Selasa, 31 Januari 2012

Maaf, Saya Bukan Artis

Akhirnya, kutempuh jalan yang sunyi
Mendendangkan lagu bisu
Sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata
Emha Ainun Nadjib


Beberapa waktu lalu, saya dihubungi Mbak Febriana, editor Penerbit Titan Press, yang mengabarkan kemungkinan novel saya, Lacrymossa, akan difilmkan. Saya masih ingat ketika dia menelepon pukul sembilan malam, dan kemudian kami berbincang cukup lama menyangkut novel itu.

Lacrymossa adalah novel memoar—satu-satunya novel memoar yang pernah saya tulis. Meski novel itu tidak secara langsung menyatakan bahwa tokoh dalam kisahnya adalah diri saya, namun sebagian besar pembaca telah mengira-ngira—bahkan meyakini—kalau sayalah tokoh dalam novel itu. Dan saya tidak keberatan jika ada yang berasumsi seperti itu, karena kenyataannya saya memang mengambil banyak kisah hidup saya sendiri dalam membangun jalan ceritanya.

Ketika menelepon saya, Mbak Febriana juga sempat menyinggung hal itu. “Da’, tokoh dalam novel itu kan kamu banget, tuh,” ujarnya. Kemudian, sambil bercanda, dia bilang, “Gimana kalau umpama—ini umpama lho ya—produser atau sutradaranya meminta kamu yang memerankan filmnya nanti?”

Meski saya tahu itu pertanyaan gurauan, namun saya menjawabnya dengan serius, “Tentu saja saya akan menolak.”

“Heh…?” Dia seperti salah dengar. “Kamu menolak tawaran jadi artis?”

“Ya.”

“Bisa lebih serius lagi?”

“Oh, well, saya tidak ingin, tidak mau, dan tidak berminat jadi artis.”

“Uh, kenapa?”

“Karena saya bukan artis!”

Dia tertawa sumbang. “Kayaknya baru dengar nih, ada orang yang nolak jadi artis.”

“Mbak Febri, tidak semua orang ingin jadi artis. Salah satunya saya.”

Lalu kami pun ngobrol-ngobrol hal lain, meski masih berhubungan dengan novel tersebut. Di akhir obrolan, Mbak Febri bertanya, “Nah, kira-kira siapa ya, aktor yang sekiranya pas memerankan tokoh dalam novel itu? Kayaknya harus yang mirip kamu, deh.”

“Ah, kalau itu sih gampang,” ujar saya, “Mbak Febri kan udah pernah ketemu dan lihat saya. So, kalau memang tokohnya harus bener-bener mirip saya, kayaknya nggak sulit nyarinya, kan?”

“Hmmm... siapa, ya?” Setelah terdiam beberapa saat, tiba-tiba dia berujar, “Oh iya, Bertrand Antolin!”

“Heh…???” Saya merasa salah dengar. “Bertrand Antolin…?”

“Iya, tuh cowok kan mirip banget sama kamu—kurus-kurusnya, face-nya—iya, kayaknya dia deh yang paling tepat!”

Buat para pembaca blog ini, tolong kalian jangan terpengaruh. Tentu saja saya tidak mirip Bertrand Antolin! Dan, lebih penting lagi, Bertrand Antolin tidak mirip saya! Namun, meski begitu, saya tidak keberatan jika Bertrand memang mau memerankan diri saya dalam film! :D

....
....

Ehmm, saya telah memilih jalan hidup saya, dan jalan hidup saya bukan di dunia selebritas yang glamour dan gemerlap. Saya telah memilih jalan hidup saya, dan jalan hidup yang saya pilih adalah jalan sunyi—tempat saya dapat belajar dan berkarya tanpa diganggu hiruk-pikuk publik.

Menulis adalah jalan sunyi, dan saya telah memilih jalan itu. Jika tulisan saya harus naik ke panggung publik, biarlah hanya tulisan itu yang dikenal, dan biarlah saya tetap menjadi sosok tak dikenal. Menjadi terkenal bukan obsesi saya, dan menjadi artis tak pernah terpikir sedikit pun dalam pikiran. Saya sudah bahagia dengan jalan hidup yang sekarang saya miliki—dan jalan hidup saya ada dalam sunyi.

