati.
Sekarang kita bisa membayangkan wanita-wanita dari golongan menengah ke bawah, dengan pendidikan minim, kesadaran minim, masuk dalam perangkap pernikahan... dan mereka merasa tak punya pilihan lain selain menerima takdir sebagai budak ketidakadilan sistem sosial dan patriarki.
Sudah melihat bagaimana semua perangkap ini disiapkan untuk menjebakmu bulat-bulat? Kita, sebenarnya, tidak hidup di dunia yang adil. Kita hidup di dunia yang dirancang oleh sebagian pihak untuk memangsa pihak lain. Dan untuk menguatkan hal itu, mereka mengarang doktrin.
Menikah akan membuatmu tenteram, bahagia, dan lancar rezeki—katanya.
Kenapa mereka tidak pernah mengatakan hal lain, selain mengulang-ulang bualan itu? Kenapa mereka tidak pernah mengatakan banyaknya beban dan tanggung jawab, kesadaran dan kearifan? Tanya kenapa!
Karena mereka memang tidak ingin kau tahu. Karena begitu kau tahu seperti apa sebenarnya perkawinan, kau akan berpikir seribu kali untuk menikah. Karena jika mereka mengatakan isi pernikahan secara jujur dan apa adanya, kau akan tahu bahwa mereka sebenarnya tidak bahagia.
Secara ilmiah, perkawinan akan bahagia, jika—dan hanya jika—dilihat dari perspektif biologi. Karena itulah tujuan perkawinan, untuk bereproduksi, dan meneruskan evolusi. Tidak usah manusia, bahkan binatang pun tahu hal itu—meski mereka tidak memakai doktrin macam-macam.
Tetapi, kehidupan manusia tidak bisa hanya dilihat dari satu perspektif. Karenanya, jika perkawinan manusia dilihat/dipelajari menggunakan perspektif biologi, psikologi, sosiologi, filsafat, bahkan matematika, dan semua perspektif itu digabung jadi satu, hasilnya bisa mengerikan.
Berdasarkan gabungan perspektif tadi, aku percaya (secara akademis) bahwa manusia lebih mungkin tertekan dan menderita dalam perkawinan, daripada sebaliknya. Karenanya, dalam perspektifku sebagai bocah, orang bahagia dalam perkawinan itu kasuistis—karena seharusnya tidak!
Selama ini, orang-orang mungkin berpikir bahwa pasangan yang bercerai itu kasuistis, sebagaimana pasangan yang tertekan dalam rumah tangganya juga kasuistis. Padahal sebaliknya, mereka justru bagian dari kemungkinan wajar dan alamiah—karena memang begitulah perkawinan!
Ini seperti membayangkan persentase kemungkinan munculnya tiga titik dalam sebuah dadu, tapi kita melipatgandakannya beberapa kali (karena banyaknya perspektif yang digunakan). Hasilnya sama, tetap bisa diprediksi, meski dalam kelipatan. Data cerai di MA dengan jelas membuktikan!
Kesimpulannya—dan kau boleh tidak sepakat, tentu saja—kalau kau tertekan dan tidak bahagia dalam perkawinan, itu wajar dan alamiah. Karena memang begitulah perkawinan! Sebaliknya, kalau kau bahagia dalam perkawinan, kau termasuk bagian yang sangat sedikit, karena kasuistis.
Makanya, aku benar-benar ingin tertawa [campur ingin muntah karena sangat bosan] tiap kali mendengar doktrin perkawinan yang jelas omong kosong itu. Kita tidak bisa mengubah api kehilangan panasnya hanya dengan terus menerus mengatakannya dingin—kecuali kau Nabi Ibrahim!
Terkait perkawinan, kita tidak bisa mengubahnya menjadi sorga-tanpa-masalah hanya dengan terus menerus mendoktrinkannya begitu, karena realitasnya memang tidak begitu! Dan orang-orang yang belum menikah mestinya diberi tahu kenyataannya, bukan malah dikibuli serta ditipu.
Akhirnya, menikah adalah soal pilihan. Kalau kau memang memilih menikah, maka menikahlah. Selama kau memahami konsekuensi dan tanggung jawab pernikahan, dan bersedia menanggungnya dengan baik serta penuh kesadaran dan kearifan, bersama pasanganmu, kau tentu berhak melakukannya.
Dan setelah menikah, tutuplah mulutmu. Tidak usah repot menyuruh atau memprovokasi orang-orang lain agar cepat menikah sepertimu. Oh ya, dan tidak usah petantang-petenteng hanya karena kau telah menikah—karena menikah hanyalah soal pilihan. Itu sesuatu yang sangat, sangat biasa!
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 November 2019.