Jumat, 06 Januari 2012

Pil: Sebuah Pengakuan Horor

Sang tabib dengan sangat hati-hati akan menyiapkan suatu ramuan
dari kotoran buaya, daging kadal, darah kelelawar, dan ludah unta.
dari sebuah papirus yang mencatat 811 resep obat
yang dipakai bangsa Mesir, 1550 SM


Pil adalah horor bagi saya. Pertama, saya tidak suka pil. Kedua, saya tidak suka rasa pil yang selalu pahit. Dan ketiga—jangan tertawa—saya tidak bisa menelan pil!

Yang menjadi masalah, mau tak mau saya harus terus menelan pil—setiap hari. Selama bertahun-tahun, saya mencoba menahan kesabaran untuk memendam dan menyimpan kisah horor ini hanya untuk diri sendiri. Tapi sekarang saya tidak kuat lagi. Jadi sekarang saya menulis catatan ini.

Sedari kecil, saya tidak pernah bisa menelan pil. Dan “cacat” itu terus terbawa sampai dewasa, sampai sekarang. Mungkin ini terdengar lucu, tapi sungguh horor bagi saya. Sebegitu horor, sampai-sampai saya pernah berpikir lebih baik ditembak daripada harus menelan pil.

Ketika SMA, saya mulai menyadari “cacat” itu, dan benar-benar iri ketika melihat teman-teman bisa dengan mudah menelan pil ketika demam, meriang, atau sakit kepala. Ketika butuh mengonsumsi pil, mereka bisa begitu enjoy. Mereka masukkan pil ke dalam mulut, kemudian meminum segelas air, dan selesai. Pil itu sudah masuk kerongkongan, lalu tenggelam dalam perut, untuk melaksanakan tugasnya.

Lhah saya…???

Kalau perlu mengonsumi pil, saya harus mengunyahnya. Saya ulangi, mengunyahnya! Setelah pil hancur dalam mulut, saya baru bisa menelannya. Itu pekerjaan yang amat berat, apalagi kalau pil itu sangat-sangat pahit, dan saya ragu kalau Superman sekali pun mampu melakukannya.

Mengapa saya harus mengunyah pil yang perlu dikonsumsi? Ya itu tadi, karena saya tidak bisa menelan pil!

Puluhan atau bahkan ratusan orang pernah mengajari tentang cara menelan pil dalam berbagai versi—mungkin karena mereka tidak tega menyaksikan saya harus tersiksa dan menderita setiap kali mengonsumsi pil. Tetapi, tak peduli sebanyak apa pun resep yang diberikan, saya tetap belum pernah bisa menelan pil.

Tetangga saya pernah menyarankan, “Coba kamu makan pisang, kemudian letakkan pil di lidahmu ketika pisang yang kamu kunyah sudah halus. Nanti pil itu akan masuk sendiri waktu kamu menelan pisangnya.”

Itu resep paling umum dalam hal “pelajaran menelan pil yang baik dan efektif”. Tapi saya menghadapi masalah besar di sini. Saya tidak doyan pisang!

Ketika saya nyatakan hal itu pada si tetangga, dia tertawa. “Oh iya, aku lupa. Kamu doyannya roti kan, ya? Nah, coba kamu makan roti sampai halus, kemudian letakkan pil di lidahmu sewaktu akan menelan roti dalam mulut.”

Oke, saya makan roti seperti yang disarankan. Setelah roti yang saya kunyah terasa halus, saya masukkan pil ke mulut, dan mencoba menelannya bersama roti. Untuk memudahkan prosesnya, saya pun meminum segelas air. Si roti sukses masuk kerongkongan. Sementara si pil asyik berenang! Begitu roti dan air sudah hilang, pil sialan itu masih ada di mulut. Usaha ini gagal total!

Berbagai resep, tip, dan kiat-kiat lain seputar “cara menelan pil” sudah saya coba, tapi tidak ada satu pun yang berhasil. Akhirnya, karena putus asa, saya pun nekat. Ketika perlu mengonsumsi pil, saya tidak lagi berharap dapat menelannya. Jadi saya pun langsung mengunyahnya. Pertama kali melakukan hal itu, saya muntah-muntah campur guling-guling campur maki-maki. Mengunyah pil adalah hal terakhir yang ingin kaulakukan di dunia ini.

Itu sangat menyiksa, karena ketika pil pecah dalam mulutmu, rasa pahitnya segera menyebar di lidah, kerongkongan, dan langit-langit mulutmu. Jika kadar kepahitan pil itu tergolong tinggi, perutmu akan terasa diaduk-aduk, dan—entah bagaimana caranya—isi perutmu tiba-tiba naik ke atas, dan kau muntah tanpa terkendali. Percayalah, itu bukan pengalaman atau pemandangan yang seksi.

Nah, yang jadi masalah dalam hal ini, mau tak mau saya harus mengonsumsi pil. Karena sakit kepala yang sering saya alami, setiap hari saya harus mengonsumsi dua sampai delapan butir pil—tergantung kebutuhan setiap hari. Secara rata-rata, saya harus mengonsumsi empat butir pil per hari. Itu telah dimulai bertahun-tahun lalu, sejak awal kuliah, dan sepertinya juga harus saya lakukan hingga bertahun-tahun mendatang.