Ketika memutuskan untuk menjadi penulis, bertahun-tahun lalu, salah satu alasan yang mendasari saya adalah karena pekerjaan ini tidak membutuhkan tampilan glamour. Menjadi penulis hanya membutuhkan ketekunan menulis—tidak membutuhkan penampilan rupawan ataupun gelar tinggi dan tetek-bengek-tidak-penting-lainnya—dan karena itulah saya memilih menjadi penulis.

Lebih dari itu, menulis adalah pekerjaan yang dapat dilakukan dalam keheningan, dalam kesendirian, dan saya menyukai kondisi semacam itu. Mengeluarkan saya dari keheningan sama artinya mengeluarkan ikan dari air—itu akan membunuh saya!

Oh, well, tidak semua orang ingin menjadi artis! Tidak semua orang ingin masuk televisi. Tidak semua orang ingin main sinetron atau main film. Pendeknya, tidak semua orang ingin terkenal!

Karena keinginan untuk tidak terkenal itu pulalah yang mendasari saya untuk mengundurkan diri dari publik pada tahun 2006. Dulu, di awal-awal menjadi penulis, saya sering diundang menjadi pembicara di kampus-kampus dan di berbagai forum, untuk bedah buku atau hal lainnya—dan saya mau menghadirinya.

Namun kemudian saya menyadari bahwa kehadiran saya secara langsung dalam acara-acara semacam itu hanya menjadikan saya mudah dikenal, dan saya tidak nyaman menjalaninya. Akhirnya, pada 2006, saya pun memutuskan untuk mengundurkan diri dari publik. Sejak itu, saya tidak mau lagi menerima undangan berbicara di mana pun, dengan alasan apa pun. Sebagai gantinya, saya membuat blog di internet.

Melalui blog—juga melalui buku-buku, dan artikel-artikel di media massa—saya bisa menulis dan menyuarakan pikiran-pikiran saya tanpa harus tampil di depan publik. Dan saya merasa nyaman seperti itu. Biarlah orang mengenal tulisan saya, atau mengenal nama saya. Tapi biarlah pula diri saya tetap menjadi “bukan siapa-siapa”.

Saya sudah bahagia jika orang membaca buku saya dan menyukai tulisan-tulisan saya. Biarlah buku-buku itu menjadi milik mereka, dan biarlah diri saya tetap menjadi milik saya sendiri. Setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri-sendiri, dan jalan hidup saya ada dalam keheningan, tanpa hiruk-pikuk selebritas, tanpa gemerlap yang menyilaukan.

Ketika menulis catatan ini, saya baru pulang dari pertemuan dengan beberapa teman wartawan. Rencananya, rekan-rekan wartawan tersebut ingin melahirkan tabloid baru, dan saya diajak untuk ikut mengkonsepnya. Saya menganggap tawaran mereka menjanjikan kreativitas baru, maka saya pun menerima tawaran itu, dan mematangkan konsepnya. Jika tidak ada aral melintang, dalam waktu dekat tabloid baru itu akan segera terbit.

Kelak, jika tabloid yang kami impikan itu akhirnya terbit dan beredar di masyarakat, saya sudah bahagia jika masyarakat luas membaca serta menyukainya, tanpa mereka harus tahu bahwa saya ada di belakang penerbitannya. Kau tahu, rasanya senang sekali menyaksikan orang-orang membaca tulisan-tulisan kita, tanpa mereka tahu bahwa kitalah penulisnya. Itu seperti menyerahkan sekeranjang bunga dengan tangan kananmu, dan membiarkan tangan kiri tidak tahu.

Saya mencintai menulis, karena dalam menulislah saya menyentuh keheningan, menyetubuhi kesunyian. Dalam hening dan sunyi, saya tidak menginginkan apa-apa lagi.

 
;