Jadi, setiap hari saya harus menghadapi horor yang sama, dan berulang-ulang—mengunyah pil yang sama, dan merasakan pahit yang benar-benar menyiksa. Karena “tidak tahan” dengan siksaan semacam itu, saya pun memikirkan berbagai upaya untuk dapat menetralisir atau setidaknya mengurangi kadar kepahitan yang harus saya rasakan—dari cara-cara ilmiah sampai cara-cara yang nakal.

Berdasarkan perspektif biokimia, kita tahu bahwa manusia dapat “memanipulasi” indranya. Ketika kita mengunyah apel, misalnya, yang paling berperan dalam merasakan buah apel sesungguhnya bukan lidah (indra pengecap), melainkan hidung (indra penciuman). Kita merasakan rasa apel dalam mulut, karena sebelumnya hidung telah memberitahu otak bahwa itu apel (berdasarkan indra penciumannya).

Jika ingin membuktikan pemaparan di atas, cobalah ambil buah pir dan buah apel, kemudian irislah keduanya. Letakkan irisan pir di dekat hidung sampai kita membaui aroma pir, kemudian makanlah irisan apel. Hampir dapat dipastikan kita akan merasakan pir di dalam mulut, meski jelas-jelas kita mengunyah apel. So, manusia bisa memanipulasi indranya sendiri.

Berdasarkan hal itu, saya memikirkan benda lain yang mirip pil, namun memiliki aroma yang segar atau menyenangkan. Saya ingin memanipulasi indra saya, sehingga bisa mengunyah pil tapi tidak merasakan pahit. Setelah cukup lama mencari-cari yang dapat dianggap tepat, akhirnya saya menemukan kue citrun. Kue kecil ini memiliki aroma yang enak karena rasanya kecut-segar—biasanya dijual dalam bentuk kecil-kecil dan kering.

Dengan semangat membara, saya mencoba eksperimen itu. Saya letakkan citrun di depan hidung, membaui aromanya yang segar, kemudian memasukkan pil ke dalam mulut, mengunyahnya, dan… anjrit! Pil itu tetap terasa pahit!

Mengapa ini bisa terjadi? Berdasarkan yang saya pelajari, seharusnya saya tidak merasakan pahit pil sialan itu karena indra penciuman sudah mengirimkan pesan ke otak bahwa itu bau citrun. Seharusnya pula, otak memerintahkan lidah sebagai indra perasa agar merasakan kue citrun. Tapi mengapa saya gagal? Mengapa rasa pahit pil itu tetap terasa?

Karena kebingungan dan merasa buntu, saya menanyakan hal tersebut pada orang yang ahli. Kata si ahli, “Kamu bisa memanipulasi indramu, jika memorimu belum hafal pada rasa suatu benda. Dalam kasus apel, misalnya, eksperimen itu akan berhasil jika kita hanya sesekali memakan apel. Tapi orang yang setiap hari makan apel mungkin akan gagal. Artinya, meski indra penciumannya mengenali aroma pir, tapi lidahnya—memori kecapnya—sudah hafal rasa apel, sehingga tidak bisa dibohongi. Dalam kasusmu, memori kecapmu sudah hafal rasa pil itu, karena kamu mengonsumsinya setiap hari. Akibatnya, meski hidungmu mencium aroma citrun yang segar, lidahmu tetap merasakan pahit pil.”

Saya bengong.

Beberapa hari kemudian, saya mencari cara lain untuk menetralisir rasa pahit dalam pil. Kali ini ide nakal. Bagaimana kalau pil sialan itu dihancurkan sampai lembut, kemudian ditaburkan atau disusupkan ke dalam es krim? Okelah, kalau es krim mungkin terdengar “revolusioner”, bagaimana kalau pil itu dicampurkan ke dalam makanan yang enak, semisal disatukan bersama bumbu capcay?

Ketika saya mengonsultasikan hal ini pada yang ahli, dia menjelaskan, “Mungkin memang rasa pahit pil tidak akan terasa lagi kalau kamu memakannya bersama es krim atau capcay. Tapi khasiatnya juga akan hilang.”

“Kok bisa?” tanya saya dengan idiot.

“Iyalah, karena bahan-bahan dalam pil itu kemungkinan besar telah dinetralkan oleh bahan-bahan lain yang ada dalam es krim atau capcay. Artinya, meski secara materi pil itu masuk ke dalam tubuhmu, tetapi khasiatnya sudah hilang.”

“Ehmm… bisa kasih rekomendasi makanan apa yang sekiranya bisa digunakan untuk tujuan ini?”

Dia menggeleng dengan sedih. “Tidak ada. Mau tak mau kamu harus menelannya. Dan karena kamu tidak bisa, yeah… mungkin kamu memang harus mengunyahnya.”

Ngomong itu mudah, batin saya. Tapi mengunyah pil tidak semudah kedengarannya. Karena itu, seiring hari-hari penuh kegilaan karena harus terus mengunyah pil, saya pun terus mencari-cari cara lain untuk dapat mengatasi rasa pahitnya. Hingga suatu hari…

....
....

Uh, sori. Ternyata catatan ini sudah sangat panjang. Jadi saya cukupkan dulu di sini, nanti disambung di post lain—kalau saya tidak lupa. :)

 
;